Melirik Aren jadi Sumber Energi Terbarukan

 

 

Nira dari pohon aren (Anggera pinnata) selama ini hanya untuk bahan baku gula, kolang kaling, minuman beralkohol dan jenis panganan lain. Siapa sangka, ternyata aren juga bisa jadi energi ramah lingkungan.

Boalemo, begitu nama daerah di Gorontalo. Berdasarkan hasil inventarisasi KPHP Boalemo, wilayah ini ada 15.000 pohon aren. Ia tumbuh dengan alami dan produktivitas cukup tinggi. Satu pohon bisa hasilkan 15-20 liter aren perhari. Sebelumnya, warga hanya memanfaatkan nira aren untuk panganan saja. Berkat pendampingan KPHP Boalemo, kini nira jadi bioethanol.

Dwi Sudharto, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan KLHK di Jakarta, Jumat (10/3/17) mengatakan, sebelumnya dari KPHP Boalemo menginventarisasi wilayah. Ternyata,  ada banyak sekali pohon aren tumbuh alami.

“Kami ingin memanfaatkan jadi alternatif energi. Salah satu desa binaan kami, Desa Bendungan Kecamatan Manangguh,” katanya.

Di Desa Bendungan ada 4.500 pohon aren. Dengan asumsi satu pohon 15-20 liter nira aren, bisa hasilkan 90.000 liter perhari atau 2, 7 juta liter perbulan.

Selama ini, potensi kurang dimanfaatkan, hanya ada satu keluarga bikin gula aren.  Akhirnya, aren jadi bioenergy dimulai.

Keberhasilan Desa Bendungan mengelola nira aren menjadi bioethanol karena di wilayah ini ada kelompok tani dan badan usaha desa. Ketertarikan masyarakat saat mengenalkan alat membuat bioethanol sangat tinggi.

“Kita sudah punya alat membuat bioethanol aren. Paten juga ada di kita,” katanya.

Dari segi hitungan keuntungan ekonomi, tentu mengelola nira aren jadi bioethanol lebih menjanjikan. Untuk mengolah nira aren jadi gula, dalam setiap 50 liter akan hasilkan tujuh kg. Dengan asumsi harga Rp80.000, keuntungan Rp5.000 perkilogram. Begitupun pengolahan panganan lain, seperti gula semut untung Rp. 4.688 perkg.

Setiap 25 liter nira aren, jika diolah dengan katalisator bisa menghasilkan dua liter bioethanol dengan kadar 90-92%. Yang diolah tanpa katalisator kadar ethanolnya 72%.  Hasil bioethanol 216.000 liter perbulan dengan biaya produksi Rp6.700. Dengan asumsi harga jual bioethanol mix perliter Rp10.000, harga jual Rp440.000 atau keuntungan Rp145.200.

“Harusnya ini yang kita kembangkan. Jangan tabung gas mahal itu. Kalau alat ini kita buat dan serahkan ke desa-desa, yang notabene bahan baku ada, akan sangat menguntungkan. Hak paten ada di kita. Kalau mau tinggal minta gambar, masyarakat bisa membuat alatnya. Atau kalau tak menegrti, bisa undang kami. Akan mudah masalah kompor ini. Jadi kita bisa menghemat banyak sekali,” katanya.

Tahap awal ini Desa Bendungan sebagai wilayah percontohan. Dia berharap, keberhasilan desa ini bisa direplikasi wilayah lain. Terlebih, katanya, di Sulawesi dari utara sampai selatan kaya aren.

Meski begitu, tantangan dalam mengembangkan ini ada pada pendanaan. Untuk itu, perlu peran dan komitmen banyak pihak. Selain itu, perlu ada peningkatan pemberdayaan kelembagaan demi keberlangsungan usaha.

“Peningkatan kapasitas masyarakat perlu agar mampu melaksanakan usaha mandiri. Disini peran lembaga litbang dan perguruan tinggi.”

Tak kalah penting, katanya, kesinambungan bahan baku. Penanaman varietas unggul juga penting. Saat ini, baru aren tumbuh alami.

Balai Besar Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta, katanya,  mulai penelitian pemuliaan aren. “Telah diperoleh varietas unggul aren genjah Kutim yang dapat disadap sampai dengan mayang ketujuh, mulai umur lima sampai enam tahun, menghasilkan nira 25 liter per mayang perhari. Aren tak terlalu tinggi memudahkan pemanenan. Ia dapat dikembangkan di daerah-daerah yang ciri ekologi sama dengan Kutai Timur.”

Varietas bibit aren unggul lain “Dalam Akel Toumuung.” Ia bisa memproduksi nira dengan hasil tinggi, rata-rata lebih dari 30 liter aren per mayang perhari dengan masa sadap lebih dari tiga bulan.

“Nira aren juga bisa dikembangkan jadi bioavtur. Pengolahan bioavtur melalui proses konversi biomassa berupa serat, gula, tepung dan minyak nabati. Kami sedang menjajaki kerjasama penelitian mengenai ini dengan ITB,” katanya.

 

APHI dorong perusahaan kembangkan biomassa

Kesempatan sama, Indroyono Soesilo, Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia mendorong, perusahaan hutan tanaman industrI (HTI) mengembangkan sektor biomassa. Selama ini, HTI lebih banyak pulp and paper. Sektor lain seperti energi biomassa, carbon stock, agroforestry, sumber daya air dan ecotourism kurang dikembangkan.

Saat ini, katanya,  bauran energi baru terbarukan dari sektor biomassa masih sangat minim. Dari 54.000 MW listrik, baru 129 MW dari energi biomassa.

“Indonesia Saudi Arabia-nya energi biomassa. Harusnya ini bisa dikembangkan.Ini bidang yang digarap APHI ke depan.”

Kalau energi biomassa ini dikembangkan sebagai sampingan dari HTI lain, kata Indroyono justru sangat menguntungkan. Dia mencontohkan, menjual Rp750 per Kwh sudah untung Rp150. Kalau membangun hutan energi sendiri bisa untung Rp1.400-Rp.2.400 per kwh.

Dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) bisa penyerap produk chips (serpihan kayu) dan wood pellet sebagai bahan baku pembangkit listrik baik Independence Power Plant (IPP) maupun PLN.

“Biayanya juga rendah dengan daur ulang sumberdaya sebagai energi baru-terbarukan berbasis global warning effect.”

Dia bilang, usaha ini  cocok di area kekurangan listrik seperti pulau-pulau kecil, pedesaan, pegunungan. “Tanpa investasi dan bahan bakar tinggi.  Pulau kecil itu kebutuhan listrik gak banyak. Hanya satu sampai dua kilowatt tetapi investor APHI biasa gak mau. Nanti bayarnya bagaimana? Pola ini bisa digarap.”

Indroyono menyadari, ada banyak tantangan dalam mengembangkan PLTBm. Biaya penanaman per hektar relatif besar pada tahun-tahun awal, sedang harga listrik rendah. Pasokan bahan baku juga harus tetap tersedia.

Dalam pemenuhan sumber bahan baku energi biomassa dari HTI, katanya,  perlu dukungan aksesibilitas yang baik terhadap kebun tanaman. Artinya, dekat pelabuhan ekspor dan infrastruktur memadai akan sangat membantu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,