Foto: Sampoiniet, Conservation Response Unit Pertama di Aceh

 

 

Setelah konflik bersenjata berakhir di Provinsi Aceh, pada 15 Agustus 2005, pembukaan lahan untuk perkebunan di hutan dan areal penggunaan lain meluas. Belasan ribu hektar hutan yang merupakan habitat berbagai jenis satwa dilindungi berubah menjadi kebun sawit, pinang dan tanaman lainnya.

Hampir diseluruh kabupaten/kota di provinsi paling barat Indonesia itu, hutannya tergerus. Data Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menunjukkan, sejak 2006 – 2013, rata-rata kerusakan hutan di Aceh mencapai 32.000 hektare setiap tahun.

Rusaknya hutan juga berimbas pada rusaknya habitat satwa liar, termasuk habitat gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Dari 2005 hingga saat ini, konflik antara gajah sumatera dengan manusia terus terjadi. Korban tidak bisa dihindari baik dari masyarakat juga gajah yang terbunuh, apakah itu dengan perangkap maupun racun.

 

Sampoiniet merupakan CRU pertama di Aceh yang dibangun untuk mengurangi konflik gajah dengan manusia. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Tingginya konflik antara gajah dengan manusia dan jumlah gajah yang terbunuh semakin banyak, membuat sejumlah pihak, seperti Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Dinas Kehutanan Provinsi Aceh dan Pemerintah Kabupaten di Aceh, dibantu oleh Fauna and Flora International (FFI) Program Aceh, sepakat mendirikan Conservation Response Unit (CRU).

Tempat pertama yang disepakati untuk pendirian CRU itu adalah Kabupaten Aceh Jaya. Lokasi yang dipilih adalah Desa Ie Jeureungeh, Kecamatan Sampoiniet. Alasannya, selain karena sering terjadi konflik gajah, juga karena telah ada lahan yang disiapkan oleh Pemerintah Aceh Jaya untuk penempatan gajah jinak, mahout (perawat gajah) dan ranger. Masyarakat lokal juga dilatih untuk penanganan konflik satwa liar.

CRU Sampoiniet resmi berdiri Juli 2008. Empat individu gajah jinak yang berasal dari Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Saree, Kabupaten Aceh Besar, didatangkan ke CRU yang terletak di perbatasan antara kebun masyarakat dengan hutan itu.

 

Penanganan konflik dengan menggiring gajah liar menjauhi kebun masyarakat merupakan tujuan utama didirikannya CRU Sampoiniet. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Penanganan konflik dengan menggiring gajah liar menjauh dari kebun masyarakat mulai dilakukan. FFI Aceh, BKSDA dan Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Jaya turun langsung melakukan penggiringan. Bekali tim melakukan penggiringan, bahkan mendatangkan gajah jinak lain dari PLG Saree.

Masalah terjadi pada 2012, ketika satu individu gajah liar ditemukan mati terbunuh di Kecamatan Sampoiniet. Konflik antara masyarakat dengan tim CRU muncul, bahkan BKSDA memutuskan memulangkan gajah jinak dan mahout kembali ke PLG Saree.

 

Saat ini ada empat individu gajah jinak, empat mahout dan empat asisten mahout, beserta 16 ranger yang berada di CRU Sampoiniet. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Aktivitas di CRU terhenti, konflik gajah dengan masyarakat pun kembali terjadi. Masyarakat tidak bisa berkebun karena tim yang melakukan penggiringan sudah tidak ada. Akhirnya, pada 28 Maret 2016, CRU Sampoiniet kembali diaktifkan dan empat individu gajah kembali ditempatkan di pinggir hutan Ulu Masen, Aceh.

“Saat ini di CRU Sampoiniet, ada empat mahout, empat asisten mahout, dan 16 ranger. Selain mengatasi konflik gajah dengan manusia, kami juga bertugas menangani wisata edukasi di sini,” ungkap Samsul Rizal, Leader CRU Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Minggu (12/03/17).

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,