Masyarakat Adat Taliabu, dari Ketertinggalan hingga Ancaman Tambang

David Toby atau Dahang umurnya telah uzur, sekitar 60 tahunan. Wajahnya tenang sebagaimana bicaranya yang tenang dan pelan. Di kampungnya, Desa Talo, Kecamatan Taliabu Barat, Kabupaten Pulau Taliabu, Maluku Utara, ia dikenal sebagai ‘tuan tanah’, karena perannya sebagai pemangku adat Taliabu yang menguasai sebagian besar tanah di kawasan tersebut.

Dahang, sebagaimana umumnya penduduk asli Taliabu adalah orang yang ramah dan pemurah kepada pendatang. Ketika gelombang pendatang mulai berdatangan dari berbagai daerah di Sulawesi, mereka menerima dengan tangan terbuka. Tanah-tanah dibagikan secara percuma atau dengan pertukaran yang sangat sedikit nilainya.

Ketika pemerintah daerah terpaksa menggusur beberapa kepala keluarga dari sebuah kawasan yang akan dijadikan sebagai bandara, Dahang dengan murah hati memberikan tanahnya untuk korban penggusuran, yang umumnya pendatang.

Bagi Dahang, para pendatang bukanlah musuh yang harus diperangi selama datang dengan tujuan damai dan mencari penghidupan baru di tempat itu. Dari para pendatang ini, di masa lalu, orang-orang Taliabu yang umumnya petani dan nelayan subsisten belajar tentang pertanian dan penangkapan ikan secara modern.

“Dulu kami itu hanyalah petani yang tinggal di gunung-gunung, bertani kelapa, jagung, ubi dan sagu. Sagu dulunya memang makanan pokok. Lalu kami belajar juga tentang perikanan laut. Sekarang orang-orang Taliabu juga sudah banyak yang jadi nelayan,” katanya kepada Mongabay, pertengahan Februari 2017 lalu.

 

 

Di Desa Talo sendiri, jumlah penduduk asli hanya sekitar 100-an warga dan total sekitar 400 jiwa penduduk desa itu. Rumah-rumah sebagian besar adalah bangunan sederhana, jalanan utama baru saja selesai dibangun. Ketika saya datang, mereka sedang membangun jalan desa sepanjang 100 meter, yang dikerja secara gotong royong.

Menurut Dahang, penduduk asli Taliabu bisa ditemukan seluruh kecamatan di Pulau Taliabu, namun sebagian besar kini menetap di bagian utara. Di bagian utara ini bahkan penduduk asli masih hidup dengan tradisi yang kuat dengan pola hidup yang masih sangat tradisional. Berbeda di bagian selatan dan barat, yang sudah lebih modern berbaur dengan kehidupan kota, karena jaraknya yang tak begitu jauh dari kota.

“Di sini sudah banyak berubah. Ada yang menikah dengan pendatang dan ikut agama mereka. Di sini malah sudah banyak generasi muda yang tidak paham dengan budaya sendiri, bahkan banyak yang tak menguasai lagi bahasa Taliabu asli kecuali hanya sedikit. Mungkin karena dari kecil mereka sudah diajarkan bahasa Indonesia,” katanya.

Penduduk asli Taliabu sendiri, sebagaimana Dahang, sebagian besar beragama Protestan. Hanya sebagian kecil  beragama Islam dan Katolik, yang biasanya berpindah agama karena perkawinan. Salah satu anak Dahang bahkan beragama Islam karena ikut dengan agama suaminya yang berasal dari Sulawesi. Dahang tidak begitu mempermasalahkan dan mempersilahkan anak-anaknya memilih keyakinan masing-masing.

Menurut Dahang, sebelum masuknya agama, masyarakat Taliabu memiliki kepercayaan kepada Tuhan yang disebut “Jou”. Mereka memberi sesajian di pohon-pohon, batu-batu dan tempat-tempat lain yang dianggap keramat. Ketika agama mulai masuk, sejumlah ritual kepercayaan terdahulu masih dilakukan, termasuk membawa  berbagai jenis makanan berupa nasi  beragam warna, telur, pisang, sirih dan pinang ke pohon-pohon keramat.

“Kalau di sini nama sesajennya adalah basanaho. Sering juga disajikan kalau baru saja membuka lahan kebun baru,” jelasnya.

 

Sebagai daerah yang baru dimekarkan, Kabupaten Pulau Taliabu, Maluku Utara, terus menggenjot pembangunan infrastruktur dan mempermudah masuknya berbagai investasi tambang. Salah satu dampaknya pada pembukaan lahan secara besar-besaran, termasuk merombak wilayah catchment area di sempadan sungai. Foto: Wahyu Chandra

 

Hidup dalam Ketertinggalan

Kabupaten Pulau Taliabu yang terbentuk pada tahun 2013, setelah resmi memisahkan diri dari Kabupaten Kepulauan Sula sebagai Kabupaten induk didiami oleh sekitar 58.471 jiwa. Penduduknya terdiri dari beragam etnis, seperti Buton, Bugis, Makassar, Manado, Sangir, dan orang Taliabu sendiri.

Penduduk asli Taliabu terdiri dari empat sub etnik, antara lain Mange, Siboyo, Kadai, dan Panto. Dikelompokkan berdasarkan bahasa, wilayah bermukim, orientasi mata pencaharian, dan berbagai karakter lainnya.

Menurut Andi Sumar Karman, antropolog dari Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, masyarakat asli Taliabu umumnya petani pedesaan yang secara sosial ekonomi kehidupan mereka sangat jauh tertinggal dari pendatang.Mereka masih merupakan warga yang marginal.

“Para pendatang dengan kesiapan yang lebih baik, mampu memanfaatkan peluang ekonomi yang tercipta, menjadikan jarak kemajuan para pendatang dengan orang Taliabu semakin melebar. Ini dapat menciptakan kondisi sosial yang tidak kondusif di waktu mendatang,” ungkapnya.

Kehidupan ekonomi orang Taliabu bertumpu pada kegiatan disektor pertanian, namun masih bercorak tradisional, sehingga produktivitasnya menjadi terbatas.

“Pengolahan hasil pertanian belum dilakukan, menjadikan komoditas yang dihasilkan hanya dalam bentuk bahan mentah. Sistem pemasaran yang masih terbatas, menjadikan nilai tambah yang dihasilkan sangatlah kecil. Kondisi seperti inimenjadikan orang Taliabu belum menikmati nilai tambah yang sangat berarti dari komoditas yang dihasilkan.”

 

Seorang nelayan di Kabupaten Pulau Taliabu di Provinsi Maluku Utara dengan kapal tanpa motor. Sebagian besar kapal nelayan masih merupakan kapal tanpa motor atau sampan, dan sebagian berupa katinting. Potensi perikanan di Kabupaten Taliabu Maluku Utara belum tergarap dengan baik karena minimnya fasilitas tangkap dan pasca produksi. Foto : Wahyu Chandra

 

Pada sisi lain, menurutnya, jikadilihat dari pranata ekonomi yang ada, telah terjadi beberapa perkembangan yang baik. Pranata kepemilikan tanah telah berkembang dengan adanya pengakuan terhadap kepemilikan tanah secara individu, selain kepemilikan kelompok dan adat. Pranata ketenagakerjaan juga telah mengalami diferensiasi menjadi pekerja kerabat, kolektif dan upahan.

“Perkembangan lanjutan dari kepemilikan lahan individu dan pekerja upahan, dapat mendorong utilisasi lahan dan tenaga kerja secara ekonomis, yang berdampak pada peningkatan nilai tambah atau penghasilan mereka,” tambahnya.

Dengan segala kondisi ini, Andi Sumar melihat perlunya segera dipikirkan, bagaimana membawa masyarakat Taliabu keluar dari rantai kemiskinan sehingga dapat tumbuh dan berkembang dan bersaing secara wajar dengan pendatang.

“Secara individual, mereka memiliki pendidikan yang terbatas, dan kurang mendapatkan layanan kesehatan yang memadai, menjadikan mereka tidak produktif. Diluar keterbatasan individual, mereka juga menghadapi keterbatasan yang bersifat kolektif, yaitu terbatasnya infrastruktur ekonomi, transportasi, serta infrastruktur sosial, politik dan budaya lainnya. Ini yang harus menjadi perhatian ke depannya.”

 

Ancaman Tambang

Menurut Laporan Akhir Tahun WALHI Maluku Utara tahun 2016, tambang telah menjadi salah satu masalah di Taliabu, tidak hanya pada terampasnya lahan masyarakat adat, tapi juga rusaknya lingkungan yang ada di sekitar.

Izin pertambangan yang telah diterbitkan tercatat sebanyak 67 IUP yang sebagian besar bermasalah. Total luasan konsesi IPPKH tersebut telah melampaui luas daratan Taliabu yang berkisar 7.381, 03 Km².

Salah satu perusahaan yang cukup dominan penguasaannya adalah PT. Adidaya Tangguh, anak perusahaan Salim Group, mengantongi 5 (lima) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan yang terbagi di 5 unit blok berlokasi di Kepulauan Sula dan Pulau Taliabu dengan total luasan mencapai 4.465,95 hektar.

Perusahaan ini mulai melakukan land clearing pada kawasan hutan dan lahan warga beberapa desa di Kecamatan Lede, Pulau Taliabu, Maluku Utara sejak 2009, dengan mengantongi Surat Keputusan Pemerintah Provinsi Maluku Utara Nomor 01-04/IUP-OP/DEPKS/2009.

 

Pantai Gong di Pulau Taliabu, Maluku Utara, masih sangat alami, yang di kala surut banyak ditemukan ikan-ikan di sekitar pesisir pantai. Tidak hanya untuk wisata, warga pun kadang menjadikan tempat itu sebagai tem[at menyimpan bubu, alat tangkap ikan. Foto: Wahyu Chandra

 

Salah satu dampak dari aktivitas perusahaan ini adalah pada saat pembukaan lahan,yang merombak wilayah catchment area di sempadan sungai.

“Sumber mata air seperti Sungai Fango dan Sungai Samada serta Sungai Wake yang kini tersedimentasi dari endapan lumpur merah. Intensitas hujan pada tiga bulan terakhir 2016 mengakibatkan luapan air sungai tersebut mengakibatkan banjir sampai merusak tanaman produktif warga,”ungkap Ismet Soeleman, Direktur Eksekutif WALHI Maluku Utara.

Dampak luapan banjir Sungai Samada di Desa Padang Kecamatan Taliabu Utara yang merusak tanaman perkebunan masyarakat setempat memang telah dianalisis oleh tim Andal PT. Indomega Dirgantara, salah satu IUP yang juga mengeskplorasi biji besi dengan konsesi yang mencangkup wilayah Taliabu Barat dan Taliabu Utara.

Perusahaan ini juga dinilai tidak melakukan konsultasi publik sebagaimana mestinya, membatasi akses peladang terhadap lahan garapanya dan menggusur kebun-kebun produktif masyarakat yang merupakan sektor andalan dan tumpuan ekonomi.

“Selaku pemegang IPPKH, PT. Adidaya tangguh meloncati aturan karena telah melakukan kegiatan land clearing sebelum membereskan tata batas kawasannya,merusak fungsi area resapan air hingga mengakibatkan luapan Sungai Samada yang menyebabkan rusaknya tanaman komoditi andalan masyarakat tempatan,” ungkapnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,