Konsumsi Penyu Marak Dipamerkan di Media Sosial, Ini yang Dilakukan BPSPL Makassar

Sebagian masyarakat belum mengetahui keberadaan penyu sebagai satwa yang dilindungi. Akibatnya, masih sering ditemukan aktivitas mengkonsumsi satwa ini di tengah masyarakat. Bahkan di beberapa tempat mempunyai kebiasaan menjadikannya sebagai makanan sakral dan wajib hadir dalam ritual dan pesta perkawinan. Ironisnya, kerap kali aktivitas ini dipamer melalui media sosial tanpa rasa bersalah dari pelaku.

Pada awal Maret ini jagad medsos di Kendari, Sulawesi Tenggara, kembali heboh dengan adanya unggahan seorang pengguna Facebook memamerkan penyu yang sudah terpotong-potong. Foto-foto yang berbentuk kolase ini disertai tulisan singkat “Mari makan..ala onci”.

Pemilik foto di Facebook tersebut mengakui bahwa foto itu benar adanya dari dirinya, dan mengetahui larangan menangkap dan membunuh penyu, namun ia merasa tak paham jika dirinya dipidana karena tindakannya tersebut.

 

 

Menanggapi kondisi yang terjadi di wilayah kerjanya ini, Andry Indryasworo Sukmoputro, Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, menyatakan terus memantau dan terbuka menerima laporan dari masyarakat, termasuk unggahan di media sosial.

“Kita memang pantau dan mendapat laporan terkait hal ini. Tahun 2017 ini cukup banyak, sudah ada 4 kasus yang kami temukan dan bebarapa sudah kami lacak. Kami punya tim yang bertugas menindaklanjuti setiap laporan termasuk unggahan di media sosial,” katanya di Makassar, Jumat (10/03/2017).

Disadari Andry, aktivitas warga mengkonsumsi penyu yang kemudian dipamerkan di media sosial disebabkan oleh masih kurangnya pengetahuan masyarakat terkait aturan yang ada, meski sosialisasi sudah sering dilakukan. Sehingga tindakan yang dilakukan kepada para pelaku masih sebatas pembinaan.

 

Salah seorang pengguna Facebook di Kaupaten Banggai Kepulauan sempat mengunggah penyu yang baru saja ditangkapnya. Pelaku mengakui kesalahannya dan berjanji melalui surat pernyataan tertulis untuk tidak lagi mengulang perbuatannya. Sumber : facebook

 

Ia mencontohkan pada kasus serupa yang terjadi di Kabupaten Banggai Kepulauan, dimana seorang pengguna Facebook bernama Erni Comel, yang memamerkan penyu hasil tangkapannya dengan penjelasan yang cukup provokatif sebagai santapan siang.

“Kita sudah turunkan tim untuk menemui Erni langsung yang ternyata seorang PNS. Setelah kami jelaskan, dia mengakui kekeliruannya dan menandatangani surat pernyataan untuk tidak akan mengulang lagi perbuatannya tersebut.”

Disadari Andry, upaya pengawasan terhadap penyu ini sendiri tidak mudah karena wilayah kerja mereka yang sangat luas, mencakup seluruh wilayah Sulawesi, sehingga adanya pelaporan dari warga sangat membantu tindakan pengawasan yang mereka lakukan.

Menurut Andry, keberadaan penyu sebagai satwa yang dilindungi aturannya sebenarnya sudah lama ada, antara lain diatur dalam UU No 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Dalam Pasal 21 UU ini antara lain berisi larangan menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup, dan dalam keadaan mati.

Pada PP No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis dan Tumbuhan Satwa secara spesifik merinci daftar jenis tanaman dan satwa yang dilindungi yang terdiri dari 294 spesies. Khusus untuk reptil, dimana penyu tersebut di dalamnya, satwa-satwa tersebut antara lain: kura-kura irian/moncong babi, kura kura leher panjang, kura-kura irian leher pendek, tutong, labi-labi besar (Chitra indica), penyu tempayan (Caretta caretta), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu pipih (Natator depressa), penyu ridel (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), senyulong (Tomistoma schlegelii), buaya muara, buaya siam, dan buaya air tawar irian.

Sementara untuk mamalia dalam golongan ikan yang dilindungi antara lain paus biru (Balaenoptera musculus), paus bersirip (Balaenoptera physalus), semua jenis paus dari famili Cetacea, semua jenis lumba-lumba air laut dari famili Dolphinidae, duyung (dugong dugon), paus bongkok (Megaptera novaeangliae), lumba lumba air tawar, pesut (Orcaella brevirostris) dan semua jenis lumba-lumba air laut dari famili Ziphiidae.

 

Harga yang mahal memicu penyelundupan penyu dari Kabupaten Taliabu ke Luwuk dan sejumlah daerah di Sulawesi Tengah lainnya. Satwa yang masuk dalam kategori reptil ini banyak digunakan di acara ritual adat dan pesta-pesta. Foto: DKP Pulau Taliabu

 

“Aturan larangan ini juga bisa dilihat di UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan,” tambah Andry.

Meski adanya aturan ini, Andry menyadari tak mudah merubah perilaku konsumsi masyarakat, apalagi kalau sudah terkait dengan adat istiadat setempat.

“Kalau ini memang dianggap bagian dari adat maka ini bisa diatasi dengan sekedar menghadirkan penyu ini secara simbolik di ritual. Ini sudah dilakukan di Bali. Kami juga sudah sering sosialisasi ke masyarakat adat terkait hal ini.”

Andry menambahkan bahwa penyu sebenarnya bisa saja dikonsumsi asalkan tidak diambil dari alam atau hasil penangkaran dengan izin khusus.

 

Diselundupkan dari Kabupaten Pulau Taliabu

Tingginya permintaan akan penyu di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara mendorong maraknya aktivitas pengambilan penyu dari luar. Salah satunya diperoleh dari Kabupaten Pulau Taliabu, Maluku Utara, yang secara geografis memang lebih dekat dengan pulau Sulawesi dibanding dengan Maluku Utara.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pulau Taliabu pada tahun akhir 2016 lalu berhasil menggagalkan tiga kali percobaan penyelundupan dari Taliabu ke Luwuk.

“Kita dapat laporan dari warga dan kita langsung ke lokasi melakukan penangkapan. Ada tiga kali upaya yang berhasil kita gagalkan masing-masing di Desa Limbo, Desa Wayo dan Pulau Saho,” ungkap Ismail Tiwu, Kepala Bidang Perikanan Tangkap, DKP Kabupaten Pulau Taliabu dan sekaligus bagian pengawasan di DKP Taliabu, ketika ditemui Mongabay awal Februari 2017 lalu.

 

Penyu yang akan diselundupkan melalui pedagang pengumpul disembunyikan di sela-sela pohon mangrove di Pulau Taliabu, Maluku Utara. Foto: DKP Pulau Taliabu

 

Menurutnya, kesulitan mendeteksi upaya illegal yang dilakukan warga ini karena biasanya disembunyikan di antara pohon-pohon mangrove yang masih sangat lebat dan tersebar luas di perairan Taliabu.

“Ini (perdagangan penyu) susah kita hilangkan karena permintaan penyu dari Sulawesi Tengah yang tinggi dan harganya mahal, bisa sampai jutaan rupiah. Apalagi ini banyak digunakan sebagai makanan utama di pesta-pesta,” tambah Ismail.

Terkait konsumsi penyu untuk kebutuhan ritual, menurut Tasrifin Tahara, antropolog dari Universitas Hasanuddin, memang hingga saat ini masih banyak ditemukan di banyak kebudayaan pesisir.

“Meski demikian, untuk keperluan ritual ini biasanya memiliki batasan-batasan tertentu. Ini masih dibolehkan karena kebudayaan yang fungsional biasanya memperhatikan keseimbangan ekosistem, dimana terdapat kearifan di dalamnya. Lagian untuk kebutuhan ritual ini tidak akan menghabiskan populasi penyu yang ada di laut,” katanya.

Yang perlu diperhatikan, lanjut Tasrifin, ketika penangkapan penyu sudah dilakukan secara massif dan berkaitan dengan pasar.

“Kalau harganya yang semakin mahal mencapai jutaan dan konsumsi besar-besaran pastinya akan mengancam populasi penyu. Ini yang berbahaya,” tambahnya.

 

Penyu hasil sitaan DKP Pulau Taliabu, Maluku Utara, di beberapa desa pesisir dilepaskan ke laut bebas. Foto: DKP Pulau Taliabu

 

Meski secara adat masih ada toleransi, namun Tasrifin menyarankan perlunya pemerintah dan pihak-pihak terkait melakukan penguatan kelembagaan adat. Sedangkan untuk kasus penangkapan penyu untuk kepentingan komersil harus ada penegakan hukum yang keras bagi para pelaku.

Menurutnya, mengubah perilaku konsumsi masyarakat adat bisa dilakukan. Dicontohkan pada Suku Nufit Kei Maluku, yang berhasil mengalihkan orientasi makan penyu sebagai sebuah kebudayaan. Berubah menjadi penguatan ekonomi dengan pemanfataan sumber daya lain yang lebih produktif seperti ikan ekspor dan lain-lain.

Hanya saja, tambahnya, berhasilnya proses konversi konsumsi penyu di Kei ini memang karena selama ini penyu memang dianggap tidak bernilai ekonomis, dan semata karena budaya serta kebutuhan akan protein.

“Makanya mereka bisa beralih melalui penguatan ekonomi lokal masyarakat. Selain itu di Kei, masyarakatnya memang masih menjunjung tinggi adat dan patuh pada pimpinan adatnya. Ketika konservasi ini dimasukkan dalam aturan adat akan mudah diikuti oleh masyarakatnya.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,