Kenapa Luhut Pandjaitan Masih Enggan Beberkan Hasil Kajian Komite Gabungan Reklamasi?

Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan kembali dituding tidak mau membeberkan hasil kajian Komite Gabungan Reklamasi Teluk Jakarta yang sudah dilakukan dengan melibatkan banyak instansi. Tudingan itu muncul, setelah persidangan lanjutan gugatan iniformasi publik yang diajukan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) digelar di Komisi Informasi Pusat RI,  Jakarta, Senin (03/04/2017).

Dalam sidang tersebut, terungkap bahwa Luhut memberikan keterangan dengan memberi kuasa kepada wakilnya. Akan tetapi, KSTJ yang diwakili Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), mengaku kecewa dengan keterangan yang dibeberkan oleh perwakilan Luhut, karena dia menyatakan bahwa kajian yang dilakukan oleh komite itu hanya berbentuk presentasi saja.

“Menko Maritim Luhut Pandjaitan kembali mangkir tidak membuka dan menyembunyikan hasil kajian Komite Gabungan Reklamasi Teluk Jakarta,” ucap perwakilan ICEL, Rayhan Dudayev.

Menurut Rayhan, dari keterangan yang diucapkan perwakilan Luhut, disebutkan bahwa kajian berbentuk presentasi tersebut adalah berisikan rekomendasi singkat terkait reklamasi yang dilakukan di Teluk Jakarta. Dalam presentasi tersebut, tidak dipaparkan kajian komprehensif sebagai dasar pernyataan di berbagai media.

“Kajian komite gabungan reklamasi Teluk Jakarta penting untuk diketahui supaya publik dapat membandingkan hasil kajian tersebut, apakah dibuat secara objektif dan sesuai dengan kaidah kajian yang ada,” jelas dia.

 

 

Oleh itu, Rayhan mengatakan, dia dan tim KSTJ kini mempertanyakan tentang sikap Kemenkomar yang seolah menyembunyikan fakta yang sudah ada. Hal itu, menunjukkan ada sesuatu permasalahan dalam pelaksanaan kajijan di lapangan.

“Sekali lagi, Ini menujukkan tidak ada dasar yang kuat dari Menko Luhut untuk melanjutkan proyek reklamasi dan bertindak sewenang-senang,” kata dia.

Dukungan atas sikap ICEL juga diungkapkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang selama ini fokus ikut berjuang bersama KSTJ. Menurut perwakilan LBH Jakarta, Nelson, Luhut memperlihatkan sikap yang inkonsisten dengan keluarnya pernyataan dalam persidangan Senin kemarin.

“Menko Maritim tidak konsisten dalam ucapannya yang menyatakan reklamasi dapat dijalankan berdasarkan kajian yang telah dilakukan,” tutur dia.

Nelson menyebut, jika memang reklamasi bisa berjalan dengan berdasar pada kajian yang telah dilakukan, seharusnya Luhut dapat mempublikasikan kajiannya untuk membuktikan pernyataannya itu.

“Ini merupakan preseden buruk terhadap hak publik terhadap informasi atas pembangunan yang berdampak bagi orang banyak,” tambah dia.

Sementara itu, Ketua Bidang Hukum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata menjelaskan, dari proses persidangan yang terus berlangsung hingga sekarang, publik bisa memahami bagaimana pembangunan di Teluk Jakarta sebenarnya.

Menurut Marthin, pembangunan yang berdampak bagi puluhan ribu masyarakat itu, tidak dilakukan dengan profesional. Terbukti, kata dia, Kemenko Maritim sampai saat ini tidak menunjukkan kajian komprehensif terkait aspek sosial, lingkungan, dan hukum dari proyek Reklamasi Teluk Jakarta.

 

Reklamasi Teluk Jakarta. Foto: KLHK

 

Sidang Sebelumnya Luhut Juga Bungkam

Sebelum persidangan kemarin, Luhut juga melakukan aksi serupa pada persidangan yang berlangsung pada Senin (06/03/2017). Saat itu, Luhut juga tidak mau membuka hasil kajian Komite Gabungan Reklamasi Teluk Jakarta.

Akibatnya, saat itu KSTJ juga langsung menyatakan sikapnya dengan menyebut Luhut Binsar Pandjaitan melakukan kebohongan publik atas sikapnya tidak mau membeberkan apa yang sudah menjadi hasil kajian.

Dalam sidang tersebut, Luhut diketahui hanya memberikan dokumen dalam powerpoint yang sebelumnya diberikan tetapi tidak memenuhi permohonan informasi yang diajukan. Karena itu, Luhut dinilai telah melakukan kebohongan, mengingat dokumen tersebut sebelumnya sudah pernah diberikan juga.

ICEL yang hadir mewakili KSTJ, membeberkan fakta dalam persidangan, Luhut yang datang dengan perwakilannya, enggan untuk membuka hasil kajian dan terlihat menutup-nutupinya dengan berbagai cara.

“Itu menunjukkan ada sikap yang inkonsisten terkait reklamasi Teluk Jakarta yang diperlihatkan Luhut. Ini merupakan preseden buruk hak atas informasi sebagai bagian dari hak atas lingkungan,” ungkap Rayhan Dudayev, dari ICEL.

Lebih lanjut dia menjelaskan, dalam persidangan tersebut, wakil dari Menko Maritim hanya menyebut bahwa ada rekomendasi tentang reklamasi Teluk Jakarta, tanpa menyebut ada hasil kajian tentang itu.

Karena itu, menurut Rayhan, sikap yang diperlihatkan Menko Maritim tersebut menunjukkan ada dasar yang tidak kuat berkaitan dengan keinginan mereka untuk melanjutkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Dan bahkan, jika itu terus dilaksanakan, maka itu adalah tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Menko Maritim.

 

Sejumlah nelayan menyegel Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Mereka menyegel pulau buatan tersebut karena menolak reklamasi Teluk Jakarta yang merugikan mereka, Foto : Sapariah Saturi

 

“Sebelumnya, Menko Maritim sudah berjanji akan membuka hasil kajian dari proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Namun, janji itu tidak ditepati dan justru itu semakin memperlihatkan bahwa Menko Luhut berupaya untuk membuat publik semakin bingung dengan sikap Pemerintah,” jelas dia.

Kredibilitas Pemerintah dipertanyakan dalam penyelesaian kasus reklamasi di Teluk Jakarta. Tidak seharusnya reklamasi dilanjutkan pembangunannya, sementara proses hukumnya masih terus berjalan. Jalan paling aman, seharusnya Pemerintah menunda reklamasi sampai ketetapan hukumnya jelas.

 

Izin Pembangunan 3 Pulau Dibatalkan

Dalam persidangan berbeda di PengadilanTata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, KSTJ dan nelayan mendapatkan hadiah berupa pengabulan gugatan yang diajukan mereka atas reklamasi di tiga pulau, yakni Pulau F, I, dan K.

Menurut Martin Hadiwinata, keputusan majelis hakum dalam tiga persidangan tersebut mengabulkan gugatan, didasarkan pada beberapa poin alasan cacat prosedur.

Adapun, kata Marthin, beberapa poin tersebut, adalah:

Pertama, Ijin reklamasi diterbitkan secara diam-diam oleh tergugat. Keberadaan baru diketahui para penggugat sejak tanggal 10 Desember 2015. Padahal itu ditandatangani sejak Oktober dan November 2015.

Kedua, Reklamasi akan menimbulkan kerugian yang lebih besar terhadap ekosistem Teluk Jakarta. Akibat rusaknya pola arus laut dan jaringan sosial ekonomi dari nelayan tradisional yang ada di pesisir Jakarta;

Ketiga, Gubernur tidak mendasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur dan terkait erat a.l.: Undang-Undang Pesisir hingga UU Kelautan.

Keempat, Gubernur tidak mendasarkan pada Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Perda RZWP3K) yang menjadi pengaturan pemanfaatan sumber daya pesisir;

Kelima, Tidak melakukan proses konsultasi publik dengan benar dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Itu terbukti dengan tidak ada keikutsertaan perwakilan masyarakat dalam penyusunan AMDAL. GUBERNUR melanggar Pasal 30 UU 32/2009 LH yang mengatur partisipasi dalam kebijakan lingkungan.

Keenam, Izin Lingkungan cacat prosedur karena diterbitkan diam-diam dan tidak ada melakukan pengumuman kepada masyarakat.

 

Pembangunan yang sedang dilakukan di Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Pemerintah akhirnya memutuskan menunda reklamasi Teluk Jakarta setelah ditemukan berbagai pelanggaran aturan dan hukum. Foto : Sapariah Saturi

 

Ketujuh, Cacat substansi, cacat prosedur serta melanggar asas ketelitian dan asas umum pemerintahan yang baik.

Kedelapan, Reklamasi tidak ditujukan untuk kepentingan umum sehingga tidak dapat dilanjutkan sampai keputusan berkekuatan hukum tetap.

Kesembilan, Harus diterapkan prinsip kehati-hatian pada objek TUN dimana terjadi ketidakpastian ilmiah maka haruslah berpihak kepada perlindungan lingkungan hidup (in dubio pro natura).

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,