Dengan Permainan Ini Masyarakat Adat Kaluppini Menjaga Tradisi

Terik matahari siang itu benar-benar seperti membakar kulit. Tanpa penutup kepala, puluhan atau malah mungkin seratusan warga dari komunitas adat Kaluppini di Desa Kaluppini, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan memenuhi lapangan. Tawa riang terdengar di setiap penjuru. Mereka sedang memainkan permainan tradisional yang mulai dilupakan yaitu ma’gasing dan maccukke.

Keriuhan di lapangan Kaluppini siang itu adalah bagian dari Festival Permainan Tradisional Kaluppini, yang berlangsung selama dua hari, di awal Maret 2017. Jika ma’gasing dimainkan oleh laki-laki maka maccukke dimainkan oleh perempuan atau ibu-ibu. Meski bersifat dadakan, kegiatan ini disambut antusiasme warga, tidak hanya dari Desa Kaluppini, tetapi juga datang dari desa-desa lain sekitar.

Ma’gasing sendiri merupakan permainan yang bisa berputar pada poros berkesetimbangan pada suatu titik. Permainan ini termasuk permainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi di nusantara yang masih bisa dikenali. Konon permainan ini dulunya juga digunakan untuk berjudi dan meramalkan nasib.

Gasing ini sendiri biasanya terbuat dari kayu yang diukir dan dibentuk sedemikian rupa, dengan bagian bawah yang lebih lancip atau runcing sebagai poros. Bahan pembuat gasing juga biasanya berbeda yang dipilih dari kayu keras. Di Kaluppini, jenis kayu yang digunakan adalah kesambi yang keras dan berat. Sementara talinya menggunakan daun pandan hutan yang diplintir. Semuanya mudah ditemukan di sekitar pekarangan warga.

Jika di Sulsel disebut gasing, daerah lain seluruh nusantara memiliki istilah lain. Di Jawa Barat dan Jakarta misalnya menyebutnya gangsing atau panggal. Di Lampung dinamai pukang, sementara di Kalimantan Timur menyebutnya begazing.

 

 

Sementara macukke biasanya menggunakan rotan atau kayu berbentuk silinder ukuran panjang dan pendek. Kayu pemukul yang panjang berukuran sekitar 40-50 cm, sementara kayu lainnya berukuran sekitar 15 cm. di Jawa, permainan ini disebut patok lele. Hanya saja pada festival ini, agar tak mencederai pemain, kayu kecilnya diganti dengan botol kecil yang diisi pasir.

Menurut Abdul Halim, pemangku adat di Kaluppini, kegiatan ini adalah upaya mereka untuk memperkenalkan kembali beragam permainan tradisional yang sudah dilupakan. Kedua permainan tersebut konon sudah puluhan tahun lebih tidak dimainkan, meski dulunya bagian dari tradisi setempat.

“Dulu setiap tahun ma’gasing dan macukke dimainkan di musim tanam jagung, bagian dari ritual. Perlahan mulai jarang dilakukan dan malah sekarang kita baru mencoba untuk memulainya kembali,” katanya.

Melihat antusiasme warga mengikuti festival siang itu, Halim optimis kedua jenis permainan ini bisa dihadirkan kembali ke masyarakat. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak yang baru saja mengenal permainan itu terlihat sangat terampil memainkannya.

“Seminggu sebelum kegiatan anak-anak mulai memainkannya dimana-mana. Para orang tua mendukung dengan cara membantu membuatkan gasing dan talinya. Kabar tentang kegiatan ini bahkan menyebar hingga ke kota Enrekang.”

 

Permainan maccukke biasanya dimainkan perempuan atau ibu-ibu secara kelompok yang terdiri dari 5 orang. Permainan ini mengajarkan kerjasama dan kekompakan kelompok. Foto: Wahyu Chandra

 

Saim, Ketua Enrekang Timur Kasiturutan (ETIKA), sebagai salah satu pelaksana kegiatan ini menilai festival ini sangat penting untuk mengenalkan kembali permainan tradisional kepada anak-anak. Apalagi kini sudah dilupakan dan hampir tidak pernah dimainkan lagi selain oleh orang-orang tua. Ia menilai permainan tradisional tidak sekedar dimainkan untuk kesenangan namun memiliki makna tertentu.

“Kita bisa lihat, meski berkompetisi namun tak ada satupun di antara mereka yang berkonflik. Yang kalah dengan senang hati menerima kekalahan, yang menang pun tidak terlihat pongah. Terlihat juga dari permainan ini ada interaksi di antara para pemainnya, ada kerjasama dan kekompakan dalam permainan macukke. Ini berbeda dengan jenis permainan yang ada sekarang, yang justru membuat pemainnya menjadi lebih individualistik dan berjarak dengan orang lain,” katanya.

 

Mempertahankan Tradisi

Keberadaan sejumlah permainan tradisional dalam komunitas adat dinilai Halim akan memperkuat eksistensi mereka. Halim mengakui semakin ditinggalkannya tradisi dan beragam permainan rakyat ini menunjukkan telah gejala degradasi budaya, khususnya bagi generasi muda.

“Banyak generasi muda di komunitas kami yang sepertinya tidak mengenal lagi dan acuh pada adat budayanya. Harapan kami tinggal pada anak-anak dan remaja yang lebih antusias. Semoga kegiatan ini menjadi momentum menggairahkan kembali kebanggaan pada budaya dan adat istiadat sendiri,” katanya.

Menurut Halim, selain kedua permainan tersebut, sebenarnya banyak jenis permainan tradisional lain yang bisa dimunculkan kembali. Misalnya permainan piri-piri atau baling-baling besar. Dulu permainan ini dimainkan setelah musim panen di sawah-sawah dan tempat-tempat ketinggian yang anginnya kencang.

“Dulu kami berlomba-lomba mencari tempat-tempat ketinggian untuk mencari angin. Permainan ini ada seni tersendiri dan butuh keterampilan khusus membuatnya. Kalau buatannya bagus akan mengeluarkan suara yang merdu seperti musik.”

 

Ambe Dewi, salah seorang pemangku adat di Kaluppini membuat gasing dari kayu kasambi. Ia mengakui telah 20 tahun lebih tak memainkan permainan ini namun masih mengetahui secara pasti aturan-aturan dalam permainan tersebut. Foto: Wahyu Chandra

 

Masyarakat adat Kaluppini yang menetap di kawasan pegunungan berjarak sekitar 10 km dari Kota Enrekang selama ini dikenal sebagai komunitas yang masih kuat dalam menjaga tradisi dan ritual. Ada ritual yang sifatnya insidentil, seperti ritual untuk perkawinan dan kematian. Ada juga yang sifatnya rutin, seperti ritual pangewaran yang dirayakan setiap delapan tahun sekali. Ada juga ritual maulid setiap tahun. Terkait pengelolaan sumber daya alam, setiap tahunnya ada 13 ritual yang wajib dilaksanakan.

Menurut Halim, ritual-ritual di Kaluppini dilaksanakan dalam dua masa dalam setahun, yaitu pada musim basah untuk tanam padi yang disebut tahun bo’bo sebanyak 9 ritual dan pada musim kering untuk musim tanam palawija yang disebut tahun ba’tan, sebanyak 4 ritual. Ba’tan sendiri berarti jewawut atau sorgum, sejenis tanaman konsumsi yang cocok dengan kondisi kering, meski sekarang sudah jarang ditemukan.

Pada tahun bo’bo, dimulai dengan ritual massima tanah atau pembukaan lahan untuk ditanami padi. Pada saat benih akan ditebar maka dilakukan ritual yang disebut rappan banni. Ketika padi butuh air maka dilakukanlah ritual memanggil hujan yang disebut metadda wai.

“Ketika padi sudah mulai tumbuh dan ‘hamil’ maka harus diritualkan lagi, yang disebut ma’tulun. Lalu ada ritual metada pajabbi untuk pembasmian hama. Ketika padi mau menguning dan membutuhkan musim kemarau maka dilakukan ritual menghentikan hujan yang disebut meta’da kesawian,” jelas Halim.

Ritual selanjutnya adalah perburuan babi, yang disebut paratta rangnganan. Pada ritual ini ‘pintu-pintu’ gaib dibuka memberi kesempatan pada babi-babi yang baik untuk menyingkir. Setelah dilakukan masa perburuan, yang kadang berlangsung hingga dua minggu maka pintu-pintu yang tadinya dibuka ditutup kembali, melalui ritual yang disebut massali babangan. Setelah itu barulah ritual terakhir untuk tahun bo’bo yaitu pesta panen atau paratu ta’da.

Sementara ritual pada tahun ba’tan, juga dimulai dengan massima tana’, dilanjutkan dengan mattulung ketika tanaman sudah akan berbuah. Ritual selanjutnya adalah mappamali dimana seluruh warga komunitas tidak diperkenankan mengkonsumsi makanan yang berongga dan bergetah, seperti papaya, rebung, kangkung, dan lainnya.

“Jika masyarakat umum larangannya hanya selama tiga hari, maka untuk pemangku adat berlaku selama 7 hari. Ritual terakhir adalah pesta panen atau para’tu tadda.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,