Warga Pandumaan-Sipituhuta Bersiap Hijaukan Kembali Hutan Adat Mereka

Hutan Kemenyan itu telah kembali ke pangkuan warga adat Pandumaan-Sipituhuta setelah sekian lama dalam kekuasaan perkebunan kayu. Hutan yang dulu hijau, sudah jauh berbeda. Sebagian gersang, tinggal tanah, adapun pohon kemenyan, tersisa sedikit. Pasca pengembalian ini, warga bertekad memulihkan kembali hutan adat seperti dulu. Hijau dengan kemenyan dan pepohonan lain. Warga berharap, hutan adat ini bisa menjadi sumber hidup mereka lagi.  

Sore menyambut kala kami, tiba di wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, hari itu. Tampak anak-anak tertawa riang sambil bermain sepeda, enggrang. Ada juga anak bermain musik dari kaleng bekas. Pada bagian lain, tampak beberapa anak usia belasan tahun tengah menggiring kerbau-kerbau untuk kembali ke kandang. Suasana damai. Menyenangkan.

Komnas HAM datang ke sini untuk melihat kondisi lapangan pasca pemerintah mengeluarkan hutan adat Pandumaan-Sipituhuta, dari konsesi perkebunan kayu, PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Akhir tahun lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengeluarkan hutan adat Pandumaan-Sipituhuta seluas 5.172 hektar dari TPL.

Baca juga: Kemelut Hutan Kemenyan, Menguak Luka Warga di Tepian Danau Toba

Hutan adat atau hutan kemenyan (tombak haminjon) yang bertahun-tahun dalam kuasa perusahaan bubur kertas itu, balik ke masyarakat adat lewat perjuangan panjang, bertahun-tahun.

Delima Silalahi, Koordinator Studi dan Advokasi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mengatakan, sejak TPL masuk ke tanah adat Pandumaan-Sipituhuta menghancurkan ribuan batang kemenyan yang selama ini jadi mata pencarian warga. Praktis, taraf ekonomi warga menurun.

Mata pencarian utama mereka sudah hilang, hingga memenuhi kebutuhan hidup keluarga, para istri membantu suami dengan pergi ke ladang di kampung mereka.

Inilah hutan adat Pandumaan-Sipituhuta kala berada dalam kekuasaan perkebunan kayu. Kini, mereka akan menghijaukan kembali…Foto: Ayat S Karokaro

 

 

***

Malam tiba. Waktu jam menunjukkan pukul 20.00. Kampung tampak sepi. Hanya sesekali kendaraan roda dua melintas, setelah itu suasana hening.

Diantara kesenyapan itu, samar-samar terdengar suara Pendeta Haposan Sinambela, tokoh agama sekaligus tokoh masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta tengah berbicara di belakang Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Kecamatan Pollung.

Ternyata, disana warga tengah berkumpul membicarakan langkah pasca pengembalian hutan adat mereka oleh pemerintah.

Dengan lampu penerangan seadanya, para tokoh adat Pandumaan-Sipituhuta dan masyarakat berdiskusi. Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM tampak hadir.

Dua jam silang pendapat terjadi, akhirnya mereka mengambil suatu keputusan: menduduki kembali hutan adat. Mereka akan memasang plang bertuliskan wilayah adat mereka yang dikuasai TPL harus dikembalikan berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Semua setuju, dan diskusi ditutup, mereka kembali ke rumah masing-masing.

 

Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM di hutan kemenyan. Foto: Ayat S Karokaro

 

Keesokan hari, Kamis (23/2/17), hiruk-pikuk terdengar di Desa Pandumaan, Pollung. Gonggong anjing bersahutan. Induk dan anak ayam sudah keluar dari kandang mencari makan.

Beberapa anak muda berkumpul di kediaman Pendeta Haposan Sinambela. Mereka membawa parang tajam, bambu, kayu, martil, dan paku. Hari itu, masyarakat akan pergi ke hutan kemenyan.

Ada 10 plang bertuliskan,” berdasarkan SK 923/MEN LHK/ Sekjen/ HPL 0/12/2016 berisikan wilayah adat ini tak lagi masuk konsesi PT TPL. TPL dilarang beraktivitas di wilayah ini.”

Dengan bermobil, mereka menuju ke konsesi TPL. Saat akan masuk pintu gerbang tampak keamanan perusahaan menjaga ketat. Mereka langsung menghentikan laju kendaraan, termasuk kendaraan Komnas HAM dan sejumlah organissi masyarakat sipil.

Haposan keluar dan menjelaskan, mereka akan masuk melihat hutan kemenyan warga adat. Awalnya sekuriti melarang, namun tak berapa lama, datang seorang petugas lain– mungkin komandannya– mempersilakan rombongan masuk.

Saat memasuki konsesi TPL, tampak hutan yang dulu rimbun dan lebat, kini gersang. Terlihat hanya eukaliptus berdiri tegak.

Dua tahun lalu,  saat saya ke konsesi ini, suara monyet dan burung masih terdengar walau tak seriuh sebelum perusahaan masuk. Kini, suara binatang-binatang itu tak lagi terdengar.

Di tengah konsesi TPL, warga turun, lalu menancapkan plang yang mereka siapkan. Tampak aparat kepolisian berpakai preman, hanya bisa memperhatikan saja. Bahkan, seorang anggota Polres Humbahas, bantu memegang plang. Di sana, tampak pohon-pohon kemenyan muda seperti baru tanam.

Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke konsesi TPL yang lebih jauh, dan melakukan hal sama, memasang plang.

Setelah itu mereka menuju ke hutan kemenyan. Disana ada sebuah gubuk, biasa digunakan Pendeta Haposan dan para petani kemenyan untuk beristirahat.

Haposan bilang, mereka berencana menghutankan lagi Tombak Haminjon. Tanpa kayu alam sebagai pelindung, kemenyan tak akan tumbuh baik.

“Terimakasih pada pemerintah. Setelah ada putusan ini, dipulihkan semangat kami bekerja menghidupi anak dan keluarga,” katanya.

 

Warga Pandumaan-Sipituhuta, sebelum menancapkan plang penanda hutan adat di bekas konsesi TPL. Foto: Ayat S Karokaro

 

Dia bilang, sudah bertemu dengan Noer Fauzi Rachman, Staf Khusus Kepala Staf Presiden, saat berkunjung ke wilayah adat mereka. Saran Noer Fauzi, membuat palang untuk tapal batas wilayah hutan adat dengan TPL.

Atas dasar itulah, mereka membuat palang di wilayah adat. Jika perusahaan tetap melanggar, mereka sudah bisa melaporkan pada aparat kepolisian, karena perusahaan dianggap melanggar keputusan pemerintah soal hutan kemenyan Pandumaan-Sipituhuta.

Menurut dia, hutan adat mereka harus ditanami bibit kayu alam terlebih dahulu. Selanjutnya, membahas eukaliptus yang ditanam TPL di hutan adat mereka. Terpenting, katanya, menjaga hutan adat tak disalahgunakan.

“Sesuai aturan, hutan adat ini hanya boleh dikembalikan lagi jadi hutan kemenyan. Tak diperjualbelikan. Kami harus bekerja keras mengembalikan hutan dulu, dengan waktu setidaknya delapan hingga 10 tahun. Setelah hijau, baru tanami kemenyan.”

Sandra Moniaga, melihat langsung, masyarakat Pandumaan-Sipituhuta tergantung dari hutan, baik secara ekonomi, ekologis maupun kultural.

Dalam tradisi Pandumaan-Sipituhuta, yang mengurus tombak haminjon laki-laki, sedangkan perempuan di kampung dan urusan domestik.

Karena ada perusakan hutan kemenyan, berdampak pada ekonomi keluarga. Ia berdampak pada hak anak-anak mendapatkan pendidikan layak, hak bisa mendapatkan kehidupan layak, serta perumahan yang baik.

“Jadi ibu-ibu akhirnya turut membantu mencari alternatif pendapatan,” katanya.

Konflik hutan kemenyan Pandumaan-Sipituhuta ini, katanya, sudah lama, setidaknya 2009. Komnas HAM ikut terlibat cukup lama. Bahkan pada 2014, dengar pendapat lewat Inkuiri Nasional.

Bupati Humbahas saat bertemu Sandra menyatakan segera menyiapkan perda bersama DPRD Humbahas. Komnas HAM mengapresiasi langkah Pemerintah Humbahas.

“Satu pernyataan memang indikasi baik dan dianggap langkah baik. Langkah kongkrit untuk menghasilkan suatu rancangan baik lewat proses konsultasi publik yang juga baik, harusnya bisa segera dilakukan.”

“Kami menunggu janji bupati yang menyatakan April perda siap. Kami menunggu Maret untuk melihat draf dulu, agar betul-betul sesuai prinsip-prinsip penghormatan dan perlindungan hak azasi manusia.”

Bupati Humbahas, Dosmar Banjarnahor mengatakan, tanah adat yang keluar dari konsesi TPL itu tanah komunal, tak bisa diperjualbelikan.

Setelah ada pelepasan sebagian konsesi TPL oleh pemerintah, maka perusahaan tak punya hak lagi menguasai wilayah itu.

Selain bikin perda, Pemkab Humbahas juga petakan wilayah yang dikeluarkan dari TPL. Dia memperkirakan, April 2017,  pemetaan selesai. “Apapun ceritanya TPL tak punya hak lagi di wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,