Liputan Bau Nyale: Wisata Laut Lombok dengan Bintang Utama Cacing Laut Berkhasiat (Bagian 2)

Tradisi Bau Nyale menjadi pesta rakyat di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang pada tahun ini digelar pada 16 – 17 Februari 2017.  Mari jalan-jalan menikmati kekayaan biodiversitas Lombok melalui peristiwa menangkap cacing laut saat musim kawinnya ini. Perjalanan ini adalah kombinasi wisata alam dengan bintang utamanya Nyale, sebutan warga Sasak untuk cacing laut dari legenda Putri Mandalika.

(baca : Liputan Bau Nyale : Puluhan Ribu Warga ke Laut, Mencari Cacing Laut Jelmaan Putri)

Berikut pengalaman berkendara dari Bali menuju Lombok serta tambahan sightseeing untuk tradisi Bau (menangkap) Nyale yang dipusatkan di kawasan wisata Mandalika, Lombok Tengah.

 

 

Memilih Transportasi

Ada banyak pilihan jalan masuk menuju Lombok. Misalnya via udara dari Banda Udara Ngurah Rai (Bali) menuju Bandar Udara Internasional Lombok hanya ditempuh sekitar 30 menit, namun waktu check-in, take-off, dan landing perlu setidaknya tambahan 2 jam, belum termasuk perjalanan menuju dan dari bandara. Pilihan lebih murah adalah kapal Ferry dari pelabuhan Padangbai (Bali) menuju Lembar (Lombok), ada jadwal keberangkatan tiap jam.

Biaya tiket per orang saja Rp58 ribu, namun jika naik motor Rp112.000 termasuk 2 penumpangnya. Sementara mobil sekitar Rp700-an ribu. Banyak kapal laut yang sudah diremajakan, fasilitas cukup nyaman selama 5 jam penyeberangan.

Ada kapal dengan fasilitas tempat tidur ekonomi gratis atau ada yang menyewakan alas tidur busa.  Berkendara dari Lembar memerlukan waktu sekitar 1,5 jam melewati jalan Bypass Bandar Udara hingga sampai di Kuta-Lombok.

Jika lebih suka menikmati udara terbuka dan laut lepas, naik ke geladak atas kapal laut. Para turis asing lebih menyukai ini sambil berjemur.  Penyeberangan lain yang cukup banyak misalnya dari Gili, gugusan pulau kecil yang sangat padat turis menuju dermaga Bangsal.

Cacing laut betina disebut berwarna hijau dan jantan cokelat kehitaman. Mereka keluar dari karang lalu memijah massal di Pantai Seger, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Foto Luh De Suriyani

 

 

Kearifan Alam di Kampung Budaya Sasak

Sekitar 20 menit sebelum tiba di kawasan wisata utama Mandalika, akan melewati sedikitnya dua obyek wisata kampung Sasak, suku etnis Lombok. Yang paling ramai adalah Desa Sade. Berlokasi tepat di pinggir jalan raya utama, Kampung Rembitan, Kecamatan Pujut.

Tiba di depan pintu gerbang, akan disambut pemandu lokal yang memang disiapkan kampung yang sudah jadi obyek wisata ini. Mereka tak memaksa, hanya menawarkan dan pembayaran sukarela pada si pemandu langsung. Sementara tiket masuk juga tak ada tarifnya, hanya mengisi buku tamu dan donasi sesuai keinginan.

Para pemandu memperkenalkan kampungnya dengan gaya dan bahasa hampir seragam, seperti template. Maklum, tiap orang bisa lebih dari 3 kali memandu turis jika ramai pengunjung. Ada hampir 30 pemandu yang terlatih di sini. Disebut pernah ada pemandu perempuan, tapi berhenti. Tersisa laki-laki saja. Sementara perempuan nampak berjualan di dalam kampung menjual souvenir kain tenun, gelang, kalung dan aksesoris lain. Sebagian lagi, termasuk para lanjut usia menenun benang-benang dari kapas menjadi helaian kain dan selendang.

Menenun adalah syarat kedewasaan, perempuan tak bisa menikah jika belum bisa menenun. Demikianlah tradisi menjadi berkelanjutan. Terlebih dengan makin ramainya kampung, kain-kain tenun indah yang menjadi perlengkapan keseharian juga laris sebagai souvenir.

Dari kisah pemandu bisa diketahui jika anak perempuan mendapat tempat istimewa di kehidupan Sasak. Ia tidur atau melahirkan di tempat tidur yang lebih tinggi, bisa memilih pasangannya, dan diwarisi keahlian menenun, sumber penghasilan utama keluarga di kampung ini. “Satu perempuan bisa didatangi 5-6 laki-laki, lalu diundi (dipilih) yang disukainya,” seru Bagi, pemandu yang menikah dengan cara kawin lari, salah satu tradisi melarikan pacarnya dari rumah si gadis ini.

Ada juga jejak kearifan menggunakan material alami dalam membuat rumah, serta merawat lantai rumah dengan kotoran sapi yang masih segar dengan keyakinan mengurangi debu dan nyamuk. Rumah-rumah tradisional ini direvitalisasi dengan perbaikan atap dari ilalang atau mengganti gedeg bambunya.

 

Patung yang diambil dari legenda Putri Mandalika ini berada di dekat Pantai Seger, lokasi tradisi Bau Nyale. Sang putri ini dihormati karena pengorbanannya untuk mencegah perang dari pangeran yang meminangnya. Foto Luh De Suriyani

 

Pasir Merica dan Berbukit di Pesisir Kuta Mandalika

Pantai Kuta di Lombok makin gencar diperkenalkan dengan nama kawasan Mandalika, demikian tertulis di landmark, penanda obyek wisata oleh pemerintah ini. Mengutip nama putri yang sangat lekat dengan masyarakat setempat, Putri Mandalika.

Area ini pusat akomodasi, dari guest house sampai hotel berbintang. Akan makin banyak resor dan hotel berbintang yang sedang dibangun, misalnya kongsi BUMN, ITDC (Dulu bernama BTDC yang membuat kawasan wisata elit Nusa Dua). Pantainya berpasir putih dengan butiran seperti merica. Ketika menginjak pasir, kaki seperti terjerembab. Ada sejumlah bukit kecil yang disukai anak muda untuk swafoto. Potret pantai dari ketinggian masih menjadi favorit pengguna media sosial untuk memperlihatkan panorama dan eksotika pesisir. Laut dan bebukitan di petang hari terasa sangat menenangkan.

Sunset dan sunrise bisa dirasakan walau tak penuh di lokasi ini. Posisinya di antara Timur dan Barat menyisakan bias mentari di langit. Kecuali jika naik ke bebukitan, mentari bisa dinikmati lebih utuh. Kawasan ini juga spot favorit peselancar dengan ombak yang cukup tinggi akibat pesisir menghadap Samudera Hindia. Hal yang menyenangkan, mayoritas lokasi akomodasi belum mengkapling pantai seperti di Bali. Pantai jadi sepenuhnya milik publik. Namun sudah banyak terlihat spanduk informasi rencana pembangunan sebuah resor baru dengan pusat perbelanjaan  di pinggir pantai.

 

Panorama di Pantai Seger, Lombok Tengah, NTB, tempat cacing bau nyale berada. Anak-anak dan keluarganya bersemangat mengikuti Bau Nyale, termasuk bermalam di pantai karena nyale keluar jelang dini hari sampai mentari mulai terlihat. Foto Luh De Suriyani

 

Cacing Laut Berkhasiat

Sejumlah warga yang ditanya soal apa itu Bau Nyale, kompak menjawab Putri Mandalika. Putri yang sangat dihormati karena pengorbanannya, terjun ke laut untuk menghindari perang memperebutkan dirinya ini yang diyakini jelmaan nyale-nyale yang muncul 2 hari selama setahun, terutama jelang dini hari.

Para penangkap nyale ini datang ke laut biasanya sekeluarga, agar lebih banyak nyale yang didapat. Berkompetisi dengan ribuan orang lainnya. Inaq Kita, seorang nenek berjalan kaki bersama rekan dan keluarganya pada pukul 4 dini hari menyongsong nyale. Ia mengaku akan mengolah cacing laut ini menjadi aneka makanan seperti kuah nyale, bersantan.

Benar saja, suguhan nyale dengan kuah santan ini mudah ditemukan jika bertandang ke rumah-rumah warga pada siang hari, usai waktu perburuan nyale. Rasanya gurih, masih terasa bau laut yang pekat walau sudah dimasak dengan ramuan bawang merah, putih, cabe serta perasan jeruk limau.

Warga meyakini kehadiran nyale adalah anugerah semesta sekaligus nutrisi dari proteinnya untuk kesehatan. Tak sedikit yang menjual nyale panggang di pinggir jalan, harganya sekitar Rp35.000-Rp50.000 per satu kemasan janur berisi sekitar seperempat kilogram.

 

Salah satu nyale terbanyak berwarna hijau di Pantai Seger, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat . Warga menarik nyale ini dari karang, lalu diolah menjadi sejumlah masakan. Foto Luh De Suriyani

 

Sejumlah sumber bacaan dan hasil penelitian menyebutkan cacing ini berkhasiat, misalnya sebagai indikator pencemaran laut dan antibakteri. Misalnya salah satu penelitian berjudul Nyale Cacing Laut Sebagai Bahan Antibakteri (Nyale Sea Worm As Antibacterial Substances) oleh Dwi Soelistya Dyah Jekti, Agus Abhi Purwokodari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram dan Zainul Muttaqin dari Unit Riset Biomedik RSU Mataram.

Diterbitkan di Jurnal ILMU DASAR, Vol. 9 No. 1, Juli 2008 : 120-126, diakses 19 Februari dari portalgaruda.org menyebutkan setiap bulan Februari dan tepatnya adalah tanggal 20 bulan atas atau 5 hari setelah bulan purnama di pantai Sager Lombok Selatan muncul “nyale” yang hanya setahun sekali. Pemunculan cacing laut yang berwarna-warni dalam jumlah besar merupakan musim kawin dari cacing-cacing laut tersebut.

Pemunculan nyale yang termasuk dalam klas Polychaeta ini disebut fenomena alam yang menakjubkan, sehingga banyak acara adat yang ikut meramaikan pemunculannya. Cacing laut dari klas Polychaeta yang paling banyak muncul pada saat bau nyale (musim nyale) adalah jenis Eunice siciliensis, dengan warna hijau pada jenis betina dan warna coklat pada jenis jantan.

Nyale (cacing laut) yang hanya muncul dalam kurun waktu setahun sekali merupakan tanda terjadinya puncak fertilisasi dari cacing Polychaeta tersebut. Ekstrak nyale yang termasuk dalam kelompok genus Eunice ini telah diteliti dan diketahui mempunyai daya hambat terhadap kuman patogen manusia termasuk Proteus vulgaris, Escherichia coli, Streptococcus pyogenes dan Helicobacter pylori (Jekti et. al. 1996).

Adanya zat anti bakteri pada tubuh nyale sangat berarti bagi nyale itu sendiri dalam menghadapi serangan bakteri yang ada di lingkungan hidupnya, sehingga nyale dapat tetap mempertahankan kehidupan dan keturunannya. Deloffre et al. (2003) melaporkan adanya “hemerythrin” yang bersifat sebagai antibakteri. Senyawa tersebut dihasilkan oleh cacing laut Nereis diversicolor.

 

Seorang warga menunjukkan cacing laut yang diperoleh saat Bau Nyale. Foto : Anton Muhajir

 

Mengunjungi Bau Nyale Tanpa Nyampah

Bayangkan puluhan ribu orang di suatu tempat dan sebagian saja buang sampah sembarangan. Habis makan, kemasan makanan dan minuman dibuang begitu saja di sawah, bebukitan, dan pantai lokasi tradisi menangkap cacing laut ini. Sampah-sampah ini juga dengan mudah terbawa angin lalu laut. Dimakan hewan laut, meracuni karang, atau plastik-plastik yang sangat sulit terurai ini terdampar di pesisir lain.

Panitia atau pemerintah bisa saja segera mengumpulkan sampah itu. Namun, mendorong tanggungjawab warga pada alam yang memberikan anugerah sangat penting.

Tong sampah bisa jadi sulit dicari, tapi kantongi sampah sendiri di dalam tas atau saku. Lalu buang di tempat sampah saat balik dari lokasi kemping atau pencarian nyale.

 

Usai Bau Nyale, terbitlah sampah. Warga belum mengantongi sampahnya yang mengotori bebukitan, sawah, dan pantai di kawasan Pantai Seger, Lombok Tengah, NTB. Foto Luh De Suriyani

 

Parade Budaya

Sebagaimana biasa sebuah festival kebudayaan dan wisata, salah satu kegiatan utama dan pembuka adalah parade budaya. Tahun ini, dihelat pada 16 Februari siang sampai petang, sesaat sebelum seremonial puncak Festival Bau Nyale.

Parade budaya tahun ini dipusatkan di Praya, ibukota Lombok Tengah. Puluhan sekolah, dinas pemerintahan, dan perwakilan kecamatan memperlihatkan kekayaan etnisnya melalui pakaian adat, kesenian, dipimpin seorang yang menggunakan busana warna-warni memerankan Putri Mandalika. Ada banyak Putri Mandalika di parade ini yang dieluk-elukan warga yang menonton sepanjang jalan.

Lainnya adalah parade Gendang Beleq, kendang besar khas Sasak. Jejak persilangan Hindu Bali dan Sasak Lombok masih dominan terlihat dalam parade ini. Misalnya pakaian adat terdiri dari kain songket dan udeng/sapuk untuk laki-laki. Para perempuan sebagian mengenakan kerudung dan kain.

 

Parade Budaya sebagai rangkaian puncak Festival Bau Nyale yang dilakukan pada 16 Februari 2017 siang sampai petang. Parade budaya tahun ini dipusatkan di Praya, ibukota Lombok Tengah. Foto : Luh De Suriyani

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,