Pegiat Lingkungan: Surat Rekomendasi CnC untuk Perusahaan Tambang di Aceh Harus Ditinjau Ulang

 

 

Pemerintah Aceh pada 28 Desember 2016, telah mengirimkan surat rekomendasi sertifikasi Clean and Clear (CnC) untuk 14 perusahaan tambang kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Dalam surat Nomor 545/22651 yang ditandatangani Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Dermawan, atas nama Gubernur Aceh, disebutkan, sehubungan surat Menteri ESDM Nomor 9206/30/MEM.B/2016 yang dialamatkan kepada Menteri Dalam Negeri dan ditembuskan kepada Gubernur di seluruh Indonesai terkait penataan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara serta memenuhi Peraturan Menteri ESDM nomor 43 tahun 2015, maka dalam surat tersebut dilampirkan daftar IUP di Aceh beserta data pendukung hasil evaluasi dan rekomendasi untuk mendapatkan status CnC.

Terkait surat tersebut, sejumlah aktivis korupsi dan lingkungan di Aceh yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pemantau Tambang, yakni, GeRAK Aceh, Lembaga Jaringan Monitoring Tambang (JMT), Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA), dan Sekolah Antikorupsi Aceh (SAKA), mengadakan pertemuan dengan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, Kamis (02/3/17).

Dalam pertemuan itu, Koalisi Masyarakat Pemantau Tambang meminta gubernur mengambil kebijakan atas surat yang dikirimkan ke ESDM. Gubernur juga harus memastikan, apakah keputusan tersebut diambil setelah berkoordinasi dengan Gubernur non aktif atau dengan Pelaksana tugas (Plt) Gubernur pada saat itu.

“Gubernur harus memastikan, apakah Sekda Aceh memang benar memiliki wewenang atas hal tersebut dengan mengatasnamakan Gubernur Aceh. Ini dikarenakan surat rekomendasi dikeluarkan ketika Zaini Abdullah sedang cuti kampanye,” terang Fernan, Kepala Divisi Kebijakan Publik Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Sabtu (4/03/2017).

Fernan menambahkan, perusahaan yang direkomendasikan untuk mendapatkan status CnC itu juga bermasalah. Ada empat perusahaan yang sudah terlebih dahulu dicabut izinnya oleh pemerintah kabupaten/kota.

Pertama, PT. Mineral Nagan Raya melalui SK Pencabutan Bupati Nagan Raya No:545/112/SK/PENCABUTAN-IUP/2016. Kedua, PT. Fajar Putra Manggala Aceh Tengah, telah diterbitkan SK Pencabutan Bupati Aceh Tengah No.814/251/DPPKESDM/2016. Ketiga, PT. Nanggroe Kuchi Puega 1 Aceh Tengah, telah diterbitkan SK Pencabutannya oleh Bupati Aceh Tengah No.814/250/DPPKESDM/2016. Keempat, PT. Nangroe Kuchi Puega 2 Aceh Tengah, yang telah diterbitkan SK Pencabutannya oleh  Bupati Aceh Tengah No.814/252/DPPKESDM/2016.

“Sementara, 10 perusahaan lain tidak ada dana jaminan reklamasi tambang. Hal ini jelas-jelas melanggar Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang. Bahkan delapan di antaranya, sudah mendapat restu Kementerian ESDM untuk diterbitkan SK pencabutan pada Pengumuman Rekonsiliasi CNC ke-21 akhir Januari 2017,” ungkap Fernan.

 

Kawasan Ulu Masen yang hutannya terjaga baik. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Koordinator GeRAK Aceh Askhalani mengatakan, dalam pertemuan dengan Gubernur Aceh tersebut, disampaikan juga bahwa sebagian perusahaan yang direkomendasikan itu, tidak membayar menunggak pajak ke Pemerintah Aceh.

“Surat tersebut sangat bertolak belakang dengan keinginan Gubernur Aceh untuk menertibkan pertambangan mineral dan batubara. Termasuk, Instruksi Gubernur tentang moratorium pertambangan.”

Askhalani menambahkan, LSM anti korupsi dan lingkungan sangat mengapresiasi Gubernur Aceh yang berkomitmen menjaga lingkungan, khususnya pertambangan. “Pada 2014, sebelum Intruksi Gubernur tentang Moratorium Tambang, jumlah IUP mencapai 138 dengan luas lahan pertambangan 841.648.31 hektare. Setelah instruksi keluar, IUP tersisa hanya 37 dan luas daerah tambang sekitar 156.002 hektare.”

 

Surat rekomendasi Clean and Clear untuk 14 perusahaan tambang kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang dikirimkan Pemerintah Aceh. Sumber: GeRAK

 

Tolak

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mendesak Kementerian ESDM untuk menolak pemberian CnC 14 perusahaan tambang rekomendasi tersebut. “Sebelum status CnC dikeluarkan, Kementerian ESDM harus turun kelapangan dan memastikan tidak ada pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Kementerian tidak boleh hanya berpegang pada surat dan hasil evaluasi pemerintah daerah,” tutur Muhammad Nur, Direktur Walhi Aceh.

Muhammad Nur mengatakan, semua izin pertambangan yang dikeluarkan itu harus benar-benar diperhatikan oleh pemerintah baik daerah maupun pusat. “Yang harus diingat, kerugian dari kerusakan lingkungan yang terjadi selama ini akibat pertambangan. Yang terbeban adalah pemerintah, sementara perusahaan tidak peduli dengan dampak buruk terhadap lingkungan.”

Bagi Walhi, sambung Muhammad Nur, tidak ada pertambangan yang ramah lingkungan. “Semua perusahaan tambang merusak alam, apakah itu meninggalkan lubang, mencemari tanah, dan air, hingga merusak hutan.”

Gubernur Aceh Zaini Abdullah menyatakan terima kasih atas masukan dan informasi yang disampaikan aktivis lingkungan terhadap kondisi pertambangan di Aceh. Dirinya juga serius memastikan, IUP yang ada sekarang tidak bertentangan hukum dan tidak merusak lingkungan.

“Terkait dengan permasalah yang disampaikan oleh aktivis LSM, kami akan mempelajari terlebih dahulu, sehingga keputusan yang diambil tidak menimbulkan masalah lain, khususnya masalah hokum,” ujar Zaini Abdullah.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,