Dengan DPL, Tarabitan dan Bulutui Melindungi Pesisir dan Laut Mereka

Pemandangan pesisir yang indah menemani dalam perjalanan menuju Likupang Barat, sekitar satu setengah jam dari Manado, Sulawesi Utara Hamparan hutan mangrove menjadi teman perjalanan memasuki wilayah Likupang Barat. Masyarakat yang kental dengan kehidupan pesisir dan laut yang menggantungkan hidupnya disana.

Namun demikian, ada cerita lain dibalik kondisi lingkungan pesisir beberapa waktu sebelumnya yang saat ini mulai berangsur membaik, yaitu bahwa mereka disana pernah mengalami kondisi yang kurang menguntungkan akibat tidak menjaga pesisir dan lautnya.

Sekitar tahun 2000-an sudah ada upaya untuk melakukan pengelolaan lingkungan pesisir dan laut mereka. Namun karena minim sarana prasarana/fasilitas sehingga upaya tersebut lambat laun pudar yang berakibat mulai rusaknya kawasan tersebut.

Hal tersebut secara langsung berdampak pada hasil tangkapan ikan masyarakat yang mayoritas sebagai nelayan sangat berkurang.  Demikian juga lokasi mencari ikan mulai jauh dari desa mereka.

 

 

Apakah langkah kecil itu?

Ada sebuah usaha, sebuah langkah kecil di Tarabitan dan Bulutui.  Mereka menyebutnya Daerah Perlindungan Laut (DPL) yaitu sebuah kawasan dimana masyarakat setempat sadar dan memiliki kepedulian untuk melindungi sekitar kawasan pesisir mereka dengan membuat zona perlindungan dan perikanan tangkap tradisional.

Berangkat dari kondisi bahwa ikan semakin susah dicari dan lokasi pencarian jauh, lambat laun masyarakat mulai sadar pentingnya untuk membuat DPL.  Kesadaran mulai tumbuh tentang manfaat DPL yang di dalamnya ada mangrove yang didukung oleh ekosistem lamun dan mangrove.

Tangkapan ikan mulai bertambah sejak adanya DPL tersebut dan menangkap ikan terutama untuk kebutuhan sehari-hari tidak jauh dari desa mereka.  Hal tersebut tidak terlepas dari semangat warga desa yang terus tergerak untuk berbuat bagi lingkungan.

Adalah Naftali Salindeho, saat ini dipercaya bersama anggota kelompok di Desa Tarabitan untuk mengelola DPL.  “Saat ini masyarakat sudah mulai sadar akan pentingnya menjaga pesisir dan laut terutama manfaat dari DPL karena ikan-ikan yang dahulu susah dicari seperti oci/tude, saat ini mudah untuk ditangkap”, ungkap Naftali.

Usaha keras Naftali dan kelompok yang ada tersebut juga disambut positif oleh Pemerintah Desa Tarabitan dan merencanakan untuk pengalokasian dukungan dana untuk memperkuat DPL untuk tahun 2018 yang saat ini memiliki luas sekitar 15Ha. Selain itu, dukungan dari LSM seperti Yapeka dan WCS juga menjadi pendorong untuk mengaktifkan DPL. “Namun yang paling penting adalah masyarakat sadar bahwa DPL memberi banyak manfaat,” tambah Naftali.

 

Buoy sederhana sebagai tanda batas Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Tarabitan, Likupang Barat, Sulawesi Utara. Foto : Agustinus Wijayanto

 

Saat ini sudah ada DPL di Tarabitan dengan dorongan dari Yapeka dan WCS serta memberikan pelatihan peningkatan kapasitas. Efra Wantah dari Yapeka menyatakan bahwa telah melakukan pendampingan kepada masyarakat dan memberikan pendampingan untuk memperjelas tanda batas DPL Tarabitan yang salah satunya didukung oleh GoodPlanet Foudation-Perancis.

“Sekitar lokasi DPL di Desa Tarabitan juga menjadi salah satu titik penyelaman favorit bagi turis manca Negara”, sehingga bisa menjadi tambahan manfaat bagi pengelolaan DPL dan sekitarnya untuk pengembangan ekowisata”, tambah Efra.

Gayung bersambut, karena sebelumnya telah ada kehadiran dari Dinas Pariwisata Kabupaten yang melakukan peninjauan untuk pengembangan wisata disana. Selain lokasi sekitar DPL juga ada lokasi lain yaitu Pulau Mangrove.  Di lokasi tersebut wisatawan dapat menikmati hamparan mangrove yang bagus.

“Peran Pemerintah tentu sangat penting guna mendukung upaya-upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat setempat dengan pengelolaan lingkungan sesuai dengan kemampuan mereka, oleh karena itu, kami siap selaku Pemerintah Desa untuk mendukung kegiatan di DPL dan Pariwisata,” ungkap  Wilton Tatuil, Hukum Tua  Desa Tarabitan.

Selain Desa Tarabitan, desa yang mulai melakukan perlindungan pesisir dan laut mereka adalah Desa Bulutui.  Desa ini dikenal desa-desa sekitar karena beberapa warganya menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan (misalnya bom ikan) saat menangkap ikan di beberapa desa tetangga tersebut. Pelan namun pasti, melalui Hukum Tua serta beberapa warga mulai melakukan sosialisasi tentang pentingnya melindungi laut.

 

Buoy warna hitam, sebagai contoh tanda batas Daerah Perlindungan Laut (DPL) di Desa Bulutui, Likupang Barat, Sulawesi Utara. Foto : Agustinus Wijayanto

 

Efra Wantah dari Yapeka menyampaikan bahwa awal-awal melakukan pendekatan memang sangat sulit, namun perlahan apa yang diupayakan untuk pelestarian lingkungan mulai menampakkan hasilnya dengan dukungan dari warga dan pemerintah desa.

Aswadi Sahari, Hukum Tua Desa Bulutui menyampaikan bahwa memang sebelum-sebelumnya warga kami di cap jelek oleh desa-desa lain di pesisir Likupang ini karena menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. “Kami belajar dari Desa Bahoi yang telah sukses membuat DPL, jika Bahoi bisa, mengapa kami tidak?,” ungkap Aswadi.

Langkah kecil tersebut dengan mulai memasang tanda batas DPL berukuran 20m x 2m yang berada di lokasi tepat di sekitar pemukiman penduduk.  “Saat ini kami masih membuat percontohan yang ada di depan pemukiman, namu kami merencanakan 3 lokasi DPL di desa kami.  Selain itu, kami mengirimkan perwakilan warga desa kami untuk belajar pengembangan DPL agar mampu menerapkan DPL di desa ini,” tambah Aswadi.

Sebagai kepedulian dari Pemerintah Desa tersebut sudah memasukkan pengelolaan DPL ke dalam perencanaan pembangunan jangka menegah desa (RPJMDes), termasuk kelompok pengelola DPL akan dituangkan dalam Peraturan Desa (Perdes) agar lebih kuat dalam implementasinya.

 

DPL Berbasis Masyarakat, bisakah diterapkan?

Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) merupakan kawasan pesisisir dan laut yang dapat meliputi terumbu karang, hutan mangrove, lamun dan habitat lainnya secara sendiri atau bersama-sama yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut, dan pengelolaannya yang dilakukan secara bersama antara pemerintah, masyarakat dan pihak lain, dalam merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pengelolaannya (Tulungen et at, 2003).

Upaya di dua desa tersebut tidak lepas dari dukungan Desa Bahoi yang terus menyuarakan pentingnya DPL untuk menjaga lingkungan. Apa yang dilakukan di Bahoi dapat diterapkan di desa lain.  Adalah Maxi Lahading, warga Desa Bahoi yang terus menyuarakan dan berbuat untuk pelestarian lingkungan melalui DPL.

“Kami sebagai nelayan telah mendapatkan manfaat langsung maupun tak langsung dari keberadaan DPL.  Dahulu sebelum ada DPL, nelayan susah dan jauh mencari ikan karena kondisi lingkungan yang rusak. Setelah ada DPL, lambat laun masyarakat percaya akan manfaat DPL tersebut dimana mereka lebih mudah menangkap ikan dan tidak harus jauh ketika melaut mencari ikan,” ungkap Maxi.

 

Maxi Lahading, tokoh penggerak Daerah Perlindungan Laut (DPL) dan pelestarian pesisir dari Desa Bahoi, Likupang Barat, Sulawesi Utara. Foto : Agustinus Wijayanto

 

Apa yang disampaikan dan dilakukan oleh Maxi Lahading dari Desa Bahoi, Desa Tarabitan, dan Desa Bulutui tersebut tentu menjadi pembelajaran dan perlu mendapat tanggapan serius dari Pemerintah, bahwa upaya perlindungan pesisir dan laut dapat timbul dari masyarakat setempat karena masyarakat sekitar pesisir/laut yang langsung akan mendapatkan dampak dari kondisi lingkungan yang ada.  Artinya, bahwa DPL berbasis masyarakat bisa diterapkan.  Harapan serius tentunya dapat menindaklanjuti langkah kecil dari pesisir Minahasa Utara tersebut dalam melindungi kawasan pesisir dapat terus digaungkan dan diimplementasikan di tingkat tapak.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,