Begini Bisnis Memamerkan Satwa Liar di Tanjung Benoa Bali

Tanjung Benoa populer dengan wisata olahraga dan hiburan di laut seperti jet ski, flying fish dan banana boat. Di sini juga ada paket tur wisata penyu, tapi memamerkan sejumlah binatang lain dilindungi.

Sebanyak 28 ekor binatang selain penyu ini diserahkan ke BKSDA Bali pada 8 Maret lalu oleh empat pemilik tempat wisata penyu (turtle farm) karena tak mengantongi izin konservasi. Satwa liar itu adalah elang bondol 4 ekor, elang laut perut putih 3 ekor, burung julang emas 7 ekor, kangkareng (jenis rangkong) 1 ekor, landak 11 ekor, burung mandar 1 ekor, dan buaya muara 1 ekor.

Namun, usaha-usaha wisata sudah berjalan lama dan laris manis. Mari melongok apa yang dijajakan pada turis, saat binatang yang diserahkan itu masih berada dalam kandangnya.

Ratusan turis tiba dengan puluhan perahu bermesin di sejumlah titik. Sebagian terdengar berbahasa Mandarin. Pakaian mereka warna warni dengan topi lebar aneka hiasan yang dipakai turis perempuan. Tak heran, hampir semua pemandu wisata di sini bisa berbahasa Mandarin walau tak fasih. Tiap hari melayani turis berbahasa China membuat mereka harus belajar secara otodidak.

 

 

Sedikitnya ada 4 tempat peragaan penyu yang juga mengandangkan aneka binatang lain di sini. Satu sama lain lokasinya berdekatan. Berada di pinggir pantai sehingga menjadi bagian dari paket wisata ke pulau Penyu di Tanjung Benoa. Demikian merk industri wisata ini.

Rombongan turis yang baru datang langsung disambut pemandu tur untuk memulai paket sightseeing di lokasi turtle farm. Karyawan menghitung tiap rombongan yang datang untuk pengenaan tiket masuknya.

Setelah masuk, para turis berteriak senang melihat para penyu berenang di kolam-kolam, terutama bayi atau tukik. Bahkan beberapa langsung menyentuh dan mengangkat penyu-penyu ini walau sudah ada papan bertulisakan larangan menyentuh.

Para guide mempersilakan mengambil penyu berukuran sedang untuk jadi model selfie atau wefie. Agar mudah diangkat. Ada banyak kolam kecil dan besar berisi penyu dominan penyu hijau yang dilindungi. Entah bagaimana perasaan penyu yang jadi objek foto ratusan turis per hari ini.

 

Seorang turis sedang memegang penyu untuk kebutuhan foto diri di turtle farm Tanjung Benoa, Bali. Foto Luh De Suriyani

 

Makin masuk ke dalam ada kolam lebih besar berisi penyu dewasa. Kolam penuh sesak dengan penyu-penyu ini. Sejumlah petugas yang sedang mengura air kolam terlihat mengatur turis jika ingin masuk kolam dan mengangkat penyu dewasa untuk jadi objek foto.

Di bagian paling belakang baru terlihat ada kandang-kandang berisi binatang lain seperti kelelawar, burung julang mas, elang, dan lainnya. Turis bisa masuk kandang ditemani pemandu dan foto-foto dengan binatang.

Sejumlah spanduk dan papan banyak dipasang bertuliskan “Semua jenis satwa dilindungi di sini di bawah pengawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam.” Tentu saja pengunjung merasa aman karena ada spanduk seperti ini.

Ada juga sebuah surat imbauan dari BKSDA yang dicetak besar depan kolam penyu. Isinya seperti dilarang menyentuh hewan tanpa didampingi petugas, melakukan kekerasan seperti memukul, naik di punggung, menginjak satwa. Lainnya dilarang memberi makan tanpa izin petugas dan tidak melemparkan benda apa pun ke dalam kolam.

Made Widana, salah satu pengelola di Moon Cot Turtle Farm and Animal mengatakan pihaknya menangkarkan penyu. “Tapi hanya bisa bertelur maksimum 50%, telurnya ditetaskan,” sebutnya. Ia tak tertarik menjelaskan dari mana saja penyu-penyu dewasa yang menjadi penghuni obyek wisata ini.

Sementara di sebuah lokasi lain diberi nama Lecceria, Pulau Pudut Tanjung Benoa Bali, satwa liar selain penyu seperti elang lebih difokuskan untuk objek selfie. Lokasi ini lebih kecil, penunggunya sebagian besar perempuan paruh baya.

 

Kolam terlihat penuh berisi banyak penyu dewasa dan turis histeria ingin mengangkat untuk foto bersama di turtle farm Tanjung Beno, Bali. Foto Luh De Suriyani

 

Catur Marbawa, Kepala Bagian Tata Usaha BKSDA Bali saat dikonfirmasi mengatakan seluruh satwa liar selain penyu sudah tak ada di lokasi-lokasi turtle farm Teluk Benoa. “Legalitas tidak ada, penegakan hukum ini upaya terakhir,” katanya soal pengambilan 28 satwa liar di area ini. Spanduk-spanduk berisi informasi di bawah kontrol BKSDA menurutnya sekarang sudah dicabut.

Menurutnya pemilik sejumlah lokasi sedang mengajukan perpanjangan izin dan kerjasama. Catur mengakui sebelumnya ada perjanjian kerjasama antara BKSDA dan desa adat Tanjung Benoa agar obyek wisata ini bisa berjalan namun sudah berakhir.

Sementara soal jumlah penyu di lokasi-lokasi yang mengklaim turtle farm itu menurutnya sudah berlebihan. “Semangatnya pelestarian dan edukasi. Tapi kalau sebanyak itu jangan sampai jadi kamuflase pencucian uang,” kata Catur. Mengenai pengelolaan penyu di kolam peragaan ini pihaknya masih mengevaluasi.

Ketut Roka, salah satu pemilik lokasi turtle farm di Tanjung Benoa berharap izin konservasi segera didapatkan karena menurutnya banyak turis yang senang. “Permohanan izin dan MoU sedang diajukan ke Dinas Kehutanan kemitraan dengan BKSDA dan Tanjung Benoa. Obyek destinasi penyu disukai,” ujarnya.

Bagaimana warga bisa mengidentifikasi tempat konservasi yang layak dikunjungi? Catur menyebut sejumlah kondisi. Pertama legalitas dan izin lokasi terkait kepastian lahan. Bisa saja lahannya milik desa adat. Kemudian tempat peragaan memenuhi syarat kesejahteraan satwa. Misalnya makan teratur dan laporan kesehatan rutin per bulan.

Untuk satwa di laut atau keramba, airnya tak mengandung bahan kimia, dan rutin melakukan pemeriksaan. “Idealnya dilepas tapi pemerintah perbolehkan di kebun binatang dengan prinsip animal welfare,” ujarnya.

Kebun-kebun binatang besar yang sudah berizin juga perlu diperhatikan apakah melaksanakan prinsip ini. Apakah izin konservasi memang sesuai yakni keberlanjutan hidup satwa-satwa ini, terutama berdampak pada upaya perlindungan rekan-rekannya di alam liar.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,