Didik Raharyono: Harimau Jawa, Punah yang Masih Terus Terbunuh?

 

 

Namanya Didik Raharyono. Tahun 1997, dia ikut Ekspedisi Meru Betiri,  sekaligus mulai mendedikasikan diri meneliti karnivor Jawa. Akhir Februari lalu, saya bertemu Didik, panggilan akrabnya, di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.

Berawal penelitian populasi karnivor di hutan-hutan Jawa yang masih tersisa, bermodal pinjaman kamera pengintai, dia ingin membuktikan keberadaan harimau Jawa. Didik yakin, satwa ini belum punah.

Keyakinan Didik bukan tanpa dasar. Hingga kini, dia terus mendata berbagai keterangan warga yang tinggal sekitar hutan Jawa. Dia juga mengumpulkan bukti seperti feses, cakaran, gigi, jejak kaki, kuku, bulu, kulit dan lain-lain.

“Harimau Jawa dinyatakan punah, tapi masih ditemukan bagian tubuh, jejak, dan perjumpaan warga hingga kini,” katanya.

Ada tiga subspesies harimau di dunia dinyatakan punah IUCN, yakni harimau Kaspia (Panthera tigris virgata), harimau Bali (Panthera tigris balica) dan harimau Jawa (Panthera tigris sondaica).

Satwa karnivora ini membutuhkan teritori, hutan jadi habitat. Kondisi hutan di Jawa banyak terdegradasi padahal berpotensi memiliki kekayaan hayati lebih tinggi dari hutan di pegunungan— hampir hilang dan hanya tersisa di beberapa taman nasional.

Hutan dataran rendah banyak sebagai hutan produksi pakai sistem penanaman pohon sejenis. Hutan di Jawam sudah terfragmentasi menjadi beberapa potongan, mirip kondisi kepulauan kecil samudera atau mengalami insularisasi. Adapun luas hutan Jawa, untuk hutan non konservasi sekitar 2,46 juta hektar, konservasi darat sekitar 3,500 kilometer persegi.

Pada 1998, pada seminar nasional di University Centre UGM menghasilkan rekomendasi peninjauan ulang atas pernyataan punah. Hal ini menyemangati Didik melakukan pembuktian.

Dia menceritakan, 2004 menjumpai feses harimau Jawa diameter sekitar tujuh cm. Pada 2006, ada kesaksian perjumpaan anggota TNI dengan harimau Jawa.

Pada 2008, dia menemukan sampel kulit harimau loreng dibunuh dari Jawa Tengah dan menjumpai sisa kuku masih ada darah diduga milik harimau dibunuh dari Jawa Barat.

Tahun 2009, dia dapatkan sampel kulit harimau dibunuh dari Jawa Timur. Secara mikroskopis, untuk rambut menunjuk ke harimau loreng bukan tutul, namun perlu analisis DNA.

“Bahan analisis DNA sudah masuk ke LIPI. Menurut LIPI lebar masih kurang.”

Temuan lain informasi perjumpaan dan kesaksian beberapa warga tepi hutan dengan harimau Jawa, masih verfikasi lebih lanjut. Pada 2013, dia mendapatkan kulit ekor diduga harimau Jawa dari Taman Nasional Baluran.

Menurut Didik, pendataan karnivora di kawasan konservasi dan non konservasi, dengan pembinaan habitat lewat kajian daya dukung habitat, dan patroli rutin mencegah perburuan.

Opini harimau Jawa “punah” sudah melekat kuat di kalangan pemerintah, hingga selalu menganggap masyarakat tak bisa membedakan macan tutul dan macan loreng. Kosakata masyarakat Jawa, katanya,  memang hanya dikenal kata macan untuk menyebut tiger dan leopard.

Uniknya, ilmuwan lain menyangsikan harimau Jawa masih ada karena penduduk Jawa , padat. Perbandingan satu kilometer isi satu orang, di mana harimau bisa bersembunyi. Cara berpikir itu, katanya, keliru. Hutan di Jawa, ada banteng dan badak.

Perbedaan feses harimau Jawa dan macan tutul. Foto: dari presentasi Didik R

Pemerintah,  harusnya bersama masyarakat lokal sebagai pemanen hasil hutan melakukan kajian bersama atas lokasi-lokasi dilaporkan ada harimau. Lalu, pantau dengan kamera pengintai, memberikan pinjaman pada masyarakat untuk pemasangan di lokasi di mana harimau Jawa pernah dijumpai.

Pada 2013,  dia jadi konsultan Biodiversitas Mamalia. Ia mulai melihat zoologi berkaitan dengan budaya, lingkungan dan mistik. Tradisi orang jawa, mempunyai filosofi bahwa harimau bagian hidup, tetangga, atau kerabat. Di kehidupan luar dia hidup liar, tetapi dalam kehidupan Jawa tak demikian. Di Jawa, harimau dikenal mbahe, kiayine, atau buyut.

Untuk berusaha membuktikan harimau Jawa belum punah, dia mendekati para pemburu. Perlu waktu cukup lama, dekat dengan pemburu, hingga mendapatkan potongan tubuh harimau. Dari pemburu itu, dia menceritakan daging harimau panas di badan.

Didik dalam interaksi di alam, bertemu pemanen burung dan babi hutan. Pemanen, kata Didik, karena mereka tahu kapan babi, burung, dan satwa lain bisa diambil. Syaratnya, jenis dan ukuran dipenuhi semua.

Selama proses pencarian itu pula Didik mengenal sebutan lain harimau, seperti boro, dawuk, nyambuq dan dengong. Bahkan informan yang memberikan kesaksian, tak selalu penduduk lokal. Perlu dua tahun agar Didik diterima para pemanen burung dan pawang harimau. Pawang bisa memanggil macan, untuk harimau Jawa, jika tak darurat tak akan dipanggil.

“Saya punya mantra pemanggil macan, tapi belum dicoba. Saya bukan mencari ilmu mistik, tapi ingin meneliti harimau Jawa,” katanya.

 

Fotogtafi untuk konservasi

Pada 1938, Andries Hoogerwerf, jadi satu-satunya fotografer yang memfoto utuh di alam tubuh harimau Jawa, ketika sedang berjalan di Taman Nasional Ujung Kulon. Didik masih mencari informasi, siapa pemandu lokal Hoogerwerf kala itu.

Didik sudah banyak pasang kamera pengintai. Berdasarkan kesaksian warga, di lokasi sebaran distribusi harimau Jawa, menurut penelitian Stidensticker 1976.

Berbekal kamera trap pinjaman, dia tak lelah meneliti. Prosposal dana penelitian diajukan ke banyak lembaga, selalu ditolak, karena harian Jawa sudah klaim punah.

“Saya gunakan kawasan strategis untuk saya datangi dan pasang kamera trap, namun perlu peranan fotografi untuk konservasi,” katanya.

Hampir 20 tahun Didik meneliti. Dia optimis bisa membuktikan keberadaan harimau Jawa. Menurut dia, dimana jejak harimau berada, disanalah dia meneliti.

Bahkan, Didik enam bulan di Nusakambangan meneliti macan kumbang, hingga paham perbedaan harimau dan macan lain. Dari ukuran saja, macan tutul dan harja sangat berbeda, seperti feses, bentuk cakaran, sampai lebar telapak kaki.

Mencari bukti keberadaan harimau Jawa secara ilmiah, katanya,  tak semudah membalik telapak tangan. “Perlu upaya dan kerjasama berbagai pihak untuk membuktikan keberadaan harimau Jawa.”

Makin banyak peduli dan berusaha menemukan harimau Jawa, otomatis makin banyak pula bukti-bukti terkumpul untuk mengeluarkan satwa ini dari daftar punah.

“Suatu saat, Simbah akan memunculkan diri. Saat itu juga tak ada klaim punah,” ucap Didik.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,