Cerita Petani Kopi dari Lembah Masurai (Bagian 2)

 

 

Beberapa kali saya terhempas dari dudukan motor trail  yang  saya tumpangi dalam perjalanan ke Talang Sanda. Gundukan tanah curam membuat saya terayun-ayun. Nyaris terjatuh. Talang Sanda, Dusun Sungai Tebal,  Desa Tua Kecamatan Lembah Masurai ini memang terbilang sulit dijangkau.

Talang, sebutan untuk lokasi pemukiman di kebun-kebun sepanjang kaki Lembah Masurai. Jika berjalan kaki dari Dusun Sungai Tebal perlu tiga jam perjalanan. Pakai motor sekitar dua jam.

Beruntung, saat saya menuju Talang Sanda jalan kering, Cerita akan berbeda kala tanah becek karena hujan. Dapat dipastikan tak ada ojek kopi bisa ditumpangi untuk keluar masuk kawasan ini.

Saya sedikit terlambat datang. Belasan anak yang belajar di pondok kecil sudah pulang ke rumah masing-masing. Hanya tertinggal Salsiah dan Hasanah, guru Kelas Jauh di Talang Sanda.

 

Baca juga: Berebut Lahan di Lembah Masurai (Bagian 1)

 

Kelas Jauh ini berinduk di SDN 300/VI Dusun Sungai Tebal. Salsiah menyebutkan sekolah ini didirikan sejak 2016 atas inisiatif warga Talang Sanda yang secara administrasi berada di RT 23 Dusun Sungai Tebal.

“Anak-anak jauh kalau mau sekolah. Mereka selama ini sulit mendapat pendidikan. Banyak yang tidak bersekolah, karena jika bersekolah keluar biaya yang dikeluarkan sangat besar,” kata Salsiah.

Secara swadaya, mereka berhasil membangun sebuah pondok belajar disebut sekolah. Sekolah Dasar ini terdiri dari lima kelas. Ada 19 siswa yang sudah bersekolah, dari kelas satu hingga kelas lima. Meskipun ada lima tingkatan kelas, semua siswa belajar pada ruangan yang sama.

Ada 400 keluarga di Talang Sanda, mereka mayoritas menggantungkan hidup sebagai petani kopi. Ngadiyo (57), warga Talang Sanda menyebutkan tinggal di lereng perbukitan bukan pilihan mereka. Namun keadaan memaksa mereka, demi menyambung hidup setiap hari.

Ngadiyo, merantau ke Lembah Masurai berawal jadi buruh tani. Ada berbagai macam tipe buruh tani kopi. Pertama, sistem bagi hasil, hasil panen diperoleh petani akan dibagi dua dengan buruh tani. “Ada juga buruh tani dengan menyewa lahan. Ada juga buruh tani gaji dihitung harian berdasarakan hasil panen.

“Di sini rata-rata banyak yang jadi buruh,mba’. Saya, sampai saat ini masih buruh. Penghasilan kotor buruh tani Rp3 tiga juta,” katanya.

Penghasilan ini belum lagi harus dikurangi biaya pengangkutan hasil panen kopi ke luar. Ngadiyo sulit menyekolahkan anak ke luar dari Talang tempat dia bermukim. “ Biaya sangat mahal, kalau harus sekolah di luar. Belum lagi anak-anak harus ngekos, kalau tak ada saudara di dusun,”  katanya.

 

Tanaman kopi di kaki Gunung Masurai, sebagian masuk TNGS. Foto: Elviza Diana

 

Pengangkutan panen biji-biji kopi pakai ojek kopi. Ojek rata-rata gunakan motor trail, karena kondisi jalan sulit dilalui. Setiap kilogram biji kopi dihargai Rp2.000. Satu motor mampu mengangkut hingga 300an kg.

Ojek kopi pun cukup menggiurkan. Anjar (24), ojek kopi sempat memiliki penghasilan hingga Rp30 juta setiap panen besar. “Tahun lalu, saya dapat Rp30 juta. Bisa beli motor trail ini. Sebelumnya ngojek pakai motor bebek,” katanya.

Dalam satu kali pengangkutan, ojek kopi kena biaya perawatan jalan di setiap simpang-simpang yang dilalui Rp5.000.

Menuju Talang Sanda, ada tujuh kali pungutan di persimpangan, dana untuk perbaikan jalan. ”Iya, kita ga apa-apa ada pungutan. Karena kalau tidak ada uang itu perbaikan jalan tak bisa dilakukan. Yang repot tukang ojek juga kala jalan tidak bisa dilalui,” kata Anjar.

Sepanjang mata memandang di Lembah Masurai, disuguhi pohon-pohon kopi berjejer rapi.  Ketinggian mencapai 1.000 mdpl, sangat cocok sebagai lahan perkebunan kopi robusta. Diperkirakan sekitar 15.000 hektar lahan juga masuk Taman Nasional Kerinci Seblat.

Kalkulasi hitungan kotor saja, jika setiap satu hektar 3.000 batang kopi dan setiap batang menghasilkan dua kilogram kopi basah, hasil kopi kering 0,33 kg. Dengan total luasan 15.000 hektar, produksi kopi sampai 14. 850.000 kilogram.

Dengan harga kopi kini Rp20.000, setiap kilogram, pemasukan bisa 2,9 triliun setiap tahun.

Ashari, pendamping SPI Merangin mengatakan, aliran dana dari kopi yang 10% untuk pajak pertambahan nilai maka ada sekitar Rp29 miliar mengalir untuk negara.

Kendati demikian, nasib petani ini hingga kini belum sebagai warga negara secara administrasi. Dari total 8.000 jiwa tersebar di beberapa desa di Kecamatan Lembah Masurai, hanya 10% yang terdata dan memiliki KTP dengan alamat tempat domisili.

Hendri Putra Camat Lembah Masurai menyebutkan, banyak pendatang belum mendapatkan KTP karena mereka masih terdaftar di tempat tinggal sebelumnya.

“Kalau tak ada KTP itu karena mereka masih terdata di alamat sebelumnya. Kita memang tak bisa mengeluarkan KTP karena mereka tinggal di lokasi TNKS,” katanya.

 

Jembaatn ini juga dibangun swadaya oleh masyarakat. Ia menghubungkan kebun kopi satu dengan lainnya. Foto: Elviza Diana

 

Dia memberikan kelonggaran dengan memberikan KTP sementara jika ada pengurusan administrasi, misal terkait dengan layanan pendidikan dan kesehatan.

“Kalau ada sakit butuh untuk asuransi biaya pengobatan , kita berikan surat keterangan domisili saja. Sifatnya sementara, sampai ada kejelasan status lahan sebagai temapat tinggal mereka.”

Adili, selaku Ketua RT 23 dalam kawasan Talang Sanda mengatakan, agar pemerintah segera menetapkan status mereka hingga hak-hak sebagai warga negara dapat utuh.

“Minta pemerintah segera menetapkan kejelasan status kami. Selama ini kami kesulitan mengakses layanan-layanan publik seperti kesehatan, pendidikan dan layanan lainnya.”

Selama ini, mereka swadaya, bantu membantu jika ada yang sakit. “Kelas Jauh ini juga hasil swadaya semua.”

Kejalasan status para pendatang ini, kata Ashari juga menjadi pintu dalam penyelesaian perebutan lahan di Lembah Masurai.

Menurut dia, jika ada kejelasan kawasan dan kependudukan dapat mencegah perambahan tak meluas.

Kala ada tata batas ulang, mana areal TNKS sudah terambah dan kejelasan administrasi kependudukan, dia yakin persoalan perambahan dapat diminimalisir.

“Kami sebagai pendatang juga warga negara yang berhak atas penghidupan dan pengakuan negara.”

Senja perlahan menyapa pucuk-pucuk daun kopi. Ranum dan memerah biji-biji kopi tak senikmat kehidupan para petani yang tinggal di talang-talang sepanjang Kaki Gunung Masurai. Tak ada pengakuan dan stigma negatif terus menghantui mereka. Masib perlu perjuangan panjang… (Bersambung)

 

Bangunan kelas jauh yang dibikin swadaya oleh masyarakat demi anak-anak bisa mengenyam pendidikan. Foto: Elviza Diana
Para pengojek yang membawa biji-biji kopi, dengan jalan kecil berbatu. Foto: Elviza Diana

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,