Enggan Buka Dokumen Kajian Teluk Jakarta, Luhut Dituduh Berbohong

Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) menuduh Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan melakukan kebohongan karena tidak membuka hasil kajian Gabungan Reklamasi Teluk Jakarta. Tuduhan tersebut muncul, setelah sidang lanjutan gugatan informasi publik yang dilayangkan KSTJ kembali digelar di Jakarta, Senin (06/03/2017).

Dalam sidang tersebut, Luhut diketahui hanya memberikan dokumen dalam powerpoint yang sebelumnya diberikan tetapi tidak memenuhi permohonan informasi yang diajukan. Karena itu, Luhut dinilai telah melakukan kebohongan, mengingat dokumen tersebut sebelumnya sudah pernah diberikan juga.

Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) yang hadir mewakili KSTJ, membeberkan fakta dalam persidangan, Luhut yang datang dengan perwakilannya, enggan untuk membuka hasil kajian dan terlihat menutup-nutupinya dengan berbagai cara.

“Itu menunjukkan ada sikap yang inkonsisten terkait reklamasi Teluk Jakarta yang diperlihatkan Luhut. Ini merupakan preseden buruk hak atas informasi sebagai bagian dari hak atas lingkungan,” ungkap Rayhan Dudayev, dari ICEL.

 

 

Lebih lanjut dia menjelaskan, dalam persidangan tersebut, wakil dari Menko Maritim hanya menyebut bahwa ada rekomendasi tentang reklamasi Teluk Jakarta, tanpa menyebut ada hasil kajian tentang itu.

Karena itu, menurut Rayhan, sikap yang diperlihatkan Menko Maritim tersebut menunjukkan ada dasar yang tidak kuat berkaitan dengan keinginan mereka untuk melanjutkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Dan bahkan, jika itu terus dilaksanakan, maka itu adalah tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Menko Maritim.

“Sebelumnya, Menko Maritim sudah berjanji akan membuka hasil kajian dari proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Namun, janji itu tidak ditepati dan justru itu semakin memperlihatkan bahwa Menko Luhut berupaya untuk membuat publik semakin bingung dengan sikap Pemerintah,” jelas dia.

Kredibilitas Pemerintah dipertanyakan dalam penyelesaian kasus reklamasi di Teluk Jakarta. Tidak seharusnya reklamasi dilanjutkan pembangunannya, sementara proses hukumnya masih terus berjalan. Jalan paling aman, seharusnya Pemerintah menunda reklamasi sampai ketetapan hukumnya jelas.

 

Sejumlah nelayan menyegel Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Mereka menyegel pulau buatan tersebut karena menolak reklamasi Teluk Jakarta yang merugikan mereka, Foto : Sapariah Saturi

 

Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menilai, jika reklamasi kembali dilanjutkan, akan banyak masalah yang timbul. Di antaranya, karena ketetapan hukumnya tidak ada. Padahal, untuk bisa melaksanakan reklamasi, ketetapan hukum harus jelas.

Direktur Eksekutif WALHI Nasional Nur Hidayati mengatakan, ketetapan hukum yang menjadi acuan utama dalam reklamasi, adalah peraturan daerah (Perda) tentang zonasi kawasan pesisir dan pulau-pulau terpencil.

“Jika perda zonasi sudah ada, reklamasi bisa terus dilanjutkan. Tentu saja, dengan memenuhi segala ketentuan yang menjadi syarat,” ungkap dia kepada Mongabay.

Nur Hidayati menjelaskan, selain perda zonasi, reklamasi yang dilakukan di Teluk Jakarta, khususnya yang sudah berjalan di Pulau G, F, I, dan K, dinyatakan melanggar ketentuan yang berlaku di Indonesia. Yaitu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Tidak hanya itu, proyek reklamasi Teluk Jakarta, ditengarai juga sudah melanggar tata aturan yang lain. Menurut Nur Hidayati, pengembang dalam melakukan penyusunan analisis mengendai dampak lingkungan (AMDAL) tidak partisipati dan tidak melibatkan nelayan.

“Yang juga sudah dilanggar, dalam proyek reklamasi di Teluk Jakarta, itu ditemukan kepentingan untuk bisnis jauh lebih besar dibanding kepentingan untuk umum atau rakyat. Karenanya, reklamasi tidak benar. Itu semua kata Majelis Hakim PTUN Jakarta ya,” sebut dia.

Karena itu, WALHI menilai, apa yang dilakukan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Luhut Pandjaitan dengan membuat pernyataan proyek reklamasi di Teluk Jakarta dilanjutkan, itu adalah kesalahan besar dan patut dipertanyakan kebenarannya.

“Kemenkomar mengklaim dalam pernyataannya bahwa itu sudah disepakati oleh instansi lain, namun itu juga patut ditelusuri lagi kebenarannya,” jelas dia.

 

Pembangunan yang sedang dilakukan di Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Pemerintah akhirnya memutuskan menunda reklamasi Teluk Jakarta setelah ditemukan berbagai pelanggaran aturan dan hukum. Foto : Sapariah Saturi

 

Ungkapan penuh keraguan tersebut sangat beralasan. Karena Nur Hidayati mencatat, hingga saat ini dua instansi sentral, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diketahui masih memiliki sikap yang sama yakni merekomendasikan reklamasi dihentikan.

“Tapi bisa apa jika Luhut sudah mengeluarkan pernyataan seperti itu. Tinggal tunggu waktu saja sekarang apakah kekuatan hukumnya akan ada atau tidak,” jelas dia.

 

Revisi Undang-Undang Perikanan

Sementara itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia mengungkap rencana Pemerintah untuk melakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Revisi tersebut, seharusnya bisa memberikan manfaat banyak dengan mensejahterakan nelayan dan pekerja perikanan.

Ketua Pengembangan Hukum dan Pengembangan Nelayan KNTI Marthin Hadiwinata mengatakan, revisi UU Perikanan seharusnya menjadi pintu masuk bagi kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha perikanan di Indonesia.

Dalam pandangan dia, revisi ini seharusnya melakukan porsi yang besar dengan pembagian usaha perikanan dengan menekankan kegiatan pasca-produksi. Dengan menekankan kegiatan pasca-produksi akan meningkatkan nilai komoditas perikanan yang dapat bersaing di dalam maupun di luar negeri.

“Permasalahan UU Perikanan sebelumnya yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 tidak memiliki pengaturan mengenai pasca-produksi,” ungkap dia.

Secara politik, Marthin mengatakan, kondisi hukum UU Perikanan yang ada sekarang hanya berfokus kepada kegiatan produksi saja. Hal ini, bisa dilihat dari banyaknya pasal lebih dari 100 dalam UU Perikanan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 52 persen di antaranya membahas tentang produksi, 29,4 persen membahas tentang pra produksi, 15 persen mengatur tentang pra hingga pasca produksi, dan hanya 17,6 persen membahas tentang pasca produksi.

“Revisi UU Perikanan dengan draft terakhir tertanggal 13 Februari 2017 masih berbicara di tataran yang sama, yakni bertumpu kepada aspek produksi saja,” jelas dia.

Porsi yang dibuat dalam UU tersebut, menurut Marthin sangatlah tidak pas. Karena, dari 13 juta lebih tenaga kerja di sektor perikanan, sebanyak 51 persen di antarana diketahui beraktivitas di sektor produksi (tangkap dan budidaya), 38 persen di pemasaran, dan hanya 11 persen di sektor pengolahan.

Padahal, kata Marthin, jika porsinya diubah, maka itu akan mengubah kondisi. Contohnya saja,  dengan lapangan kerja yang terbuka di bagian pasca produksi yaitu di sektor pengolahan, maka itu akan membuka lapangan pekerjaan yang lebih besar bagi para pekerja perikanan.

“Namun tentu harus ada juga perlindungan pekerja yang baik meliputi kondisi kerja yang layak, perlindungan asuransi dan masa tua, pengawasan ketenagakerjaan yang kuat hingga masalah pengupahan. Hal tersebut juga tidak diatur Revisi Undang-Undang Perikanan,” tutur dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,