Kerusakan Alam Gerogoti Keragamanhayati Negeri Ini

 

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan setiap hari ada spesies tanaman punah di Indonesia karena eksploitasi alam yang menyebabkan, deforestasi, degradasi lahan, dan kerusakan lain yang terus terjadi. Kebun raya, diharapkan menjadi salah satu ‘rumah’ penyelamatan keragamanhayati meskipun kini koleksi terbilang minim kalau dibandingkan wilayah Indonesia yang luas.

”(Pelestarian keragamanhayati ini) berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan plasma nutfah dari Aceh hingga Papua,” kata Didik Widyatmoko, Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam diskusi di Jakarta, baru-baru ini.

Di Indonesia, katanya, ada lima kebun raya kelolaan LIPI dan 27 pemerintah daerah pada 20 provinsi. Meski demikian, spesies kebun raya itu, katanya, baru mewakili 17 dari 47 ekoregion.

Sayangnya, baru sekitar 26% jenis tumbuhan terancam di negeri ini berada di kebun rayan di Indonesia. Membangun kebun raya, katanya,  tidaklah sulit, namun komitmen kuat yang sulit.

Kebun raya, katanya, jadi tempat penyimpanan plasma nutfah. Ia jadi tempat bagi peneliti mengoleksi tumbuhan dari berbagai daerah melalui eksitu, yakni pelestarian makhluk hidup di luar habitat asli. “Ini penting menjaga plasma nuftah tak punah.”

Ada beberapa jenis tumbuhan langka, bahkan dikatakan punah, masih bisa dijumpai di kebun raya. Salah satu spesies meranti, Dipterocarpus cinereus, dinyatakan punah oleh IUCN.

Ini sebagai bukti beberapa spesies punah di alam dapat dilestarikan dengan pengembangbiakan di kebun raya.”

 

Terkendala

Endang Sukara, peneliti mikrobiologi LIPI mengatakan, 60% keragamanhayati endemik di Indonesia tak dimiliki bangsa lain. Indonesia pun memiliki sekitar 10% dari total spesies tumbuhan dunia.

Meski demikian, Indonesia seingkali jadi korban biopiracy atau pembajakan aset hayati karena masih terbatas pengetahuan dan regulasi belum mendukung.

Padahal, katanya, keragamanhayati berharga setelah ada ilmu pengetahuan yang menyentuh. ”Masih banyak keragamanhayati kita belum dimanfaatkan baik, karena (keterbatasan) infrastruktur dan sumber daya manusia,” katanya.

Endang bilang, kemajuan ilmu pengetahuan kian melesat. Kini, era menulis gen bukan hanya membaca, bahkan sudah bisa menduplikat gen. “Kita baru sebatas membaca gen. Ini kenyataan pahit.”

Untuk mendongkrak ini, katanya, LIPI mendorong ada badan khusus untuk peningkatan penelitian keragamanhayati di Indonesia melalui kebun raya.

Penelitian yang berkembang, katanya, akan membantu penemuan di berbagai sektor sekaligus bisa menangkal pembajakan kekayaan hayati.

”Banyak peneliti asing masuk berujung pada pembajakan. Harusnya ada pembatasan akses peneliti asing. Peneliti asing boleh meneliti dengan memberikan fasilitas bagi peneliti Indonesia memiliki akses lebih luas. Mereka meneliti untuk kepentingan dan kesejahteraan Indonesia.”

Saat peneliti asing hendak mematenkan hasil penelitian, katanya, harus menyebutkan sumber.

Sadjuga, Direktur Pengelolaan Kekayaan Intelektual Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi merekomendasikan,  pembajakan hayati masuk dalam revisi UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor 5/1990.

 

Obyek wisata

Harini Muntasib, Dewan Guru Besar IPB menyebutkan, kebun raya bisa bermanfaaat sebagai jasa lingkungan, yakni jadi obyek wisata.

Dia menilai, kebun raya di Indonesia belum terkelola optimal. Ketika pengunjung datang pun, katanya, hanya untuk rekreasi, tak tahu kekayaan hayati di sana.

Hal ini terjadi, katanya, karena model ekowisata kebun raya masih pasif terhadap pengunjung. “Kebun raya seharusnya bisa berkomunikasi dengan pengunjung.”

Menurut dia, pengetahuan peneliti bisa menjadi nilai tersendiri yang mampu jadi daya tarik masyarakat. ”Tema koleksi kebun raya bisa dikeluarkan untuk unjuk gigi.”

Para pengunjung pun perlu didampingi pemandu untuk memberikan informasi. Potensi-potensi milik kebun raya bisa terkemas baik hingga masyarakat paham akan kekayaan hayati negeri.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,