Mereka yang Terjerat Hukum Gara-gara Berjuang Demi Lingkungan dan Lahan Hidup

 

 

Pagi itu, Joko Prianto tiba di Polres Rembang, Jawa Tengah. Berkaos, udeng dan ransel hitam, dia memenuhi panggilan Polda Jateng pada 27 Februari 2017.

Polisi menjadikan dia tersangka pemalsuan dokumen penolakan pabrik PT Semen Indonesia, pada Jumat (24/2/17). Dokumen itu berisi daftar 2.501 warga penolak.

“Kami tetap berjuang untuk Kendeng lestari,” kata Joko.

Lima warga lain juga alami nasib serupa atas laporan Yudi Taqdir Burhan, pegawai PT. Semen Indonesia, pada 16 Desember 2016.

Dokumen itu, kata Zainal Arifin, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, sudah jadi alat bukti sejak proses hukum di PTUN Semarang Desember 2014.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, alih-alih perusahaan dan Gubernur Jateng mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) malah represif terhadap warga penolak dengan tindakan kriminalisasi. Belum lagi, tindakan tak patuh hukum dengan menerbitkan izin lingkungan baru.

Pemidanaan Joko Prianto cs jelas strategi meredam protes warga penolak dan bentuk intimidasi serta teror.

“Konflik Kendeng ini struktural, melibatkan perusahaan difasilitasi Pemda Jateng dan berhadapan langsung dengan masyarakat terdampak,” katanya.

KPA, mengecam upaya kriminalisasi. Dia berharap, Presiden Jokowi bersikap tegas pada Ganjar Pranowo, yang melawan hukum, dan mengintruksikan Ganjar segera menghentikan izin lingkungan pabrik semen.

Kriminalisasi juga terjadi di Lampung. Enam petani dan aktivis cum pendeta kena vonis gara-gara berjuang mempertahankan lahan dari kuasa PT. Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL), anak usaha Bumi Waras atau Sungai Budi Group.

Sujarno dan Hasanudin kena vonis dua tahun. Sukirman dan Sukirji vonis 2,4 tahun. Pendeta Sugianto kena kurungan 1,6 tahun. Dua petani lain, yakni Rajiman petani cum guru mengaji dan Juanda, kena jerat UU Darurat soal senjata tajam.

Alian Setiadi, Direktur LBH Lampung kepada Mongabay mengatakan,  kriminalisasi ini bermula dari sengketa lahan antara BNIL dan warga Banjar Margo, Tulang Bawang, Lampung. Tercatat sejak 1991, 55 warga jadi korban penyerobotan lahan BNIL, produsen tepung beras dan pebisnis sawit ini.

Ada 21 warga dianiaya mulai penyiksaan ringan hingga berat, 26 orang penjara, bahkan delapan terbunuh kurun 1991-2017. “Ini jelas pelanggaran HAM dan krimnalisasi petani,” katanya.

 

Taman Hutan Raya Ngurah Rai, salah satu kawasan penting yang akan ikut terdampak jika Teluk Benoa direklamasi. Foto: Ni Komang Erviani

 

Konflik agraria antara BNIL dengan warga yang tergabung di Serikat Tani Korban Gusuran BNIL (STKGB), katanya, bermula 1986. Saat itu, Gubernur Lampung mengklaim lahan warga 10.000 hektar berada di tujuh desa merupakan konsesi PT. Bangun Gaya Modern. Dengan alasan itu, areal diberikan kepada BNIL (3.400 hektar), PT. Rimbang Lampung Abadi (4.000 hektar), dan PT. Trimulya Adi Kencana (3.000 hektar). Hingga 1990, ketiga perusahaan tak beraktivitas apapun.

Lahan 10.000 hektar ini mulai berkembang dan padat penduduk. Ia jadi pemukiman bahkan proyek percontohan transmigrasi swakarsa mandiri yang sukses. Ada pasar sampai sekolah.

Terakhir, awal Oktober tahun lalu,  warga kembali mendapat perlakuan represif aparat. Kejadian berawal dari provokasi Pamswakarsa terhadap warga yang menduduki lahan.

Kericuhan terjadi setelah warga terpancing emosi. Polisi memburu warga hingga keluar desa, mereka diteror, dan berakhir penangkapan enam orang warga termasuk Pendeta Sugianto. Mereka, katanya, dituding dalang kerusuhan pada hanya orang yang berusaha mempertahankan lahan dari perampasan perusahaan.

Menurut Dewi, kriminalisasi Sugianto dan enam petani ini jadi preseden buruk penegakan hukum di Indonesia. Era Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla penanganan konflik di wilayah-wilayah konflik masih belum berubah, masih memakai cara lama.

“Terus cara-cara represif, teror, hingga kriminalisasi.”

Selama 2016, KPA mencatat terjadi 177 pejuang agraria dikriminalisasi, 66 orang dianiaya, hingga 13 orang tewas di seluruh wilayah-wilayah konflik agraria.

Selama proses persidangan, KPA mencatat terdapat beberapa keganjilan yang menghilangkan hak korban di depan hukum. Tuntutan jaksa mengesampingkan fakta-fakta persidangan, dalam membuat tuntutan hanya menyalin BAP bukan keterangan saksi di persidangan.

Saksi dihadirkan polisi untuk Sugianto, anggota Polres Tulang Bawang yang mengadukan, setelah itu jadi penyidik, sekaligus bersaksi di pengadilan.

Sugianto dituduh melakukan provokasi. Sakirman dituduh pakai toa mengajak warga aksi, sedangkan Sujarno dibilang menghasut warga.

Anehnya, dalam persidangan tak ada satu orang saksi mengatakan melihat kejadian.

“Komnas HAM dan Mabes Polri, Polda Lampung segera mengusut tuntas pelanggaran HAM oleh BNIL,” kata Dewi.

Kriminalisasi juga terjadi pada pejuang lingkungan di Bali terhadap dua aktivis Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI), yakni I Gusti Putu Dharmawijaya dan I Made Jonantara alias De John. Mereka dituduh merendahkan kehormatan bendera negara.

Kuasa hukum ForBALI, Made Ariel Suardana, mengatakan, tindakan keduanya bukanlah pidana. Kedua aktivis tak menurunkan bendera merah putih, petugas DPRD Bali yang melakukan.

“Ini kriminalisasi dan pelemahan gerakan masyarakat menolak reklamasi Teluk Benoa,” katanya.

Komnas HAM melalui Koordinator Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan, Siane Indriani telah mengirimkan surat kepada Kapolda Bali agar menghentikan kriminalisasi ini.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT) pegiat lingkungan juga terjerat masalah. Walhi NTT mengecam Pemerintah Sumba Timur, dengan Bupati Gidion Mbilijora atas kriminalisasi terhadap Sahabat Alam, Dedi Febrianto Holo.

Umbu Wulang, Direktur Walhi NTT  dihubungi Mongabay mengatakan, kriminalisasi ini upaya Pemda Sumba Timur menakuti rakyat agar tak kritis.

Deddy mendapat surat panggilan untuk dimintai keterangan terkait pencemaran nama baik lewat media sosial, Facebook. Umbu menduga, kriminalisasi ini berkaitan kritik Walhi NTT selama dua bulan belakangan terhadap kebijakan perkebunan monokultur Bupati Sumba Timur.

Salah satu kritikan Walhi keberadaan PT. Muria Sumba Manis (MSM), perkebunan tebu yang mengantongi izin 52. 000 hektar.

Beberapa kali di media massa Walhi dan Bupati Sumba Timur berseberangan pendapat. Perpedaan pendapat itu mencakup apakah rakyat butuh pangan atau tebu dan masalah sumber daya air dikuasai perusahaan, sementara 780 hektar sawah rakyat di Wanga mengalami kekeringan. “Persoalan lain perambahan hutan alam oleh MSM.”

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,