Banjir-Longsor Sumbar Telan Korban Jiwa, Beberapa Hal Ini Harus Jadi Perhatian

 

 

Hujan mengguyur Kabupaten Limapuluh Kota sejak Kamis (2/3/17), hingga Sabtu (4/3/17) pagi menyebabkan longsor di Jalan perbatasan Sumbar-Riau, persisnya di Kotoalam, Pangkalan, Limapuluh Kota, Sumatera Barat.

Dari data BPBD kabupaten 50 kota Sabtu (4/3/17) tercatat enam orang meninggal yaitu Doni Fernandes(31), Teja (19), Yogi Saputra (23), Muklis alias Ujang (45), dan Karudin (25) lalu satu bayi berusia dua hari. Dua korban lain, Syamsul Bahri (22) dan Candra (42) mengalami luka berat.

Di tengah guyuran hujan dan peralatan seadanya, korban berhasil dievakuasi dari dasar jurang sisi kanan jalan karena dihantam material tebing saat melaju dari arah Sumbar menuju Riau.

Hingga Minggu (5/3/17), BPBD Limapuluh Kota dibantu TNI/Polri, Basarnas, dan relawan terus evakuasi korban longsor di dalam jurang, diketahui ada delapan mobil masuk jurang di km 17 Kotoalam. Sementara jalur lintas provinsi yang menghubungkan Sumbar-Riau lumpuh total, jalan penghubung dua provinsi ini terputus.

Untuk percepatan penanganan bencana longsor dan banjir, pemerintah Limapuluh Kota sudah menetapkan status tanggap darurat selama tujuh hari kedepan 3-9 Maret 2017.

Dari data BPBD Limapupuh Kota, dampak hujan deras melanda kabupaten ini, menyebabkan 64 titik longsoran tersebar di sepanjang jalur dari Payakumbuh hingga ke Pangkalan. Titik longsor terbanyak di Koto Alam dan Mangilang. Material longsoran berupa tanah berlumpur, kayu dan bebatuan masih menutupi setengah badan jalan. Titik longsoran memiliki tinggi rata-rata 30 meter dan panjang sekitar 200 meter.

Khusus di km 17 terdapat empat titik longsor, di Koto Alam, selain menutup jalan, longsor juga merusak aspal badan jalan.

Selain longsor, hujan deras terus-menerus sejak Jumat hingga Sabtu pagi membuat Sungai Sumpur meluap. Sedikitnya delapan kecamatan dan 13 nagari meliputi Kecamatan Pangkalan, Kapur IX, Mungka, Harau, Payakumbuh, Lareh Sago Halaban, Sulikik, dan Empat Barisan dikepung banjir.

 

Longsor di Kota Alam, Pangkalan, Limapuluh Kota, Sumbar. Foto: Fiddria Fala

 

Menurut informasi BPBD banjir Nagari Pangkalan, tercatat terparah 10 tahun terakhir. “Ketinggian air di tiitk tertentu mencapai tiga meter. Bantuan relawan dan pasokan logistik belum bisa dikirim karena jalan ke lokasi banjir juga longsor,” kata Nasriyanto.

Banjir di Pangkalan karena empat sungai (Batang Maek, Batang Kapur, Batang Mangilang, dan Batang Samo) meluap. Keempat aliran sungai ini bermuara di Kampar Riau.

Meluapnya air sungai diduga karena kapasitas waduk PLTA Kotopanjang terus mengecil akibat sedimentasi, hingga air dari keempat sungai tak tertampung mengakibatkan banjir di Nagari Pangkalan.

Untuk mengatasi, pengelola PLTA Koto Panjang yakni PLN pembangkitan Pekanbaru sudah melepas pintu waduk.

Di Kabupaten Sijunjung dan Dharmasraya, banjir juga merendam pemukiman warga. Kepala BPBD Sijunjung, Hardiwan mengatakan, banjir dipicu meluapnya Batang Kering, Batang Lalo dan Batang Moran yang melintasi kawasan itu.

Di Kota Sawahlunto, berbatasan langsung dengan Sijunjung, beberapa kawasan juga longsor seperti Lobangpanjang, MTsN, Puncak Polan dan Pasar Kubang.

 

Penanganan komprehensif

Longsor di perbatasan Sumbar-Riau, persisnya di Kotaalam, Pangkalan, Limapuluh Kota, Sumbar, bukanlah kali pertama terjadi. Data BPBD Sumbar, hampir setiap tahun di lokasi ini terjadi longsor, namun kali ini paling banyak memakan korban jiwa sejak 10 tahun belakangan.

Ditinjau dari kajian geologi, Ade Edward Darwin Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumbar, memaparkan Kotoalam berbukit tebing terjal jadi rawan longsor dan hilir mulai Mangilang hingga Pangkalan berupa dataran lebih rendah hingga rawan banjir. Jika ditelisik lebih jauh, kata Ade, lintasan Lubuak Bangku-Kotoalam hingga Mangilang terdiri dari batuan beku massif yang tak menyimpan air dan terpotong patahan-patahan.

 

Anak kecil bermain sisa-sisa lumpur di halaman rumah di Kecamatan Pangkalan, Limapuluh Kota, 4 Maret 2017. Foto: PMI Sumbar

 

Pada bagian ditutup tanah oleh pelapukan yang tak terlalu tebal, berupa tanah liat hasil pelapukan yang kurang menyerap air, hingga sebagian besar hujan jatuh tak terserap. Kering saat kemarau dan meluap kala hujan.

“Jadi Kotoalam ini, saat hujan ekstrim rawan longsor banjir bandang dan bagian hilir mulai dari Mangilang Pangkalan bersamaan akan mengalami kebanjiran.”

Pada 2002-2003, katanya, tim bidang Geologi Dinas Pertamben /ESDM dan Badan Geologi Kementerian ESDM pemetaan zonasi gerakan tanah di Sumbar. Hasilnya, lintasan Lubuak Bangku-Kotoalam-Mangilang adalah zona merah dengan kerawanan gerakan tanah dan banjir bandang. “Lokasi ini sangat rawan pergerakan tanah apalagi saat hujan deras,” katanya.

Belajar dari pengalaman dan fenomena alam yang sering terjadi, seharusnya pemerintah mengantisipasi untuk mencegah korban jiwa.

Pemicu lain lokasi makin rawan longsor, katanya, sejak pemakaian batu di sekitar bukit, material dari bukit dikeruk tanpa ada perbaikan lahan dan memperparah keadaan.

Ade bilang, pembangunan jembatan layang Kelok Sembilan dengan panjang sekitar 2,5 km dan tinggi tiang beton mencapai 58 m ini memerlukan banyak batu pecah split. Jadi di lokasi pembangunan jembatan disiapkan tambang batu.

“Nah, sumber batu yang dianggap memenuhi syarat dan terdekat di Kotoalam dan Mangilang, maka dibukalah beberapa lokasi tambang batu di bukit.”

Dalam penambangan, katanya,  tentu melakukan kegiatan penggalian dan penimbunan dengan cara membuka lahan. Kegiatan ini, memiliki risiko aliran air di permukaan lalu erosi yang kalau volume besar bisa jadi banjir bandang.

Untuk bahan bangunan jembatan layang Kelok Sembilan, katanya,  sebagian besar batu dari penambangan bahan galian C, yakni batu gunung dari perbukitan sisi kanan antara Kelok Sembilan dengan Kotoalam dan perbukitan sisi kiri menjelang Pasa Mangilang.  “Banyak tak mengetahui ini. Parahnya kawasan itu tidak direhabilitasi hingga memperburuk keadaan.”

 

Banjir di Kota Alam, Pangkalan, Sumbar, 3 Maret 2017. Foto: Fiddria Fala

 

Upaya pencegahan

Kedepan, langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencegah korban jiwa jatuh, ada beberapa hal bisa dilakukan. Pertama, harus diketahui permasalahan lingkungan terutama lingkungan fisik kebumian sebagai faktor utama penyebab banjir dan longsor kawasan ini.

Kedua, perlu peyelesaian masalah stabilisasi lereng rawan,  gerakan tanah di sisi jalan dan lokasi aliran melintasi jalan. “Stabilisasi lereng bisa dengan teknik rekayasa engineering, ada beberapa teknik bisa dipakai sesuai klasifikasi longsoran, salah satu pakai jaring kawat.”

Ketiga, tak kalah penting, tata ulang tutupan lahan, menata aliran air untuk ukuran curah hujan maksimal yang berimbang dan upaya-upaya stabilisasi lereng yang rawan gerakan tanah secara geological dan biological.

Keempat, pencegahan banjir di Kecamatan Pangkalan (banjir terparah) hingga ke Payakumbuh, perlu dipelajari topografi daerah.

Kecamatan Pangkalan memiliki topografi datar dan relatif paling rendah. Kawasan ini,  di kelilingi perbukitan hingga terlihat  berbentuk kuali dan tempat bermuara beberapa aliran sungai hingga Pangkalan ini jadi kumpulan air. Sedang aliran sungai keluar tak mampu mengalirkan debit tinggi saat terjadi hujan ekstrim hingga air tertahan jadi genangan.

Begitu juga dengan topografi Payakumbuh hampir sama dengan Pangkalan, rawan banjir tanpa longsor. Payakumbuh merupakan bekas danau purba mengering karena aliran bocor menjadi Batang Sinamar. Ia merupakan dataran rendah tempat air berkumpul.

Cause Uslini, Direktur Walhi Sumbar, menduga banjir dan longsor Limapuluh Kota tak terlepas dari dampak PLTA Koto Panjang, merupakan pertemuan aliran Batang Mahat dan Sungai Kampar.

“Genangan air tertahan di bendungan, saat terjadi hujan dengan durasi cukup lama, air akan meluap dan merendam kawasan sepanjang aliran itu.”

Pemicu lain, alih fungsi hutan jadi perkebunan menyebabkan daya serap hujan berkurang.

“Harus ada upaya mengembalikan fungsi. Kemudian relokasi warga di kawasan rawan banjir dan longsor.”

 

Proses evakuasi korban. Foto: BPBD Limapuluh Kota

 

TNI, bersama tim lain dan masyarakat bahu membahu proses evakuasi korban. Foto: BPBD Limapuluh Kota

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,