Penyelamatan Karst Kendeng dari Tambang Semen: Wakil Rakyat, Mana Suaramu?

 

Gerakan penyelamatan Pegunungan Kendeng, dengan penolakan pembangunan tambang dan pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah, terus berjalan. Aksi menyemen kaki tak hanya di Jakarta, tetapi di berbagai daerah. Ada dewan yang eksis karena pilihan rakyat, yaitu DPR maupun DPRD, tetapi belum tegas bersuara, bahkan cenderung banyak mendukung semen.

Arbain Albanjary, dari Indonesian Parliamentary Center (IPC) dalam diskusi di Jakarta, Minggu (26/3/17) mengatakan, tak ada partai politik, anggota DPR, DPRD bahkan DPD bersuara lantang mendukung perjuangan warga.

“Bahkan ketika kematian menimpa seorang ibu dalam memperjuangkan aspirasi, wakil mereka tak memberikan reaksi berarti. Padahal saat pemilu, silih berganti para caleg menebar janji. Kita melihat sampai kini masyarakat Kendeng seolah berjuang sendiri. Tak ada wakil yang membantu perjuangan mereka,” katanya.

Baca juga: Semen Kaki Jilid II, Warga Kendeng Menuntut Presiden Sikapi Kasus Rembang

Pemilu legislatif 2014, level DPR, masyarakat Sedulur Sikep masuk dalam Dapil Jateng III. Di Dapil ini, ada 1.500 keluarga Sedulur Sikep. Terdiri dari Sukolilo Pati 250 keluarga, Blora 100 keluarga, Kudus 500 keluarga, sisanya, Rembang. Ada sembilan anggota DPR pada dapil itu. Mereka adalah Imam Suroso dan Evita Nursanty (PDIP), Firman Subagyo (Golkar), Sri Wulan (Gerindra), Marwan Jafar (PKB), Djoko Udjianto (Demokrat), M. Arwani Thomafi (PPP), Dony Imam Priambodo (Nasdem), dan M. Gamari (PKS).

“Ada sembilan anggota DPR dari dapil ini, tetapi tak ada serius yang mendampingi warga Sedulur Sikep. Di DPRD Jateng juga ada sembilan orang, DPRD Rembang enam orang, DPRD Pati 11 orang.”

Sebenarnya,  ada dua anggota dewan dari PKB menyatakan menolak pembangunan pabrik semen di Rembang. Mereka adalah Wakil Sekjen PKB Daniel Johan dan anggota DPRD Jateng Benny Karnadi. Hanya pernyataan mereka belum jelas apakah mewakili sikap partai atau pribadi. Sejauh ini, pernyataan mereka belum diikuti langkah politik.

“Mereka sudah meminta Gus Solah terlibat mendukung rakyat Kendang. Lagi-lagi ini statemen pribadi, statemen partai tak ada. Langkah politik seperti memanggil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hak menyatakan pendapat, memanggil Presiden dan lain belum ada.”

Ada juga beberapa anggota DPD dari dapil seharusnya ikut bersuara. Mereka Denty Eka Widi Pratiwi, Sulistyo, Bambang Sadono dan Akhmad Muqowam. Hingga kini belum ada sikap jelas mereka.

“Kita hanya menyaksikan representasi yang dihasilkan dari sebuah prosedur yang sedemikian mahal, tapi tak berfungsi baik. Suara 1.500 konstituen yang menolak pembangunan pabrik semen, hanya sayup-sayup di gedung parlemen.”

Sikap Parpol di DPR, katanya, terkesan justru mendukung pembangunan pabrik semen. Golkar, misal, lewat pernyataan Ketua Umum Setya Novanto jelas mendukung pembangunan pabrik semen. Bahkan meminta aparat mencari tahu siapa orang kuat di balik aksi penolakan pembangunan pabrik semen.

Pun dengan PDIP. Meski beberapa waktu lalu, Hasto Kristianto mengatakan, Ganjar Pranowo harus mendengarkan suara masyarakat Kendeng, namun hingga kini belum ada langkah konkrit. Partai-partai lain pun dianggap mendukung pembangunan pabrik semen.

IPC,  katanya, akan menginisiasi audiensi dengan Komisi III, IV, VI dan VII. Empat komisi ini erat terkait dengan persoalan Kendeng.

“Atau bisa saja karena persoalan ini lintas komisi, kita ke pimpinan DPR sekalian.”

Rukka Sambolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, kasus Kendeng seharusnya menjadi contoh mengkaji masalah lebih besar terkait potret masyarakat adat di seluruh Indonesia.

“Seperti itu tak hanya terjadi di Kendeng, tempat lain juga. Caleg atau Cabup yang awalnya berjanji manis memeprjuangkan hak-hak masyarakat adat, ketika sudah jadi malah berbeda.”

Dia mencontohkan, di Seko, ada kasus dimana bupati dukungan resmi AMAN, justru berhadap-hadapan dengan masyarakat adat yang menolak pembangunan bendungan. Anggota DPR juga sama, dulu waktu maju akan menolak pembangunan PLTA dan didukung AMAN, sekarang berbalik 180 derajat.

Menurut Rukka, perlu ada pembenahan dalam proses pendapilan, kuota dan alokasi kursi bagi masyarakat adat. Hal ini penting, bercermin kasus Kendeng, misal, anggota dewan pilihan masyarakat Sedulur Sikep justru tak menunjukan keberpihakan.

“Masyarakat memilih, ketika terpilih wakil entah kemana? Di Bengkulu TN Bukit Barisan Selatan, 2009 itu mereka menangkan calon yang mereka dukung. Yang terjadi, ketika wilayah mereka diserbu dan dibakar Jagawana dan brimob, mereka malah kehilangan hak politik. Tahun 2014 tak ikut pemilu.”

Keadaan ini berdampak pada tak ada akses memadai bagi masyarakat adat di wilayah itu. Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Daerah Tertinggal, tak bisa melayani masyarakat adat di wilayah itu karena khawatir digugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,