Berpetualang di Hulu Citarum, Merekam Ekosistem Pegunungan Ranggabuana

 

Sungai Citalahab, tampak berkelok-kelok. Air begitu tenang berwarna kehijauan mengalir di antara bebatuan. Riverboarding melaju pelan di antara akar-akar gantung yang menjunatai menggapai  dasar sungai. Kiri dan kanan terlihat tanaman pertanian dan perkebunan.

Hari itu, tim Bara Rimba memulai ekspedisi. Mereka menelusuri Pegunungan Sanggabuana antara lain melalui Sungai Citalahab. Mereka berpetualang sekaligus ingin merekam kondisi ekosistem pegunungan yang menjadi batas empat kabupaten di Jawa Barat: Purwakarta, Cianjur, Bogor dan Karawang ini.

Zikri Mauludi Leader Climbing tim ekspedisi mengatakan, menurut peta geologi lembar Cianjur, pegunungan ini terdiri dari batuan andesit horenblenda. Jenis batuan masih bisa dijejaki sampai ke Gunung Parang di Purwakarta.

“Pegunungan Sanggabuana dan Gunung Parang terpisah  Waduk Jatiluhur, pernah satu rumpun era oligosen, sebelum akhirnya jadi Gunung Berapi Purba Jatiluhur,” katanya.

Zikri bercerita, Karawang lama terkenal dengan persawahan dan kawasan industri, namun masih memiliki gunung hutan di hulu.

“Ekspedisi ini untuk survei lapangan kuta tandingan dan pemanjatan tebing Gunung Rungking, Karawang” kata Zukri.

Siti Maesaroh Manajer Ekspedisi mengatakan, ingin memberikan sumbangsih nyata bagi ilmu pengetahuan lewat profesionalitas petualangan.

“Ekspedisi ini dapat jadi raw model ekspedisi kepetualangan bukan karena gaya hidup, justru menunjukkan jati diri sebagai conservation spirit.”

 

Jamur tudung pengantin di Gunung Rumbing. Foto: Ekspedisi Bara Rimba

 

***

Pukul 12.00 siang, langit mendung. Angin kencang menggesek batang-batang bambu di bawah tebing Gunung Rungking, Pegunungan Ranggabuana, Karawang.  Delapan orang tim ekspedisi Panca Bara Rimba memulai pendakian.

Hendro Wibowo, AmTru sebagai pelindung ekspedisi, bercerita, Gunung Rungking bagian dari Pegunungan Sanggabuana merupakan leher lava yang menjulang setinggi 640 meter diatas permukaan laut.

Dari sudut manapun, Gunung Rungking terlihat seperti tangan mengepal ke langit dengan hutan lebat di puncak dan belantara mengelilingi kaki tebing.

Hutan ini kelolaan Perum Perhutani KPH Purwakarta. Di antara rangkaian Pegunungan Sanggabuana dan Gunung Rungking terpisah lahan pertanian huma milik masyarakat sekitar pegunungan. Ternak-ternak para petani digembalakan di padang-padang yang menjadi garis terakhir pemisah antara hutan Gunung Rungking dan pertanian warga.

“Ini jadi konflik antara satwa penghuni belantara Rungking dengan para petani daerah pinggiran hutan,” kata Hendro.

Tim ekspedisi menemukan cakaran di batang pohon pada 4 Januari 2017. Ia merupakan jejak-jejak kucing besar penghuni belantara hutan ini. Zikri bilang, cakar itu penanda wilayah ini jadi jelajah para kucing besar seperti macan tutul dan macan kumbang.

Sore itu, saat senja para pemanjat hendak turun menuju base camp , berpapasan dengan macan kumbang di atas pohon.

Tak hanya kucing besar, hutan di sini juga rumah primata seperti lutung, owa Jawa, surili dan monyet ekor panjang. Di pagi dan sore hari, elang Jawa selalu mengintai dari langit, berkeliling di antara tebing Rungking.

“Bahkan ketika team berada di ketinggian 240 meter atau 600 MDPL, team mendengar suara menderu dari langit. Kami sangka pesawat, ternyata tiga rangkong atau julang terbang melintas di atas Gunung Rungking dengan formasi segitiga,” ucap Zikri.

 

Tegakan pohon di sekitar Sungai Citalahab masih bagus. Foto: tim ekspedisi Bara Rimba

 

Tak hanya merekam kekayaan hayati di sana, tim juga merekam kondisi konflik antara masyarakat pinggiran hutan dengan satwa. Ia kadang terjadi, misal, macan tutul dan monyet turun gunung lalu memangsa ternak, dan merusak ladang warga.

“Namun lebih banyak warga yang mengancam eksistensi satwa, seperti perburuan, perambahan dan alih fungsi lahan hutan.”

Tak hanya itu, rencana pemanfaatan Gunung Rungking sebagai pariwisata pun menjadi ancaman nyata. Hingga kini,  tak ada kejelasan antara zona inti dan zona pemanfaatan. Padahal masih banyak pohon-pohon dan flora belum teridentifikasi di belantara Rungking. Mereka menemukan, pohon burahol dengan buah lebat dan jamur tudung pengantin.

Tim ekspedisi menyarankan, seharusnya Gunung Rungking dan Pegunungan Sanggabuana naik status dari hutan produksi terbatas ke Suaka Margasatwa. Alasannya, pegunungan ini memiliki keragaman hayati kaya.

 

Hulu Citarum

Dalam ekspedisi ini juga merekam dan mendata kondisi hulu Sungai Citarum, yakni Sungai Citalahab.

Ahmad Holili, leader riverboarding bercerita, sungai ini sepanjang 16,52 kilometer dengan hulu di Leweung Datar, Kecamatan Ciampel, dan muara di Sungai Cibeet, Kecamatan Pangkalan.

Ada pertemuan Sungai Citalahab dengan Sungai Cicangor yang berhulu di Pegunungan Sanggabuana, terhampar batu kerikil seukuran kepalan tangan anak kecil. Kerikil-kerikil ini menjadikan riam Sungai Citalahab lebih berarus dan habitat alami ikan-ikan khas sungai dangkal.

Prigi Arisandi dari Ecoton mengatakan, pengarungan Sungai Citalahab oleh tim ekspedisi Bara Rimba merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam pemantauan kesehatan sungai.

Apalagi pengarungan Sungai Citalahab menggunakan wahana riverboarding ini juga pendataan biotilik. Biotilik singkatan dari biota tidak betulang belakang Indikator kualitas air. Biotilik telah diterapkan di daerah alisan sungai (DAS) Brantas oleh Ecoton untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat berpartisipasi menjaga kelestarian ekosistem sungai.

“Keseluruhan sungai dari nilai rata-rata menunjukkan Sungai Citalahab indikasi tercemar dedang,” kata Prigi.

Menurut dia, penggunaan pestisida dan pupuk kimia dapat mempengaruhi reproduksi ikan serta meracuni serangga biotilik. Fakta di lapangan, daerah hulu Sungai Citalahab tercemar berat karena perkebunan rakyat pakai pestisida dan pupuk kimia tak terkendali.

Daerah hilir tercemar berat karena banyak pertanian padi di bantaran sungai masih pakai pestisida dan pupuk kimia tak terukur.

Padahal secara kesehatan habitat Sungai Citalahab sehat, karena masih tumbuh pepohonan dan rumpun bambu subur di bantaran sungai.

Fakta lain, terjadi konflik antara petani dengan satwa di hutan sepanjang bantaran Sungai Citalahab. Ahmad Holili menambahkan, tim menemukan bangkai babi hutan mati diracun.

Prigi mengatakan, jika terjadi alih fungsi atau pembangunan tak terkendali, Sungai Citalahab akan menampung beban curah hujan sampai 2.200–2.400 mm/tahun.

Penggunaan pestisida dan pupuk kimia di perkebunan dan pertanian sepanjang bantaran Sungai Citalahab, katanya,  harus dikendalikan. Jika tidak, habitat Sungai Citalahab terganggu mulai ikan endemik hilang sampai air tak bisa konsumsi karena tercemar.

 

Babi mati diracun. Foto: tim ekspedisi Bara Rimba
Panjat tebing Rungking. Foto: tim ekspedisi Bara Rimba

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,