Soal Pegunungan Kendeng: Kajian Lingkungan Selesai, Berikut Pandangan Mereka

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sudah selesai. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  Siti Nurbaya Bakar, sudah menyerahkan dokumen KLHS Jawa Tengah, kepada Presiden Joko Widodo. Dokumen akan diumumkan dalam waktu dekat. Beragam kalangan menanggapi soal KLHS ini.

“Kami meminta Jokowi mendesak Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) membatalkan izin pembangunan pabrik semen di Rembang,” kata Siti Rahma Mary, pengacara publik YLBHI di Jakarta, Sabtu (1/4/17).

Hendro Sangkoyo, peneliti School of Democratic and Economics mengatakan, semua pihak sedang menunggu narasi KLHS. Tak ada sesuatu bisa terbaca kecuali pernyataan-pernyataan dari berbagai pihak dan seringkali tak selaras antara ucapan pemerintah pusat dan daerah.

Baca juga: Semen Kaki Jilid II, Warga Kendeng Menuntut Presiden Sikapi Kasus Rembang

Dalam konteks KLHS, Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tak cukup menjawab permasalahan. Masalah pertambangan dan pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, katanya,  harus dilihat menyeluruh. Meskipun sudah ada Amdal, pencemaran dan kerusakan bentang alam tak bisa dibatasi oleh batas administrasi maka KLHS sangat penting.

“KLHS tak seperti Amdal hanya fokus rencana investasi proyek, KLHK lebih luas.”

KLHS, katanya, untuk mengetahui daya dukung dan daya tampung lingkungan.  “Kalau 15 tahun ke depan terjadi hal merugikan akibat pembangunan pabrik semen di CAT Watuputih, siapa harus bertanggungjawab? Ini harus diperiksa hati-hati.”

Selain dampak lingkungan, katanya,  KLHS perlu melihat semua aspek di wilayah itu secara sistematis.  “Soal ingatan sosial masyarakat, missal tak bisa diukur dengan analisis teknis dan kuantitatif. Juga soal sejarah sosial mengapa masyarakat Sedulur Sikep tinggal disitu, hikayatnya dan lain-lain.”

Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang mengatakan, kata kunci dalam KLHS soal daya dukung dan daya tampung wilayah.

“Apakah kondisi daya dukung dan tampung Pulau Jawa terutama Jateng dapat menerima beberapa proyek lagi? Seperti investasi pertambangan dan pabrik semen? Kita mesti merefleksikan itu. KLHS harus bisa menjawab itu,” katanya.

Berdasarkan catatan Jatam, Indonesia ada 9.734 izin pertambahan mineral dan batubara, ditambah 300 blok konsesi minyak bumi dan gas. Di Jawa, ada 1.131 IUP, 55 izin tambang batugamping sudah beroperasi dan 171 izin tambang batugamping tahap eksplorasi. Pabrik semen di Jawa ada 21.

“Industri ekstraktif tak hanya mengkavling daratan, juga lautan. Belum lagi sektor kehutanan dan perkebunan. Catatan kita daya dukung dan daya tampung Jawa sudah melampaui batas. Ini kebangkrutan daya dukung dan tampung Jawa.”

Belum lagi, katanya, pembangunan pabrik semen, tak berdiri sendiri. “Pasti akan dibangun PLTU mendukung operasional pabrik. Dampak kerusakan lingkungan akan makin parah. Menghancurkan lahan pertanian, udara tercemar dan merusak sumber air warga. Dampak kerusakan akan berlipat ganda.”

“Apakah sudah dihitung di KLHS? Ini penting karena banyak pihak tergesa-gesa ingin KLHS selesai tanpa melihat permasalahan secara holistik.”

Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, harus dipastikan KLHS tak jadi alat menghalalkan operasi tambang dan pabrik semen. KLHS harus komprehensif mengkaji semua aspek. Tak hanya soal lingkungan, juga ekonomi, sosial sampai budaya masyarakat.

Pemerintah Jokowi,  katanya, sejak awal menjanjikan hak-hak sumber agraria pada petani, termasuk mendorong kedaulatan pangan. Ada target reforma agrarian 9 juta hektar. “Jika pembangunan pabrik semen lanjut, kontradiktif dengan komitmen Presiden.”

Baru-baru ini, Semen Indonesia menunjuk Sutiyoso, mantan Kepala Badan Intelejen Negara sebagai komisaris utama. Sobirin, Direktur Eksekutif Desantara mengingatkan, keberadaan Sutiyoso jangan memperburuk situasi. “Kita tak berharap cara lama terjadi dengan menurunkan tentara untuk mengamankan ini.”

 

Surat Menteri ESDM tak berguna

Sebelumnya, 24 Maret lalu Menteri ESDM Ignasius Jonan mengirim surat kepada Menteri LHK soal tak terdapat indikasi sungai bawah tanah di CAT Watuputih. Sebenarnya, sudah ini tak berlaku karena sudah selesai di pengadilan.

Sobirin mengatakan, perdebatan tentang CAT Watuputih sebagai Kawasan Bentang Alam Karst selesai dalam proses pengadilan dengan merujuk dua hal.

Pertama, pertanyaan tentang ada atau tidak sungai bawah tanah telah disajikan melalui bukti-bukti oleh masing-masing pihak di pengadilan.

Mahkamah Agung, dalam pertimbangannya menyebutkan penambangan sebagaimana tergambar dalam Amdal mengakibatkan dinding-dinding sungai bawah tanah runtuh.

Kedua, Amdal PT. Semen Indonesia tahun 2012 jelas mengakui ada sungai bawah tanah di tambang mereka.

“Jelas, putusan MA sudah berkekuatan hukum tetap yang tak bisa diperdebatkan lagi. Maka, seluruh keputusan pemerintah harus melihat putusan ini, termasuk hasil KLHS,” katanya.

Gunretno, Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) mengatakan, KESDM cenderung tergesa-gesa mengambil kesimpulan CAT Watuputih tak mengindikasikan KBAK. Keputusan ini, hanya berdasarkan data terbatas dan ala kadar.

Data-data CAT Watuputih, katanya,  sudah jadi penelitian para mahasiswa. Kesimpulan ini menunjukkan, pejabat Badan Geologi yang membidangi air tanah dan lingkungan, tak profesional. “Kami ingin Kepala Bidang Geologi bertanggung jawab dan mengevaluasi kesimpulan terkait CAT Watuputih,” katanya.

Menteri ESDM, katanya, harus mengutamakan sikap kehati-hatian dalam membuat pernyataan soal CAT Watuputih, mengingat status kawasan lindung geologi yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Hal ini, katanya, dipertegas Perda Rembang nNmor 14/2011 tentang RTRW Rembang 2011-2031. Juga Kepres 26/2011.

Pada 2014, Kepala Geologi sebelumnya, Surono sudah mengeluarkan surat Nomor 1855/40/BGL/2014 yag menjelaskan, CAT Watuputih bentang alam yang tersusun oleh batugamping bejal dan batugamping dolomitan.

 

Warga Kendeng, laki-laki dan perempuan sebanyak 11 orang menyemen kaki di depan Istana Negara Jakarta, protes PT Semen Indonesia di Rembang. Foto: Lusia Arumingtyas

 

Bahkan dalam hasil uji lacak jaringan hidrologi oleh tim penyusun Amdal Semen Indonesia di Watuputih, menunjukkan ada kaitan antara wilayah IUP batugamping dengan sumber mata air Brubulan berjarak empat kilometer sebelah tenggara.

Hasil pendataan tim JMPPK dan Semarang Caver Assosiation (SCA) menemukan, sedikitnya 154 titik mata air, 28 titik mulut goa dan 15 titik ponor (lubang resapan alami) di Watuputih. Terdapat dua titik mulut goa dan 18 titik ponor dalam IUP batugamping Semen Indonesia.

“Temuan-temuan ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut terutama terkait jaringan goa-goa dan hubungan tata hidrologi di Watuputih.”

Dalam PP Nomor 26/2008 tentang RTRW Nasional Pasal 60 mengatakan, goa dan BAK merupakan unsur-unsur sebagai kawasan lindung geologi dari sisi keunikan bentang alam. “Watuputih belum jadi KBAK seharusnya tak menggugurkan CAT yang harus dilindungi.”

Hasil penelitian LIPI dan KLHK pada 2014, katanya, menyatakan Watuputih merupakan ekosistem karst yang berfungsi lingkungan tinggi hingga pemanfaatan harus hati-hati. Temuan LIPI menunjukkan,  Goa Jagung dan Goa Joglo terdapat tiga jenis kelelawar pemakan serangga seperti Minioterus autralis (240), Rhinolopus pusillus (400) dan Hipposideros larvatus (90). Di Goa Temu ada ribuan kelelawar Miniopterus sp.

 

Rentan bencana

Jawa, memiliki luasan karst paling kecil, 529.290 hektar dari 15,4 juta hektar dari karst Indonesia. Bentang alam karst memiliki fungsi hidrologi yang mengontrol sistem ekologi kawasan. Permukaan bukit karst berperan sebagai penyimpan utama air. “Jika merujuk luasan karst, Jawa telah mendapatkan beban sangat berat karena populasi terbesar tinggal di Jawa,” kata Sobirin.

Saat ini, katanya, Jawa dalam tekanan dan ancaman bencana luar biasa. Semua provinsi di Jawa,  mempunyai indeks rawan bencana banjir, longsor, dan kekeringan tinggi.

Berdasarkan catatan, 80% kabupaten/kota di Jawa mempunyai risiko banjir tinggi dan 93% punya risiko kekeringan tinggi. Kondisi hutan di Jawa,  berada pada titik kritis hingga perlu perhatian serius.

Luasan hutan Jawa,  hanya 3,38% luasan Indonesia, 85,37% dikelola Perum Perhutani dan kerap jadi sarana tukar guling dengan proyek ekstraktif seperti tambang dan pabrik semen.

Tutupan hutan Jawa makin berkurang. Pada 2000,  luas hutan Jawa masih 2,2 juta hektar, tinggal 800.000 hektar pada 2009. Sebanyak 123 titik DAS dan sub-DAS di Jawa terganggu karena degradasi dan deforestasi hutan.

“Jika ini terus berlangsung, 10,7 juta hektar DAS dan sub-DAS di Jawa akan makin terancam. Belum lagi tekanan marak pertambangan batu gamping dan pabrik semen terhadap karst, baik ilegal maupun legal. Tambang gamping dan pabrik semen akan memperburuk kualitas lingkungan Jawa.”

Data Walhi 2015 menunjukkan, ada 1.071 desa terkena bencana seperti banjir, tanah longsor dan rob. Korban bencana ekologi terbesar di Jateng, 152 orang. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat selama 2016 terjadi 766 banjir, 612 longsor, 74 kombinasi banjir dan longsor, 178 kebakaran hutan dan lahan, 23 gelombang pasang dan abrasi dengan kejadian terbanyak di Jateng (334 kejadian). Lebih setengah bencana alam adalah banjir dan tanah longsor.

Sulistyowati Irianto, pakar antropologi hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan, pemerintah harus melihat persoalan Kendeng dengan kejujuran akademik yang komprehensif. Dengan begitu, bisa melihat gambaran utuh dalam memutuskan persoalan.

“Harus bisa melihat isu dari sisi manusia, pengetahuan dan budaya. Seharusnya, kita belajar dari kawan-kawan yang menyemen kaki di depan Istana Negara. Ini mengajarkan kita hubungan antara manusia dengan alam semesta dan ruang hidup. Mereka berjuang memastikan ruang hidup terjaga untuk masa depan.”

Pemerintah,  katanya, harus belajar dari pengalaman negara-negara lain yang sudah melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat lokal/adat seperti Kanada, Jepang dan lain-lain.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,