Komnas HAM Rekomendasikan Rencana Reklamasi Teluk Benoa Dibatalkan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengeluarkan surat rekomendasi terkait rencana reklamasi Teluk Benoa. Surat rekomendasi tertanggal 28 Februari 2017 itu ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Kepala Polisi Republik Indonesia dan Gubernur Bali.

Keluarnya Surat Rekomendasi Komnas HAM tersebut disampaikan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) kepada wartawan pada Sabtu (04/03/2017) lalu di Taman Baca Kesiman, Denpasar, Bali.

Dalam salah satu poinnya, Komnas HAM merekomendasikan agar para pihak terkait tidak melanjutkan rencana reklamasi Teluk Benoa kecuali mendapatkan dukungan dari seluruh masyarakat, khususnya warga adat Bali. Komnas HAM RI mengingatkan bahwa meskipun secara legal ada payung hukum melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 51 tahun 2014, namun justru masyarakat menolak penerbitan Perpres tersebut.

“Melanjutkan rencana reklamasi tanpa dukungan masyarakat Bali akan menimbulkan dampak sosial budaya serta berpotensi menimbulkan konflik vertikal dan horisontal,” demikian tulis Komnas HAM dalam Surat Rekomendasi Nomor 354/K/PMT/II/2017 itu.

 

 

Rekomendasi pembatalan itu merupakan poin pertama dari lima rekomendasi Komnas HAM. Dalam surat lima halaman itu, Komnas HAM juga mengeluarkan rekomendasi untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi, intimidasi, dan pembungkaman terhadap para aktivis, seniman, dan masyarakat yang menyampaikan aspirasi terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa.

Ketiga, para pihak diminta menghormati adat istiadat, khususnya dalam pembahasan rencana reklamasi Teluk Benoa. Menurut Komnas HAM, selama ini para pemuka agama Hindu Bali telah memiliki mekanisme partisipasi masyarakat dalam merencanakan setiap pembangunan demi masa depan Bali.

Keempat, mengutamakan transparansi dengan meningkatkan partisipasi publik serta membangun komunikasi yang melibatkan masyarakat adat sebagaimana lazimnya tradisi Bali.

Terakhir, Komnas HAM juga merekomendasikan terwujudnya konsep pembangunan berbasis HAM yang menjamin hak partisipasi masyarakat dalam pembangunan, menentukan nasibnya, berkontribusi dan menikmati pembangunan dalam semua aspek: sipil, ekonomi, budaya, dan politik.

Surat Rekomendasi itu ditembuskan kepada Presiden RI, Ketua DPR, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Ketua Komisi IV DPR, Ketua DPRD Bali, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan ForBALI.

Rekomendasi itu ditandatangani Koordinator Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Siane Indriani. “Keputusan tentang rekomendasi ini telah disetujui oleh sidang paripurna Komnas HAM. Semua komisioner memyetujui secara bulat,” kata Siane.

Menurut Siane, kasus ini dianggap penting oleh Komnas HAM karena dampaknya sangat besar bagi masyarakat Bali. “Oleh sebab itu kami membahas secara khusus dalam rapat paripurna,” ujarnya.

 

Aksi di laut dari Tanjung Benoa, Bali pada Minggu (28/02/2016) Foto : Forbali

 

Fakta Lapangan

Siane menambahkan rekomendasi tersebut dihasilkan berdasarkan berbagai fakta yang ditemukan berdasarkan pemantauan dan penyelidikan di lapang. Ada sembilan data, informasi, dan fakta yang ditemukan Komnas HAM terkait dengan rencana reklamasi Teluk Benoa.

Pertama, Universitas Udayana telah melakukan studi kelayakan terkait reklamasi Teluk Benoa. Hasil kajian itu menyatakan bahwa reklamasi Teluk Benoa tidak layak dilakukan karena tidak memenuhi aspek teknis, lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi.

Kedua, ada indikasi tidak ada transparansi dalam proses penerbitan SK Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/HK/2012 2012 tentang Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan, dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa seluas 838 hektar. SK Izin Gubernur Bali itu kemudian diperbarui setahuna kemudian menjadi SK tentang izin studi kelayakan.

Komnas HAM juga menemukan tidak adanya transparansi dalam proses lahirnya Permen Nomor 17/Permen-KP/2013 tentang Izin Reklamasi di Zona Konservasi Non Inti.

Menurut Komnas HAM, SK Gubernur Bali tentang reklamasi Teluk Benoa bertentangan dengan Perpres Nomor 45 tahun 2011 tentang Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita. Perpres itu menyatakan bahwa Teluk Benoa termasuk kawasan konservasi. Sebagaimana disebut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.1/6/MEN/2008, reklamasi tidak bisa dilakukan di wilayah konservasi.

Komnas HAM menemukan fakta bahwa keluarnya Perpres Nomor 51 tahun 2014 yang mengubah status kawasan Teluk Benoa menjadi zona penyangga atau kawasan justru ditolak masyarakat adat Bali. Di sisi lain, pemerintah juga tidak melibatkan masyarakat dalam perencanaan tata ruang.

“Rencana reklamasi Teluk Benoa berpotensi mengakibatkan adanya konflik sosial jika tetap dijalankan,” tulis Komnas HAM.

 

Pemimpin desa adat melarung sesajen dan uang hasil sumbangan ke laut dalam aksi menolak reklamasi Teluk Benoa, Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Mengenai pendangkalan di Teluk Benoa, yang selama ini digunakan sebagai alasan untuk mereklamasi Teluk Benoa, Komnas HAM menyatakan alasan itu tidaklah tepat. Hal yang perlu dilakukan, menurut Komnas HAM, justru dengan memelihara, menjaga kebersihan, dan mempertahankan ekosistem.

 

ForBALI akan Mengawal

Koordinator ForBALI I Wayan Suardana mengatakan rekomendasi Komnas HAM itu merupakan bentuk dukungan Komnas HAM pada perjuangan rakyat Bali dalam menolak rencana reklamasi. Sejak munculnya rencana reklamasi di Teluk Benoa, ForBALI memang intens melakukan lobi kepada parapihak selain melakukan aksi demonstrasi menolak rencana reklamasi.

Pada 27 Juni 2016 lalu, misalnya, ForBALI bersama KontraS mengadukan banyaknya kasus tindak kekerasan dan intimidasi terhadap aktivis ForBALI kepada Komnas HAM. Dalam pertemuan itu, ForBALI juga menyampaikan penolakan masyarakat Bali menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.

Berdasarkan laporan ForBALI itu, Komnas HAM kemudian melakukan pemantauan dan penyelidikan di lapangan.

Aktivis yang akrab dipanggil Gendo itu menyatakan rekomendasi Komnas HAM adalah sikap resmi lembaga negara. Tidak hanya imbauan tapi rekomendasi. Karena itu, menurut Gendo itu, lembaga-lembaga terkait rencana reklamasi Teluk Benoa harus tunduk pada rekomendasi tersebut.

“Kami akan mengawal rekomendasi ini untuk memastikan agar dia dijalankan,” kata Gendo.

Salah satu cara mengawal rekomendasi itu, lanjutnya, adalah dengan mempublikasikan seluas mungkin. Dengan cara itu, masyarakat luas akan tahu bahwa Komnas HAM sudah merekomendasikan pembatalan rencana reklamasi.

“Walaupun yang dituju ada empat lembaga, tapi sudah jelas-jelas ditembuskan kepada DPR RI. Karena itu rekomendasi ini harus juga menjadi rujukan kerja-kerja legislatif seperti DPRD Bali, Komisi IV (empat) termasuk Komisi VII (tujuh) yang terkait dengan lingkungan hidup. Secara normatif rekomendasi ini seharusnya dilaksanakan dan diikuti tanpa syarat,” tambahnya.

 

Koordinator ForBALI Gendo Suardana (kedua dari kiri) saat memberikan keterangan pers terkait rekomendasi Komnas HAM agar pemerintah membatalkan rencana reklamasi Teluk Benoa, Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Jika rekomendasi itu tidak dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintahan, maka akan menjadi catatan buruk penegakan HAM di Indonesia, terutama di Bali. “ForBALI akan melakukan penggalangan secara nasional dan internasional untuk memberikan laporan kepada Dewan HAM di PBB kalau rekomendasi itu diabaikan,” ujarnya.

 

Kriminalisasi Aktivis

Sebelumnya, sejumlah individu dan lembaga mendatangi Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), di Jakarta, pada Kamis (23/02/2017). Di sana, mereka menyerahkan surat terbuka yang ditujukan pada Kapolri dan Kapolda Bali. Isinya, desakan untuk segera menghentikan proses hukum terhadap dua aktivis ForBALI.

Surat terbuka itu ditandatangani sekitar 100 organisasi dan individu. Para penandatangan sepakat menyatakan, I Gusti Putu Dharmawijaya dan I Made Jonantara, dua warga desa Adat Sumerta, tidak melakukan tindak pidana.

Aksi menaikkan bendera ForBALI di bawah bendera merah putih, pada 25 Agustus 2016 silam, dinilai sebagai simbol perjuangan nasionalis rakyat Bali. Tujuannya, untuk melindungi tumpah darahnya, pesisirnya, dari ancaman kerakusan.

“Selain itu, kebebasan berekspresi dijamin oleh Konstitusi, UU HAM dan instrumen HAM internasional lainnya, yang seharusnya dilindungi oleh aparat penegak hukum, bukan malah dikenakan tindakan represif oleh aparat,” masih dituliskan dalam surat tersebut.

Seturut penilain tersebut, I Made Ariel Suardana, Koordinator Divisi Hukum ForBALI menegaskan, proses hukum terhadap kedua aktivis tolak reklamasi teluk Benoa harus segera dihentikan.

Karena itu, sesuai pasal 109 ayat 2 KUHAP, pihaknya meminta aparat kepolisian untuk segera menerbitkan SP3 atas kasus tersebut. Sebab, kedua aktivis ForBALI dinilai tidak melakukan tindak pidana.

“Hari ini, kami di sini, meminta agar Kapolri dan Kapolda Bali untuk segera menghentikan proses hukum terhadap para pejuang Bali tolak reklamasi dari desa Adat Sumerta, yaitu I Gusti Putu Dharmawijaya dan I Made Jonantara alias De John,” ujar I Made Ariel Suardana di Mabes Polri, Kamis (23/2/2017).

 

Sedikitnya 5000 orang Bali melakukan puputan untuk selamatkan kawasan suci Teluk Benoa dari reklamasi pada aksi di Kota Denpasar pada Minggu pagi (23/05/2016). Peserta aksi mengenakan pita hitam sebagai tanda duka cita meninggalnya salah satu tokoh umat Hindu, Ida Pedanda Made Gunung yang dikenal kritis menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Foto : Luh De Suriyani

 

Sebelumnya, pada 10 Februari 2017, Polda Bali telah memeriksa I Gusti Putu Dharmawijaya dan I Made Jonantara. Dua warga desa Adat Sumerta itu dituduh merendahkan kehormatan bendera negara. Sebab, pada aksi tolak reklamasi (25/8/2016), mereka diduga mengibarkan bendera ForBali di bawah bendera merah putih.

Karena aksi tersebut, I Gusti Putu Dharmawijaya dan I Made Jonantara sempat ditahan. Aparat menjerat mereka dengan pasal 24 huruf a Jo pasal 66 UU 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

Meski telah menyerahkan surat terbuka tersebut, namun keterangan dari pihak Polri belum berhasil diperoleh. Sebab, berdasarkan informasi yang diperoleh Mongabay, individu dan organisasi yang mendatangi Mabes Polri belum berhasil menemui bagian Humas Polri.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,