Hutan Lestari Itu Sumber Potensial Energi Terbarukan

 

“Hutan dan Energi” Begitu tema Hari Hutan Internasional tahun ini. Ia bermakna, hutan sebagai sumber energi, bahan bakar nabati cair, dan peneduh untuk mengurangi penggunaan energi. Hutan bisa jadi sumber energi kalau terjaga kelestariannya.

“Hutan sebagai bahan pemanas bisa menjadi sumber energi terbarukan utama dunia.  Hutan bisa menjadi sumber energi terbarukan,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam acara Peringatan Hari Hutan Internasional di Jakarta, Selasa (21/3/17).

Indonesia,  ucap Siti, memiliki cukup banyak sumber energi terbarukan seperti panas bumi, dan air. Sumber-sumber energi ini bertumpu dari kelestarian hutan.

Sumber energi lain dari hasil tanam pohon yakni, biofuel dan biomassa. Untuk itu, katanya, KLHK, sedang kajian agar hutan produksi dapat jadi areal tanaman sumber energi biofuel dan biomassa. Dia contohkan, eucaliptus, sengon, nyamplung, akasia, kaliandra dan kemiri.

Setidaknya, kata Siti, ada 48 titik sumber energi panas bumi dalam kawasan konservasi, 56 hutan lindung, 50 di hutan produksi dan alokasi penggunaan lain 145 titik. Semua potensi panas bumi ada 199 titik dengan perkiraan 28.617 Megawatt.

Di taman nasional tersebar di beberapa wilayah seperti Telaga Bodas, Kamojang, Batang Gadis, Kerinci Seblat, Halimun Salak, Ciremai,  Rinjani, Bogani Nawarta Bone dan lain-lain.

Selama ini, katanya,  potensi energi terbarukan dalam kawasan hutan belum dimanfaatkan optimal karena 90% sumber energi Indonesia masih fosil seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam.

Hutan juga peneduh hingga mengurangi pemakaian energi. Salah satu jalan, katanya, dengan menjadikan hutan sumber ekonomi hijau masyarakat alias mengelola dan manfaatkan hasil hutan bukan kayu. Kala warga bergantung hidup dari hutan, otomatis menjaga kelestarian hutan itu.

Siti juga mendorong penanaman kayu di perkotaan terus menerus. Merujuk data Food and Agriculture Organization (FAO), apabila tanam pohon di perkotaan akan menghemat energi dan bisa menurunkan temperatur sekitar dua sampai delapan derajat celcius. Makin banyak tanam pohon, katanya, udara jadi makin sejuk hingga mengurangi penggunaan pendingin ruangan (AC).

“Sebagai upaya mitigasi perubahan iklim dengan pemanfaatan hasil dan pengelolaan hutan berkelanjutan, kita mulai mengurangi penggunaan energi fosil, beralih ke sumber energi baru dan terbarukan,” katanya.

Pengurangan energi fosil, katanya, bagian penting dari target pemenuhan komitmen Indonesia dalam kerangka konvensi perubahan iklim. “Indonesia menargetkan penggunaan energi terbarukan 23% pada 2025,” katanya seraya bilang, pelestarian hutan sangat penting demi kedaulatan energi.

Siti mendorong generasi muda kreatif dan inovatif dalam menjaga hutan dan lingkungan. Hutan, sebagai sistem penyangga kehidupan seperti menjaga siklus hidrologi yang penting bagi makhluk hidup.

“Inti pesan FAO melalui peringatan Hari Hutan Internasional 2017 ini bagaimana kita mempromosikan tanam pohon di lingkungan masing-masing.”

 

Masyarakat adat Tobelo Dalam di Halmahera, yang hidup bergantung hutan dari makanan sampai tempat hidup. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

Hutan kelola masyarakat

Nirarta Samadhi, Direktur World Resources Institute (WRI) Indonesia, menekankan pentingnya menjaga hutan dari kehilangan tutupan terus menerus. Di Indonesia, katanya, sebenarnya bisa pakai cara murah dengan kelola hutan berbasis masyarakat karena hutan sumber penghidupan mereka.

Masyarakat bergantung hutan terancam dengan tutupan hutan terus hilang. Tak hanya menyentuh tatanan ekologis, namun berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kualitas hidup mereka terutama masyarakat adat/lokal.

Pola hidup masyarakat adat tergantung dari hutan, 72% dari pendapatan tak tunai, misal penggunaan air, mencari ikan, dan kayu, semua dari hutan.

“Jika hutan jadi kebun, akan kehilangan pendapatan tadi dan tak akan mensejahterakan masyarakat,” katanya kala peluncuran buku terbarunya berjudul Why Forest? Why Now?: The Science, Economics, and Politics of Tropical Forest and Climate Change di Jakarta.

Untuk itu penting pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Skema perhutanan masyarakat (sosial) ini, katanya, dapat menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat adat/lokal sekaligus menjaga fungsi ekologis hutan.

Indonesia, katanya, kala pemerintah mempercepat  proses pengakuan hak-hak masyarakat nusantara akan jadi cara murah menjaga hutan.

Pemerintah hanya mengeluarkan dana saat awal penetapan hutan adat, selanjutnya sumber daya manusia dari masyarakat.

Sayangnya, kata Koni, seringkali, upaya ini terhambat dengan berbagai kepentingan di dalam tubuh pemerintahan sendiri.

Koni, panggilan akrabnya, mencontohkan, Amerika Latin telah menerapkan pengakuan hak masyarakat adat, deforestasi dua, tiga kali lebih rendah dengan wilayah hutan dengan situasi sama. ”Kuncinya pemberian hak tenurial.”

 

Why Forests?

Dalam peluncuran buku itu, sang penulis, Frances Seymour, peneliti di Center for Global Development mengatakan, buku ini berbicara dari sisi sains, ekonomi dan politik dalam posisi selaras untuk mendukung upaya besar melindungi hutan tropis.

Dari sisi ekonomi, katanya, menjaga hutan adalah mitigasi termurah yang mampu memastikan temperatur udara tak naik. Memanfaatkan jasa lingkungan, menunjukkan keberadaan hutan lebih baik daripada terbabat.

Dari sisi politik, katanya, negosiasi REDD+ menjadi salah satu yang mampu menjembatani antara negara berkembang dan kaya.

Why Forests? Why Now? memaparkan berbagai inisiatif yang kini hadir mendukung perlindungan hutan, termasuk konsensus internasional memasukkan hutan sebagai bagian strategi iklim, komitmen negara kaya hutan dan yurisdiksi sub-nasional untuk mengurangi deforestasi. Juga komitmen nol deforestasi dari pelaku usaha, teknologi memungkinkan buat akuntabilitas, dan dukungan berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk masyarakat adat.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,