Lima Kelompok Tani Jambi Ini Peroleh Izin Hutan Tanaman Rakyat

 

Baru-baru ini,  lima kelompok tani hutan di Kecamatan Tebo Ilir dan Muara Tabir, Tebo, Jambi, mendapatkan izin hutan  tanaman rakyat (HTR) seluas 705, 39 hektar. Mereka adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) Maju Bersama Desa Tanah Garo, KTH Asa Jaya Desa Lubuk Madarsah, KTH Soko Tulang, KTH Sarenggam Desa dan KTH Kasang Panjang Desa Sungai Jernih.

Mamun Murod, Ketua Kelompok Tani Hutan Kasang Panjang mengatakan, jika insiatif pengusulan HTR sudah sejak 2010.

Mereka sempat bolak-balik mengurus dan melengkapi bahan. Belum lagi birokrasi pengusulan berbelit, cukup menyulitkan. Hingga 2013, baru verifikasi bahan pengusulan.

“Sejak 2010, pengusulan. Baru 2013 , verifikasi. Kami bersyukur awal tahun bisa terima SK,” katanya.

Murod bilang, cukup sulit memberikan pemahaman kepada anggota masyarakat lain untuk ikut skema hutan tanaman rakyat ini. Mereka tahu, hanya perusahaan yang bisa mengelola hutan.

Kelompok Tani Hutan Kasang Panjang belokasi di Kecamatan Tengah Ilir. Saat ini, punya 87 anggota akan mengelola seluas 283, 15 hektar hutan produksi yang diberikan SK HTR.

Murod menyebutkan, dengan SK ini, tak serta-merta akan meningkatkan kesejahteraan petani. Mereka harus bekerja keras dan menyusur rencana kerja  yang membutuhkan pendampingan dari para pihak.

“Kami mohon dinas terkait bisa mendampingi terus dan memberikan akses bagi kami, misal, untuk kebutuhan bibit dan lain-lain. Kami petani, bukan perusahaan yang memiliki dana besar,” katanya.

Murod bilang, ada beberapa hektar kebun karet masyarakat masih bisa produksi. ”Harga karet basah cuma Rp8.000 per kilogram,” katanya.

Dia mendiskusikan dengan anggota, soal kemungkinan menanam karet dengan kombinasi mahoni. Mahoni, katanya,  bisa untuk tabungan masa depan. Karet untuk kebutuhan sehari-hari.

Zumi Zola, Gubernur Jambi berharap, program perhutanan sosial untuk lima kelompok tani hutan di Tebo ini bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mereka kini, berada wilayah transmigrasi maupun masyarakat lokal yang hidup bergantung hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).

Selama ini,  pemanfaatan hutan hanya dinikmati segelintir perusuhaan hingga terjadi ketidakadilan. “Selama ini yang bisa mendapatkan izin mengelola hutan hanya perusahaan-perusahaan besar. Kini pandangan itu diubah, bukan hanya perusahaan besar, masyarakat bisa dapatkan izin mengelola hutan,” katanya, kala penyerahan surat putusan HTR yang dihadiri Hadi Daryanto, Dirjen Perhutanan Sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

Geliat hutan kelola rakyat

Dalam waktu delapan tahun terakhir, mulai berawal skema hutan desa yang dikukuhkan di Lubuk Beringin 2009 jadi hutan Desa pertama terluas di Indonesia yaitu 2.356 hektar.

Keberhasilan hutan desa Lubuk Beringin memicu daerah lain mengusulkan skema hutan kelola rakyat yang peluang dibuka pemerintah. Ia sudah diusung awal 2000-an.

Dalam skema perhutanan sosial ada beberapa model hutan kelola rakyat diatur, yaitu hutan desa, hutan kemasyarakatan, HTR, kemitraan dn hutan adat.

Jambi membuka peluang, sejak 2009, ada 93.210,26 hektar hutan desa dan HTR sudah ber-SK seluas 5.833,03 hektar.

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan, di Jambi ada 49.703 hektar pencadangan HTR tersebar di Tebo, Batanghari, Tanjab Barat, Sarolangun, Muaro Jambi, Merangin dan Kerinci.

Hingga kini, sudah terbit izin HTR oleh bupati pada empat kabupaten kepada empat koperasi dan 108 perorangan.

Rinciannya, Sarolangun (19 izin/166,66 hektar), Tebo ( 35 izin/3.422,98 hektar dan 705,39 hektar), dan Muaro Jambi (dua izin seluas 529,00 hektar). Lalu, Batang Hari (56 izin  291,99 hektar dan 1.272 hektar), dengan total HTR 5.833,03 hektar.

Dicky Kurniawan, Direktur KKI Warsi mengatakan, dari empat pola perhutanan sosial ini memiliki karakteristik berbeda.

Skema hutan desa, misal,  bisa usul dalam hutan lindung dan hutan produksi, dan memiliki kemudahan dalam pengorganisasian maupun penguatan lembaga pengelola karena wilayah administrasi desa pakai pendekatan kelembagaan desa.

Kekurangan skema ini, bila ada konflik batas antardesa tetangga dan pasar komoditas terbatas.

Hkm, katanya, hampir sama dengan hutan desa, usulan bisa bisa di hutan lindung dan hutan produksi dengan pendekatan kelompok atau koperasi.

Dalam satu desa, bisa banyak kelompok dan akan memerlukan waktu lama dalam pengorganisasian. Untuk pemasaran hasil produksi, katanya, relatif terbuka luas.

Skema HTR, hanya bisa dalam kawasan hutan produksi, dengan pendekatan wajib penduduk daerah itu. DI lapangan, katanya, seringkali ada anggota kelompok dari desa berlainan namun membuka hutan pada daerah sama ataupun berdekatan.

“Ini sedikit menyulitkan dalam pengorganisasian. Pemasaran komoditas terbuka luas.”

Pola kemitraan, katanya, jadi solusi mereduksi konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan ataupun pemangku pengelola kawasan.

Kemitraan, katanya, kemungkinan bisa jadi  ramah sosial dan lingkungan, namun memerlukan waktu lama dalam proses mediasi.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,