Para Perempuan Suarakan Setop Perusakan Alam

 

Terik matahari Jogja, pukul 11.00, Rabu (8/3/17),  tak menyurutkan langkah ratusan orang,  mayoritas perempuan turun ke jalan. Memakai atribut dominan merah muda, mereka memperingati International Women’s Day (Hari Perempuan Internasional). Mereka menyerukan setop kekerasan terhadap perempuan sampai penghentian perusakan kekayaan alam yang memberikan dampak terbesar pada perempuan.

Anastasia Kiki dari Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) mengatakan, pengerukan kekayaan alam mencabut perempuan dari sumber hidup mereka.

Dia mencontohkan, perempuan Pegunungan Kendeng mempertahankan kawasan karst yang menghidupi mereka dari kerusakan permanen. Lalu ibu-ibu di Samarinda,  harus kehilangan anak karena terjatuh di lubang bekas tambang.

Konfik agraria yang menggunung juga penderita terberat perempuan. “Konflik agraria menyisakan luka di tubuh bumi, sekaligus tubuh perempuan, yang harus berpikir mempertahankan hak hidup dan hak sumber daya alam,” kata Kiki, di Nol Kilometer Yogyakarta.

Baca juga: Berharap Semen Kaki Para Perempuan Kendeng Berbuah Aksi dari Jokowi

Perempuan, katanya,  jadi korban pertama kali ketika alam rusak. Di Jogja, misal, dari pelosok desa hingga kota proyek pembangunan masih meminggirkan perempuan.

“Di Bantul dan Gunung Kidul, di sepanjang pesisir selatan Jogja, pencaplokan tanah oleh penguasa dan agenda pembangunan memaksa perempuan kehilangan hak penghidupan,” ucap Kiki.

Mereka menuntut, negara memenuhi hak sumber daya alam bagi perempuan dan menyelesaikan konflik agrasia.

Naomi Srikandi, pekerja seni perempuan di Jogja mengatakan, perampasan tanah jadikan kaum tani bermigrasi ke kota atau bekerja sebagai buruh tani dan buruh perkebunan.

Perampasan tanah, katanya, menyebabkan banyak keluarga tani kehilangan anak perempuan karena terpaksa jadi buruh migran di luar negeri. Di Kendeng, perjuangan Ibu-Ibu mempertahankan pegunungan karst, katanya, dibalas kekerasan, teror dan intimidasi.

 

Pameran perempuan dan ekologi

Guna memperingati Hari Perempuan Internasional, pekerja seni sekaligus akademisi, Dewi Candraningrum menggelar pameran lukisan bertema Perempuan dan Ekologi di Uwong Coffee, Sleman, Yogyakarta. Masih satu rangkaian pameran, ada juga diskusi sampai pemutaran film dari 10 Maret-16 Maret 2017.

Lewat pameran, Dewi ingin menyampaikan pesan perjuangan para perempuan di berbagai daerah dalam menjaga kelestarian alam.

Dalam karya,  Dewi melukis perempuan-perempuan dari Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal,  yang kehilangan lahan garapan, dirampas Perum Perhutani buntut tukar guling untuk pembangunan pabrik dan penambangan batu gamping oleh PT. Semen Indonesia di Rembang.

Dewi juga melukis para laki-laki yang berjuang untuk kelestarian alam. Sosok seperti almarhum Atma Khikmi, pembela hukum di LBH Semarang, yang mendampingi perempuan-perempuan Surokonto Wetan, para Kartini Kendeng. Sosok lain, Gunretno tokoh Sedulur Sikep dari Kecamatan Sukolilo, Pati.

Lalu, Joko Prianto, petani Desa Tegaldowo, Rembang, Salim Kancil dari Desa Selok Awar-awar yang mati akibat menolak pertambangan pasir besi ilegal di Pesisir Lumajang. Juga Wiji Thukul, sosok pekerja seni dan tokoh pro demokrasi yang berjuang lewat karya sastra bicara tentang ketidakadilan ekologi.

Laki-laki itu berjuang menjaga alam, agar kaum perempuan, dan masyarakat lain tak kehilangan sumber kehidupan, baik air bersih, udara sehat, dan ekosistem seimbang serta lestari.

“Para laki-laki ini bisa disebut he for she. Berjuang untuk perempuan yang mempertahankan alam dari kerusakan,” ucap Dewi.

Menurut Dewi, perempuan jadi pihak paling rentan dampak kerusakan ekologi, dan perubahan iklim. Di berbagai daerah, katanya, perempuan berjuang, melawan perusakan alam dari Rembang, Pati, Teluk Jakarta, Kulon Progo sampai Papua. “Mereka jadi simbol perjuangan menjaga Ibu Bumi melalui cara damai dan tanpa kekerasan.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,