PLTA Masih Jadi Tumpuan untuk Capai Target 23 persen Bauran Energi Terbarukan

Untuk memenuhi kebutuhan listrik, Indonesia sedang mengoptimalkan kapasitas pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan, terutama dari tenaga air. Namun, Dewan Energi Nasional (DEN) mengingatkan bahwa target tersebut harus mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga air.

Hal tersebut disampaikan oleh Achdiat Atmawinata, anggota DEN bidang industri, sesudah sidang DEN ke 10, bulan lalu.

“Potensi PLTA itu besar sekali, sekitar 20 GW, campuran dengan mikrohidro. (Tetapi) pembangunannya lama, sementara sekarang sudah 2017,” jelas Achdiat.

 

 

Berdasarkan rencana penyediaan energi terbarukan dari DEN, pembangunan PLTA ditargetkan mencapai 17.986,7 Mega Watt pada tahun 2025 dan meningkat menjadi 38.000 Mega Watt pada tahun 2050. Jumlah ini jauh lebih tinggi ketimbang geothermal yang hanya ditargetkan 7.238,5 Mega Watt pada tahun 2025 dan 17.546,0 Mega Watt pada tahun 2050.

Hingga kini, kapasitas yang sudah terpasang sebesar 8.111 Mega Watt atau 10.81 persen dari sumber daya 75.000 Mega Watt, untuk tipe hidro.

Pembangunan PLTA, lanjutnya, bisa memakan waktu lima tahun, mulai dari survei hingga pembangunan fisik.

“Tidak sebentar. Initial cost-nya tinggi tapi operational cost-nya akan lebih murah. Mikrohidro relatif lebih murah, Tapi, bisa masuk ke grid yang gede atau yang off grid,” katanya.

Januari lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menyetujui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menitikberatkan kepada agenda pembangunan pembangkit listrik 35.000 Mega Watt. Mayoritas bahan bakar untuk pembangkit listrik tersebut berasal dari batubara.

Namun, RUEN masih memberikan ruang kepada pengembangan energi terbarukan sebesar 23% hingga 2025.

 

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Lahendong, Sulawesi Utara. PLTPB Lahendong merupakan lapangan panas bumi pertama di kawasan Indonesia Timur yang memproduksi listrik. Foto : ebtke.esdm.go.id

 

Tumiran dari DEN menyatakan bahwa target energi terbarukan tersebut tidak ada perubahan.

“Karena RUEN ini sudah ditetapkan, harus bisa dicapai dengan berbagai cara dan strategi pencapaian. Kita sudah komitmen terhadap perubahan iklim, mencapai ketahanan energi, kemandirian energi dan memastikan sumber-sumber energi local bisa memenuhi kebutuhan energi daerah masing-masing,” katanya.

Achdiat menambahkan bahwa PLTA jauh lebih murah dari panas bumi, baik dari investasi dan feasibility.

“Panas bumi baru beberapa persen (bisa dimanfaatkan), ongkosnya tinggi dan ketika ngebor belum tentu dapat, sehingga risikonya besar,” tambahnya. “Cuman PLTA harus dihitung benar, gimana hujan di situ, daerah tangkapan air, water catchment areas, dan sekarang dengan global warming, kan berubah cuaca dan semacamnya. Jadi, butuh data untuk bikin dam, (data yang) reliable.”

Meski tidak menyebutkan secara spesifik target pembangunan PLTA, namun Achdiat menyatakan bahwa sudah bisa dibangun di lima pulau besar.

“Misalnya, di sungai Mahakam di Kalimantan saja belum ada (PLTA). Dibuang-buang gitu aja (potensi air), sayang kan? Daripada gali-gali batubara terus bolong lobang dan diekspor, lalu (menghasilkan) emisi CO2. Air (PLTA) kan lebih ramah (lingkungan),” tambahnya.

 

Sel bahan bakar portabel dengan durasi panjang ini merupakan pembangkit listrik yang menghasilkan energi bersih dan dapat diandalkan. Sumber: Arcona Energy.com

 

Sektor industri juga bisa menggunakan listrik dari PLTA, sebagai contoh INALUM (PT Indonesia Asahan Aluminium Persero) bisa memakai listrik murah, mengurangi biaya dan bisa membangun smelter. Ia pun mencontohkan industri baja dan petrochemicals bisa melakukan hal yang serupa.

“Luar biasa itu. Jadi, value added-nya juga tinggi (karena) listriknya lebih murah,” tandasnya mengingatkan bahwa tinggal delapan tahun lagi untuk bisa mencapai target 23 persen, yang separuhnya berasal dari PLTA.

Ia juga mengingatkan pihak mana saja yang harus mengambil tanggung jawab karena sumber daya air merupakan lintas kementerian, tidak berada di bawah ESDM semata. Lebih lanjut, ia mengatakan harus ada kejelasan atas industri mana saja yang bisa menggunakan listrik dari PLTA dan berapa daya yang dibutuhkan.

“Yang namanya PLTA kan harus kontinu, sementara ngomong EBT (energi baru terbarukan), maaf saja solar cell tidak bisa kontinu. Ketika jam empat (sore), (listrik) sudah mati. Tidak bisa disimpan dan baterenya masih sebesarnya rumah,” katanya mengistilahkan PV (Photovoltaic) sebagai appetizer sementara main course adalah panas bumi, PLTU dan PLTA bila ingin mengembangkan energi baru terbarukan.

Sementara, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dan juga pakar isu energi di Indonesia, mengatakan bahwa target pengembangan PLTA sulit terpenuhi karena besarnya sumber daya tapi tidak diimbangi oleh permintaan yang besar.

Resources (air) yang besar itu adanya di Kalimantan dan Papua, sedikit di Sulawesi. Untuk Jawa dan Sumatra sudah tidak ada lagi yang besar-besar. Ukurannya bisa mencapai 10.000 MW hingga 14.000 MW, contohnya (sungai) Mamberamo saja bisa mencapai 12.000 MW,” kata Tumiwa. “Tapi, kalau dibangun di sana sebanyak itu, yang menyerap siapa? Berapa kemampuan demand-nya di sana? Ada sumber daya tapi ga ada yang pakai.”

Untuk seluruh pulau Kalimantan, lanjutnya, hanya membutuhkan daya sebesar 1.500 Mega Watt.

Lebih lanjut, ia mengatakan hanya industri-industri besar, seperti petrochemical dan smelter, yang bisa menyerap listrik sebesar itu tapi akan makan waktu bertahun-tahun.

“Bisa juga bangun kabel laut dari Jawa ke Kalimantan, tapi itu akan panjang sekali. Atau, bangun industri di sana. Pindahkan saja industri di Jawa ke Kalimantan. Tapi, apa mungkin dilakukan selama delapan tahun?” jelasnya menambahkan butuh minimal sepuluh tahun untuk memulai pembangunan PLTA dengan skala besar.

 

Pembangkitan listrik dari energi panas bumi

 

Berbeda dengan Achdiat yang tidak terlalu mengusulkan tenaga surya, Fabby menyatakan bahwa kapasitas panas matahari di Indonesia justru bisa dimanfaatkan sebagai energi intermittent (sela), selain mengoptimalkan panas bumi dan biomassa.

“Yang mungkin bisa dikembangkan dengan cepat adalah surya. Potensi surya ini cukup besar sebesar 500 Giga Watt. Untuk rooftop pelanggan PLN, baik rumah tangga dan industri, bisa dikembangkan sebesar 5-7 Giga Watt. Untuk utility scale, bisa dikembangkan hingga 115 Giga Watt di Pulau Jawa. Jadi, solar ini siap sebagai intermittent (energi sela), setidaknya mencapai 50.000 Mega Watt,” tandasnya.

Lebih lanjut, Fabby masih menekankan kepada optimalisasi panas bumi dan biomassa.

“Meskipun target yang ditetapkan sebesar 7.000 Mega Watt tapi masih bisa sampai 10.000 Mega Watt. Pengembangan geothermal kan jangka panjang,” tambahnya. “Yang kedua, maksimalkan biomass, misalnya dari pertanian, limbah kelapa sawit, dan kebun energi. Memang butuh lahan yang besar, itu saja yang perlu dipikirkan.”

Fabby mengatakan bahwa target energi terbarukan sebesar 23 persen tidak akan berubah, namun tidak akan bisa sepenuhnya tercapai.

“RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) baru disetujui tapi belum ditandatangan. Tapi, angkanya tidak akan berubah karena sudah ada Perpresnya. Hanya saja tidak akan sepenuhnya tercapai. Ya, kalau mau optimal, ke geothermal, biomassa, dan tenaga surya,” jelasnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,