Liputan Bau Nyale : Nyale, Cacing Laut Pembawa Kesuburan dan Cinta Lingkungan (Bagian 3 – Habis)

Bagi warga Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) tradisi bau nyale tidak hanya menjadi waktu untuk mengingat pengorbanan Putri Malandika yang mengorbankan diri demi rakyatnya. Bau nyale juga menjadi saat untuk memperhatikan kesuburan sawahnya.

Setidaknya begitulah bagi Ahmad Fahrurrozi, 45 tahun. Warga Dusun Batu Bolong, Desa Ungga, Kecamatan Praya Barat Daya, Kabupaten Lombok Tengah itu termasuk salah satu dari puluhan ribu warga yang ikut berduyun-duyun ke Pantai Seger di sisi selatan Pulau Lombok, Desa Kuta, Kecamatan Pujut saat perayaan bau nyale pertengahan Februari lalu.

Warga yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu tidak mengikuti keseluruhan tradisi bau nyale selama dua hari. Dia hanya ikut hari pertama pada Rabu malam atau Kamis pagi dini hari. Bersama belasan teman satu dusun, dia menginap di pantai berjarak sekitar 40 km dari desanya tersebut.

(baca : Liputan Bau Nyale : Puluhan Ribu Warga ke Laut, Mencari Cacing Laut Jelmaan Putri)

 

 

Pada pagi hari pertama, setelah mendapatkan segenggam cacing laut yang biasa disebut nyale oleh warga setempat, Rozi, panggilan akrabnya, pun pulang. Istrinya memasak cacing warna-warni itu. Cacing dibersihkan dengan air hangat terlebih dulu sebelum kemudian dibungkus dengan daun kelapa, layaknya ketupat.

Cacing dalam bungkusan daun kelapa dipanggang hingga kering. Setelah itu, barulah nyale kering tersebut diolah menjadi aneka menu siap santap. Ada yang digoreng ataupun dimasukkan dalam kuah santan.

Namun, bagi Rozi, ada bagian lain yang lebih penting dari nyale itu sendiri yaitu bekas bungkus pemanggangan nyale dan air hangat yang dipakai untuk membersihkan. Rozi menggunakannya untuk menyuburkan sawahnya.

Air bekas cucian nyale dia siramkan ke sebagian dari 25 are sawah miliknya. Adapun dua bekas bungkus pemanggangan nyale dia gantungkan di batang bambu lalu dia tancapkan di pematang sawah. “Ini sudah tradisi di desa kami setiap ada bau nyale. Kami yakin air bekas cucian dan bekas bungkus nyale bisa menyuburkan sawah,” kata Rozi.

 

Seorang warga menunjukkan cacing laut yang diperoleh saat Bau Nyale. Foto : Anton Muhajir

 

Dusun Batu Bolong berjarak sekitar 30 menit dengan sepeda motor dari Pantai Seger. Lokasinya di sekitar Bandara Udara Internasional Lombok (BIL) di Lombok Tengah. Dari 400 kepala keluarga, hampir semuanya bekerja sebagai petani. Komoditas yang paling banyak ditanam penduduk adalah padi. Dalam setahun, umumnya mereka panen dua kali.

Sabini, Kepala Dusun Batu Bolong mengatakan warga dusunnya sudah mengikuti tradisi bau nyale sejak dulu. Ketika dia lahir, tradisi itu sudah ada. Dia hanya mengikuti begitu saja sekaligus melakukan hal yang menurutnya baik, seperti menggunakan sisa bekas cucian nyale dan bekas bungkus nyale yang dipanggang.

Menurut Sabini, kebiasaan itu akan membuat sawah mereka lebih subur. “Kalau hasilnya benar atau tidak, saya tidak tahu. Tapi tidak ada ruginya juga dilakukan,” tambahnya sambil tertawa.

Saking pentingnya nyale untuk kesuburan tanah tersebut, sebagian petani yang tidak memperoleh pun membelinya meskipun harganya termasuk mahal, Rp50 ribu sampai Rp100 ribu per kg nyale kering.

 

Cacing (nyale) yang ditangkap dalam tradisi bau nyale di Pantai Seger, Lombok Tengah, NTB, dipercaya dapat menyuburkan lahan pertanian. Foto : Anton Muhajir

 

Kalender Lokal

Tradisi menggunakan nyale untuk menyuburkan sawah tidak hanya dilakukan warga Dusun batu Bolong seperti Rozi, tapi juga warga lain di sekitar kawasan Pantai Seger di mana tradisi bau nyale dilaksanakan tiap tahun.

Bau nyale atau mencari cacing laut merupakan tradisi tahunan warga Lombok Tengah, terutama di sekitar pantai selatan. Tradisi ini bermula dari legenda perginya Sang Putri Mandalika karena tidak mau menerima salah satu dari tiga pangeran yang melamarnya.

“Sang Putri mengorbankan diri dengan menghilang di pantai daripada menerima salah satu pangeran dan mengecewakan dua pangeran lain karena akan menyebabkan perang. Putri Mandalika mengorbankan diri demi menjaga rakyat kerajaannya,” kata Windardi Kusmandirata, warga Desa Sade, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah.

Hilangnya Putri Mandalika diiringi munculnya ribuan cacing laut warna-warni di Pantai Seger, lokasi utama di mana bau nyale diadakan hingga saat ini.

Putri Mandalika memang berwasiat siapa saja yang ingin menemui dia bisa datang ke pantai itu tiap tanggal 20 bulan 10 dalam kalender Sasak. Pada tanggal itulah, cacing laut akan muncul dalam jumlah massal di kawasan pantai berkarang tersebut.

 

Patung yang diambil dari legenda Putri Mandalika ini berada di dekat Pantai Seger, lokasi tradisi Bau Nyale. Sang putri ini dihormati karena pengorbanannya untuk mencegah perang dari pangeran yang meminangnya. Foto Luh De Suriyani

 

Selama pelaksanaan bau nyale, puluhan ribu warga sekitar Pantai Seger akan memenuhi kawasan tersebut selama dua hari puncak. Menangkap nyale sendiri menjadi puncak tradisi tahunan tersebut. Ada pula aneka kegiatan dalam rangkaian Festival Nyale, seperti musik, kompetisi surfing, musik tradisional, dan lain-lain.

(baca : Liputan Bau Nyale: Wisata Laut Lombok dengan Bintang Utama Cacing Laut Berkhasiat, Bagian 2)

Namun, bagi sebagian warga, seperti Rozi dan Windardi, tradisi bau nyale juga menjadi penanda tentang berakhirnya musim hujan menurut kalender tradisional Sasak (pranata mangsa).

Karena itulah, sebagian besar petani menancapkan bekas bungkus nyale sebagai bentuk pengingat telah berakhirnya musim hujan. Mereka pun tak lagi menanam padi setelah bau nyale.

Pertengahan Februari lalu misalnya, setelah menancapkan bekas bungkus pemanggangan nyale di pematang, Rozi melanjutkan kegiatan dengan memanen. Saat ini dia memiliki 25 are lahan padi dengan kemampuan panen sekitar 1,5 ton padi kering. Adapun Windardi masih merawat padinya yang baru mulai berisi.

 

Bau Nyale menjadi bagian dari tradisi Pranata Mangsa atau kalender tradisi di Lombok Tengah. Foto : Anton Muhajir

 

Keberlanjutan Hubungan

Dari sudut pandang lingkungan, bau nyale sendiri termasuk fenomena langka. Dia hanya terjadi di daerah tertentu, terutama bagian selatan pantai yang berkarang seperti Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Sumbawa, NTB. Dalam setahun, nyale hanya muncul satu kali.

Menurut penelitian Dwi Soelistya Dyah Jekti dan tim dari Universitas Mataram, cacing laut yang paling banyak muncul pada saat bau nyale berasal dari klas Polychaeta terutama jenis Eunice siciliensis. Nyale yang muncul secara massal, sebenarnya adalah proses pemijahan massal selama dua hari.

Warna nyale sendiri umumnya warna-warni yaitu hijau pada jenis betina dan warna coklat pada jenis jantan. Sebagian cacing berwarna kuning dan merah. Bagian tubuh nyale jantan berwarna coklat dan cacing betina yang berwarna hijau naik ke permukaan air sambil menggerakan tubuhnya atau menari-nari.

Ketika mereka keluar, para pemburu nyale seperti Rozi, Winardi, dan belasan ribu warga lainnya akan segera menangkapnya.

 

Cacing laut betina disebut berwarna hijau dan jantan cokelat kehitaman. Mereka keluar dari karang lalu memijah massal di Pantai Seger, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Foto Luh De Suriyani

 

Menurut Jekti dalam laporannya, gerakan spiral dari cacing-cacing ke permukaan air memungkinkan dua cacing dengan jenis kelamin berbeda ini bertemu yang akhirnya tubuhnya putus dan sperma atau sel telur keluar. “Pertemuan antara sel telur dan sperma akan menjadi zigot yang akan menuju ke dasar laut. Sedang bagian kepala (atoke) tetap di bawah batu karang,” tulisnya.

Karena proses pemijahan massal tersebut, maka banyaknya penangkapan terhadap cacing laut yang memijah juga perlu diantisipasi.

Menurut Iwan Dewantama, Manajer Jaringan Kawasan Konservasi Conservation International, bau nyale merupakan tradisi unik untuk memastikan hubungan manusia dengan alam melalui simbol cacing.

“Bila manusia tidak lagi menghormati sungai dan lautnya, yang dalam konsep di Bali (dan sebagian masyarakat Lombok) disebut Nyegara Gunung, maka siap-siap saja si cacing akan pergi atau hilang untuk selamanya,” kata Iwan.

Dari perspektif lingkungan, nyale, si cacing laut yang datang tiap satu tahun sekali tak hanya membawa manfaat bagi kesuburan tapi juga pesan perlunya manusia bersahabat dengan alam.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,