Bencana Longsor Makin Sering Terjadi di Jabar. Kenapa?

Bencana longsor kembali menerjang pemukiman warga di Kampung Jati Radio, Desa Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat, Minggu (12/03/2017).  Warga dibantu tim gabungan TNI/Polri dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) serta relawan mulai membersihkan material longsor.

Berdasarkan pantauan Mongabay, material longsor berupa bebatuan berukuran cukup besar dengan lumpur yang masih berserakan menutup pemukiman warga dan jalan akibat terbawa longsor dari Bukit Geger Pulus. Diperkirakan ketebalan material lumpur dan batu mencapi 20 cm dengan ketinggian air ketika waktu longsor 60 cm atau setinggi pinggang orang dewasa.

Tebing di kaki Bukit Pulus setinggi lebih dari 100 meter menimpa lima rumah warga hingga rusak. Menurut Herman warga sekitar, longsor terjadi disebabkan oleh labilnya tanah di tebing pasca penggantian jenis pohon di Bukit Pulus. Memang sempat terjadi longsor tahun 2015 yang menimpa rumah warga, namun hanya berupa lumpur dan bebatuan saja. Setelah diganti dengan pohon jati dan albasia, longsor besar malah terjadi.

“Dulunya ditanami bambu gombong  setelah diganti jadi kayu jati bodas dan albasia jadi longsor gede karena ditebang secara berjangka. Selain itu longsor juga disebabkan oleh tingginya curah hujan di Cililin seminggu terakhir ini,” katanya.

 

 

Sejauh ini, BPBD Kabupaten Bandung Barat telah mengevakuasi sedikitnya 151 kepala keluarga ke tempat lebih aman.  Dari keterangannya longsor juga menyebabkan  1 orang luka parah dan 4 luka ringan.

Terkait penyebab longsor  Kepala Bidang Logistik dan Kedaruratan BPBD, Dicky Maulana, mengatakan, penyebab longsor dominan adalah alih fungsi lahan di bagian atas tebing dari tanaman keras berupa bambu menjadi lahan pertanian warga. Kedepanya, kata dia, warga diminta untuk menanami kembali lahan dengan pohon-pohon keras.

“Tindak lanjut kami akan lakukan pembersihan puing longsor. Kami berharap dinas teknis PUPR (Perumahan dan Permukiman) KBB menghitung lahan untuk memasang bronjong untuk mencegah longsor susulan. Tapi sebelumnya kami juga telah melakukan kajian geologis dan memang tanahnnya cukup labil,” ujarnya. Sampai berita ini diturukan warga masih berjaga – jaga apabila ada potensi longsor susulan.

Minggu lalu, bencana banjir bandang juga terjadi di kawasan hulu sungai Ciberes di Kecamatan Waled, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.  Menurut keterangan pers yang diterima, kronologis banjir bandang diduga akibat intensitas hujan yang besar di hulu sehingga aliran Sungai Ciberes meluap.

Sedikitnya ada 4 desa terendam banjir lumpur dan lebih dari 1000 jiwa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Ketinggian air pada waktu itu mencapai 50 – 180 cm hingga tidak hanya merendam pemukimanan warga saja tetapi juga lahan dan ladang seluas 40 hektare.

 

Kondisi pasca longsor di Kampung Jati Radio, Desa Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu (12/03/2017). Penyebab longsor di kawasan tersebut diduga akibat alih fungsi lahan dan lebih dari 100 kepala keluarga mengungsi sementara. foto : Donny Iqbal

 

Bencana pergerakan tanah juga terjadi di beberapa wilayah di Jawa Barat. Gerakan tanah memutuskan akses jalan nasional Cirebon-Bandung, akibat kondisi jalan yang amblas di Desa Cireki, Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang.

Selain itu jalur Majalengka-Cikijing sempat terputus karena hal serupa di Blok Babakan, Desa Wanahayu, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka. Kejadian tersebut berdampak pada roda ekonomi yang belakangan ini terhambat akibat maraknya jalan amblas yang terjadi.

 

Potensi Bencana

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, menginformasikan diawal tahun 2017 terjadi peningkatan cukup signifikan ihwal bencana pergerakan tanah.  Berdasarkan catatan PVMBG,  ada 177 kejadian di hampir seluruh wilayah di Indonesia.  Angka tersebut mendekati kasus becana alam di tahun lalu yang mencapai 220 kejadian.

“Apabila dianalisa lebih mendalam, potensi terjadinya bencana cenderung bertambah. Mengingat ini baru 2 bulan di tahun 2017, kemungkinan itu bisa ada penambahan dan tergantung cuaca juga yang kadang masih fluktuatif,” kata Kepala PVMBG  Kasbani di kantor Geologi, Jalan Diponegoro, Kota Bandung.

Kasbani menuturkan, di tahun 2016, Jawa Barat merupakan wilayah yang paling sering terlanda bencana pergerakan tanah dengan persentase 38% atau 108 kejadian. Jumlah korban tewas mencapai 213 jiwa, 69 orang luka – luka serta menimbulkan merobohkan 1121 bangunan.

Berbeda di 2017, baru 2 bulan berselang bencana pergerakan tanah sudah mencapai 177 di seluruh Indonesia, khususnya dibagian barat dengan korban mencapai 16 jiwa meninggal dunia dan 25 orang terluka. Kebanyakan korban meninggal akibat kejadian banjir bandang sedangkan kerusakan infrastruktur ditimbulkan oleh gerakan tanah tipe merayap yang memutuskan jalan nasioal di daerah Priangan timur.

Kasbani menerangkan bencana pergerakan tanah merupakan bencana lokal, namun dampaknya global. Untuk itu pihaknya menaruh harapan kepada para stakeholder di kabupaten/kota untuk mengenali wilayahnya sebagai upaya awal dari mitiigasi bencana. Biasanya kawasan hulu atau zona hijau yang sering bermasalah oleh alih fungsi lahan, padahal topografinya terjal dan rawan bencana.

 

Kondisi jalan amblas di Desa Bugel, Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Tingginya intesitas hujan diduga memicu terjadinya pergerakan tanah sehingga banyak infrakstruktur jalan yang rusak. Foto : Mugni

 

Dia berujar bahwa setiap provinsi memiliki peta geologi yang mencakup kondisi geografis  atau topografi suatu wilayah, termasuk potensi bencana gerakan tanah. Informasi yang tersaji berupa kejadian tanah longsor terkini, hingga peta potensi kerentanan gerakan tanah yang diperbarui setiap bulan untuk masing-masing daerah. “Untuk di Jawa itu sudah per kabupaten/kota , artinya ini adalah peringatan awal untuk mengembangkan peringatan dini gerakan tanah,” kata Kasbani.

 

Dikenali Sejak Dini

Imam A. Sadisun ahli geologi tanah Institut Teknologi Bandung (ITB) menyebutkan pemicu bencana pergerakan tanah atau longsor dikategorikan ke dalam faktor pengontrol dan faktor pemicu. Lebih spesifiknya, penyebab gejala bencana tersebut dapat bersifat alamiah dan non alamiah.

dalam faktor pemicu–rentan terjadinya bencana pergerakan tanah dapat berlangsung tiba – tiba atau dalam jangka waktu tertentu. Jika secara faktor alamiah, hal itu tergantung kondisi tanah disetiap kawasan yang sebetulnya banyak numpang  diatas batuan hasil produk gunung api serta dibawahnya terdapat batuan lempung yang belum lapuk dan ketika waktu hujan turun air tidak terserap sepenuhnya.

Lalu faktor non alamiah biasanya berhubungan dengan kegiatan manusia yang membangun infrastruktur, perambahan kawasan atau pertambangan di lereng – lereng curam.

Sedangkan yang jadi faktor pengontrolnya adalah tanah dan bantuan. Tetapi longsor atau pergerakan tanah bisa terjadi di batuan atau tanah, dan bisa juga  kombinasi dari keduannya.

“Pemotongan lereng yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan dan pembangunan yang kurang memperhatikan kestabilitasan tanah itu juga kadang memicu. Contohnya merubah geometri kontur tebing atau lereng yang tadinya landai ke lebih terjal, ” kata Imam saat ditemui di ruang kerjanya Fakultas Ilmu Bumi ITB.

Dia menerangkan setiap material tanah atau batuan memiliki kekuatan kuat geser yang menahan kemungkinan terjadinya longsor. Tetapi karena adanya faktor pemicu tadi diantaranya curah hujan, maka ketika air meresap masuk ke tanah–kekuatanya akan berkurang karena air mendorong partikel tanah.

“Sederhananya begini bila tadinya tanah didorong tidak ngefek tapi pas kena air cuma disentuh saja bergerak. Itu terjadi karena sudah dibantu air. Demikian juga di lereng sebab turunya air bisa menambah beban sehingga garis bidang longsornya seakan terlumasi dan longsor rata-rata terjadi saat musim penghujan,” jelas dia.

 

Kondisi Jembatan Katapang di Jalan M. Isha, Katapang, Purwaharja, Kota Banjar, Jabar yang amblas karena tanah dibawah jalan yang longsor akibat hujan deras pada Minggu malam (09/20/2016). Foto : BNPB

 

Keberadaan pohon juga mesti diartikan multi dimensi. Pohon memang memilki fungsi hidrolis yaitu menyimpan air, tetapi pohon juga memiliki fungsi mekanis sebagai struktur penahan alami. Pada konteks lereng, kadang ada posisi – posisi tegakan pohon yang sebenarnya kurang menguntungkan sebagai penahan kestabilan lereng.

Idealnya posisi pohon untuk fungsi mekanis berada diatas dan dibawah lereng. Tujuannya agar akar pohon bisa mengikat pada garis bidang yang berpotensi longsor sehingga dapat menahan beban tanah ketika air turun.

“Tata letak pohon juga mesti disesuaikan, bila berada ditengah lereng sebaiknya jangan pohon keras karena fungsi mekanisnya kurang berperan. Pohon juga sangat diperlukan untuk mengontrol air hujan supaya tidak langsung melimpas ke bawah tetapi terserap di tanah,” kata dia.

Tidak bisa dipungkiri juga, kata Imam, saat ini telah terjadi degradasi lingkungan konsekuensi dari meningkatnya pertumbuhan penduduk serta besarnya kebutahan akan lahan. Di manapun kota/kabupaten berkembang sampai di kampung/desa yang telah terjadi penambahan aktifitas dan penduduk.

“Bagi saya tempat rawan longsor bisa juga digunakan. Karena setiap lereng bisa dinilai potensi pergerakannya. Tapi juga konstruksi bangunan atau perencanaan bangunnya mesti benar dengan pembuktian kajian terlebih dahulu. Kita bisa pakai pendekataan teknologi, perkuatan tanah dan batuan serta rancangan yang diproyeksikan untuk menahan longsor, ” kata Imam yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian.

Dia berujar, sebetulnya konsep PVMBG sudah bagus melakukan kajian tentang wilayah kota/kabupaten berkaitan kondisi geologi. Ada 4 klasifikasi zona warna pada peta tersebut diantaranya merah, kuning, hijau dan biru. Masing – masing warna ada maknanya seperti merah yang menandakan tingginya potensi longsor dan biru menunjukan kontur tanah yang aman dari potensi pergerakan.

Dari peta tersebut bisa dijadikan informasi awal bagi pemerintah dengan melihat persebaran penduduk di wilayahnya, sehingga bagi mereka yang menetap di zona merah agar terus waspada jikalau suatu waktu akan terjadi pergerakan tanah.

Pada kasus ini masyarakat juga harus sadar dan disadarkan. Dia berharap masyarakat mulai perhatian terhadap keanehan yang terjadi di alam. Semisal pohon yang tadinya tegak menjadi miring dan kadang kejadian longsor akan diawali dengan tanda – tanda seperti itu. Maka dari itu masyarakat sudah seharusnya dijadikan sebagai komponen mitigasi yang paling utama dalam rangka meminimalisir kejadian bencana.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,