Ketika Para Pemburu Burung Pensiun

Keringat masih mengucur di muka Purnomo, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) pada pekan lalu. Ia baru saja membetulkan saluran air di sekitar Curug Jenggala yang berada di Dusun Kalipagu. Ia kemudian memanggil Rasim, 50, dan Joko, 45. Kebetulan, keduanya tengah membangun warung kayu yang tidak jauh dari lokasi Curug Jenggala.

Rasim, Joko dan Purnomo kemudian berkumpul. Kebetulan ketiganya merupakan pegiat LMDH Ketenger yang mengelola secara swadaya Curug Jenggala di kawasan hutan Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur. Ketiganya mendiskusikan beberapa hal, termasuk bakal mengembangkan ekowisata lainnya.

Rasim mengungkapkan kalau dirinya sekarang berkonsentrasi mengurus wisata alam di kawasan Curug Jenggala. Ketika ditanya pekerjaan utama masa lalu, ia agak sedikit bimbang. Namun, sedikit demi sedikit ia mengungkap kalau dulunya sebagai pencari burung. “Iya, memang dulu saya mencari burung untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tidak hanya saya, tetapi banyak yang mencari burung ke hutan,”ungkap Risam membuka masa lalunya.

Mencari burung, kata Risam, membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Selain itu juga butuh bekal, karena perjalanannya bisa mencapai sehari hingga dua hari. “Kami memulai dari lereng Gunung Slamet bagian selatan kemudian naik sampai batas hutan. Berarti mulai ketinggian sekitar 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga hampir 3 ribu mdpl,”jelas Risam yang juga diiyakan oleh Joko.

 

 

Joko menambahkan untuk mencari burung, warga membutuhkan perekat atau pulut dari getah pohon. Biasanya getah pohon nangka atau sukun. Hanya itu yang digunakan untuk menangkap burung. Ada sejumlah jenis burung yang bisa ditangkap oleh warga di kawasan hutan lereng Gunung Slamet.

Di antaranya adalah burung, depyu mini atau sikatan belang (Ficedula westermanni), depyu atau decu belang (Saxicola caprata), kutilang hijau atau perling kumbang (Aplonis panayensis), canis jenggot atau empuloh jenggot (Alophoixus bulbul) dan precit atau kacamata gunung (Zosterops montanus). “Itu berbagai jenis burung yangh ditemukan di lereng selatan Gunung Slamet,”ujar Joko.

Jenis-jenis burung tersebut sampai sekarang masih laku di pasaran. Misalnya untuk kemuning harganya Rp35 ribu, depyu Rp80 ribu, canis jenggot mencapai Rp250 ribu, bahkan kalau kutilang hijau sampai Rp300 ribu. “Tetapi terus terang, saya sudah tidak lagi mencari burung ke hutan. Karena saat sekarang sudah sibuk mengurus wisata alam di sini. Apalagi, burung semakin susah dicari,”ungkapnya.

Tak hanya mereka berdua, Dartam, 45, yang kini juga membantu mengelola obyek wisata Curug Jenggala juga sudah berhenti mencari burung. “Sebab, mencari burung hasilnya juga tidak pasti. Kadang dapat, kerap tidak memperoleh. Untung-untungan lah. Mending saat sekarang, sedikit-sedikit ada pemasukan. Apalagi saya juga membantu isteri yanbg berjualan di sekitar Curug Jenggala,”ungkapnya.

 

Seorang tukang ojek membawa wisatawan naik sepeda motor menuju ke Curug Jenggala, Baturraden, Banyumas. Sebagian dari pengojek tersebut dulunya adalah pencari burung. Foto : L Darmawan

 

Isterinya, Sartenah, 38, kini tengah mengelola warung yang berada di jalan menuju Curug Jenggala. Sartenah merupakan satu dari 9 warga lainnya yang memiliki warung di kompleks wisata alam yang dikelola warga itu. “Lumayan lah untuk tambahan penghasilan warga. Saat ini, kalau saat liburan atau akhir pekan, saya mendapatkan hasil sekitar Rp150 ribu dengan jualan gorengan, teh dan kopi. Biasanya, para pengunjung melepas lelah karena harus berjalan dari Dusun Kalipagu ke sini. Setelah menikmati Curug Jenggala baru mampir di warung,”ujar dia.

Kisah pensiunnya pemburu burung juga dialami oleh Prapto, 43, yang kini jadi tukang ojek untuk mengantarkan para wisatawan yang akan ke Curug Jenggala. “Bagi yang tidak kuat jalan, saya siap mengantarkan. Ada setidaknya 17 orang tukang ojek yang siap mengantarkan ke Curug Jenggala. Murah, sekali berangkat hanya Rp10 ribu. Dengan menjadi tukang ojek, pada akhir pekan bisa mendapat Rp100 ribu. Tetapi kalau hari biasa, bisa mengantar 3-4 orang saja. Tetapi penghasilan seperti ini lebih pasti jika dibandingkan dengan mencari burung,”katanya.

Pensiunnya para pencari burung tersebut, kata Purnomo, Ketua LMDH Gempita, salah satunya karena ada wisata Curug Jenggala. “Dengan adanya wisata Curug Jenggala, warga yang sebelumnya menjadi pemburu burung kini sudah berubah profesinya. Memang, masih ada satu atau dua orang saja, namun sebagian besar mulai menggantungkan hidupnya pada wisata alam Curug Jenggala. Dulunya ada sekitar 20 warga yang menjadi pemburu burung,”ungkap Purnomo.

Warga begitu antusias saat LMDH Gempita mengelola Curug Jenggala, apalagi pengelolaannya dilakukan secara mandiri. Bahkan, dari awal membuka jalur menuju air terjun tersebut juga dilakukan penduduk secara mandiri. “Saat awal membuat jalan, sempat muncul kritik adanya penebangan pohon. Iya memang, ada penebangan pohon. Namun jenis yang ditebang adalah pohon kemadu. Hal itu dilakukan karena pohon tersebut membuat gatal dan membakar kulit,” katanya.

 

Ketua LMDH Gempita Desa Ketenger, Purnomo, yang menjadi inisiator warga untuk mengelola wisata alam Curug Jenggala, Baturraden, Banyumas. Foto : L Darmawan

 

Kritik tersebut diterima LMDH yang dipimpin Purnomo, dan mereka kemudian menanami berbagai macam pohon lainnya seperti nagasari, tembaga dan klengsar di sepanjang jalan menuju air terjun. Jumlahnya mencapai 500 pohon. “Tidak hanya itu, setiap hari Senin, warga Kalipagu membersihkan kawasan agar tetap bersih dari semak belukar,” kata Purnomo.

Dijelaskan oleh Purnomo, warga telah berkomitmen untuk menjaga lingkungan di sekitar dan menjadi pengawas jika terjadi penebangan kayu di hutan. Pasalnya, kalau lingkungan rusak yang terkena dampak adalah masyarakat sendiri. “Kalau lingkungan tidak dijaga, maka dampak awal yang ditimbulkan adalah mengeringnya mata air yang membuat air terjun Jenggala tersebut. Karena prasyarat dari mengalirnya air adalah lingkungan yang lestari. Maka komitmen masyarakat jelas, menjaga lingkungan,”tandasnya.

Menurutnya, dengan mengelola Curug Jenggala tersebut, maka pendapatan warga mengalami peningkatan. Ada yang menjadi pengelola, ada pula yang menjadi pedagang dan menyiapkan lahan rumahnya sebagai tempat parkir. “Kami hanya menarik retribusi senilai Rp5 ribu. Tarif sebesar itu untuk asuransi dan pembangian antara Perhutani dengan LMDH. Pembagiannya, 60% ke LMDH dan 40% lainnya ke Perhutani. Rincian dari 60% ke LMDH tersebut tidak seluruhnya masuk ke kelompok, melainkan masih dibagi-bagi lagi. Di antaranya untuk upah para pekerja dan pengelola, kas desa, bina lingkungan dan budaya, dana sosial, kas dan pengembangan. Pada Februari lalu, pemasukan dari Curug Jenggala mencapai Rp27 juta,”ujarnya.

 

Para pengunjung tengah berfoto dengan latar belakang Curug Jenggala, barat daya Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,