Begini Kunci Mencegah Penyakit Bersumber Hewan

Zoonosis atau penyakit yang ditularkan hewan ke manusia terus muncul. Antrax, pes, flu burung, leptospirosis. Misalnya di Bali, rabies masih menjadi mimpi buruk karena kasus pada hewan dan menusia menyebabkan kematian sejak 2009 sampai sekarang.  Sampai muncul fobia pada anjing Bali yang dicap buruk penyebar penyakit.

Virus rabies menginfeksi sistem saraf pusat hewan berdarah panas seperti anjing, kucing, kelelawar, dan lainnya. Sebagian besar penularan rabies terjadi melalui gigitan anjing yang terinfeksi. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan ditularkan melalui gigitan atau jilatan.

Kasus zoonosis lainnya di Bali saat ini adalah Meningitis stroptooccus suis sejauh ini ditemukan menular dari babi ke manusia. Selain peradangan otak, bakteri ini juga dapat menyebabkan peradangan pada jantung dan sel darah.

Cara penularannya melalui makanan dan luka lecet saat mengolah atau memasak daging babi yang terinfeksi. Juga bagian yang masih mentah darah segar, usus, jeroan lainnya.

 

 

Berkaca dari rabies yang masih terus dikendalikan, sebuah symposium internasional bertajuk Studies on Bali Dog: Genetics, Culture, Diseases, Zoonoses, and Community Health merekomendasikan salah satu strategi penting adalah mengubah perilaku manusia dalam mengurus binatang. Jika hewan sehat atau binatang peliharaan diurus dengan baik, zoonosis akan mereda.

Simposium ini dilaksanakan Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Program Kesehatan Masyarakat, International Fund for Animal Welfare (IFAW), dan Bali Animal Welfare Association (BAWA) di kampus Universitas Udayana Denpasar, 30-31 Maret 2017.

Berikut sejumlah fakta dan usulan yang disampaikan sejumlah peneliti dan penyayang anjing untuk mencegah rabies sekaligus melestarikan trah hewan lokal. Strategi ini juga bisa diimplementasikan untuk epidemi penyakit berbasis hewan peliharaan lainnya.

 

Perubahan perilaku

Tak mudah mengubah perilaku walau memiliki pengetahuan. Mengetahui sesuatu belum tentu mau melakukannya. Kate Natrass Atema dari International Fund for Animal Welfare memaparkan teori perubahan menurut rare.org. Prinsipnya partisipasi, pembelajaran, dan aksi.

Permasalahannya adalah rabies dan kesehatan hewan buruk. Tapi manusia makin takut dengan anjing, menelantarkannya, bukannya memperbaiki sumber penyebaran penyakit.

 

Anjing menjadi bagian dari hidup warga Bali. Tetapi populasi anjing di Bali sudah berlebihan, salah satunya karena warga Bali yang tidak disiplin dan peduli. Foto: Anton Muhajir

 

Rumusnya seperti ini. Pengetahuan ditambah perilaku, komunikasi interpersonal, dan menghapus hambatan. Hasilnya perubahan perilaku dan mengurangi ancaman penyakit. Apa yang bisa membuat manusia melakukan sesuatu? “Meyakini itu penting, ada orang-orang yang membicarakan, dan mengurangi rintangan,” seru Kate.

Daripada memikirkan tingkah laku hewan, lebih baik melihat tingkah laku manusia dulu. Penyakit dari hewan muncul dan menularkan manusia penyebabnya dari bagaimana manusia memperlakukan binatang tersebut.

 

Kader pemberdayaan masyarakat

Untuk epidemi yang berusia panjang, penanggulangan jangka panjang menjadi fokus. Program Darma dinilai sebagai pilot project yang cukup berhasil mengubah perilaku pemilik anjing di Bali untuk lebih peduli pada peliharaannya termasuk pencegahan peyakit rabies. Penyakit yang menyebabkan kematian pada hewan dan manusia ini dan masih ditemukan kasusnya sejak merebak pada 2008.

Melalui program Darma pada 2016 oleh Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Udayana (Unud) penanganan rabies dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan untuk pemilik anjing agar lebih peduli dengan binatang peliharaannya.

 

Anak Agung Dewi Laina Pertiwi (12 thn) memeluk salah satu anjing yang dia selamatkan dan dirawat di rumahnya di Desa Mas, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir

 

“Ini penanggulangan rabies berbasis desa, jika hanya berbasis hewan saja bukan manusia tak akan berhasil,” ujar Ida Bagus Ngurah Swacita dari FKH Unud tentang program Dharma. Dilakukan dengan cara membentuk kader-kader desa yang didampingi dokter hewan dan berperan aktif dalam pemetaan baseline populasi anjing serta kampanye perubahan perilaku pemeliharaan. Sebagai pilot project, Dharma dilaksanakan di Desa Sanur Kaja, salah satu desa yang pernah terpapar kasus rabies.

Kader desa melakukan sensus anjing dari rumah ke rumah, edukasi cara memelihara anjing, dan intervensi pasca program sebagai monitoring dan evaluasi. Program ini juga menyediakan fasilitas kesehatan bagi kader seperti vaksi anti rabies (VAR) sebagai pre exposure mencegah infeksi sebagai perlindungan diri. Juga fasilitas kesehatan bagi anjing seperti vaksin rabies, sterilisasi, dan basic health care.

Hasilnya, tercatat populasi anjing di Desa Sanur Kaja saja sebanyak 888 ekor pada Juli 2016, kemudian turun menjadi 723 ekor pada Maret 2017.  Anjing tak berpemilik dari 35% menjadi 33%. Cakupan vaksinasi meningkat dari 61% menjadi 81%. “Standar vaksinasi anjing untuk penanggulangan rabies minimal 70%, tapi ini sulit diukur karena tidak tahu persis populasi anjing di Bali,” jelas Swacita.

Permintaan sterilisasi meningkat dari 14 menjadi 16%. Tidak semua bisa dikastrasi agar anjing lokal tak punah. Dalam konteks pemeliharaan anjing juga dinilai ada perubahan perilaku. Jumlah anjing yang berkeliaran atau diliarkan dari 24% menjadi 9%. Anjing diikat dari 14% menjadi 11%, dikandangkan 23% menjadi 20%, dan anjing lebih betah di dalam rumah dari 8% menjadi 47%.

“Pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan animal welfare juga melindungi manusia dari zoonosis,” kata Swacita.

 

Program vaksinasi dilakukan rutin menargetkan 70% populasi anjing di Bali untuk mencegah penularan zoonosis ini. Foto: Luh De Suriyani

 

Fasilitas kesehatan dan vaksin

Zoonosis dengan mudah berujung kematian jika terlambat mendapat penanganan. Sejumlah fasilitas kesehatan khusus dibangun misalnya ruang penanganan flu burung dan rabies. Pasien positif rabies mengalami gejala yang mirip dengan hewan terpapar. Hipersaliva atau mengelurkan liur berlebih, agresif, dan takut cahaya. Jadilah ruangan perawatan didesain untuk mengatasi gejala ini.

Selain itu ketersediaan vaksin bagi hewan dan manusia menjadi hal penting. Orang yang digigit hewan penular rabies seperti anjing dan kucing diminta mencari vaksin anti rabies (VAR) dan harus mendapat suntikan minimal 3 dalam periode waktu tertentu. Serum anti rabies (SAR) diperlukan jika luka gigitan dekat dengan otak seperti wajah dan leher.

 

Mencegah kepunahan hewan lokal

Anjing Bali disebut memiliki keragaman kekayaan genetik, sebagai anjing pribumi atau anjing proto yang awalnya menyerupai serigala. Diperkirakan sudah ada 5 ribu tahun lalu. Pelestariannya bisa melanjutkan penelitian tentang gen anjing di dunia.  Anjing Bali dikhawatirkan punah seperti harimau Bali sekitar 1947.

Kepemilikan anjing-anjing ras terus meningkat menggantikan anjing lokal. Ini diyakini sebagai pertanda ancaman kepunahan dan berdampak kesulitan menjawab ancaman zoonosis di masa depan.

Kebudayaan memberikan jejak bagaimana hewan lokal dihargai. Misalnya kisah Mahabrata dalam satu bagiannya menyeritakan Yudistira yang bernagkat ke surga ditemani anjingnya. Dewa Indra menguji kesetiaan Yudistira dengan melarang anjingnya masuk pintu surga. Yudistira menolak dan memilik tak masuk surga. Anjing berubah menjadi Dewa Darma yang menguji kesetiaannya pada binatang.

Para pecinta anjing dan kucing yang mengikuti kegiatan Fun Dog Festival yang diadakan oleh Dog Lovers Tomohon (DLT) di Kota Tomohon, Sulut, pada Sabtu (10/12/2016). Foto : Themmy Doaly

 

Kelompok pecinta binatang

Komunitas penghobi menjadi medium anggotanya menemukan cara terbaik mengatasi masalah. I Gusti Ngurah Surya Anaya, dokter hewan dan master of public health ini mengampanyekan Sekehe Asu Bali Utama (SABU). Sebuah komunitas penyayang anjing Bali yang berbasis banjar, sebuah komunitas adat terkecil dan berada di bawah desa adat.

“Ada banyak sekehe (komunitas hobi) di desa seperti sekehe gong, teruna teruni (pemuda), dan sekehe subak (irigasi tradisional), kenapa tidak sekehe asu (anjing)?” urai Surya, yang akrab dipanggil Dogi karena saking sayangnya pada anjing ini.

Dogi kehilangan Roxanne, anjing lokal betina yang diracun. Ia tak ingin melawan dengan kemarahan atau kebrutalan tapi memilih jalan humanis. Membentuk sekehe yang mendorong pemilik anjing lebih sayang agar bebas penyakit dan masyarakat tak phobia anjing akibat rabies.

Sekehe ini dari 3 anggota kini berkembang menjadi 46 anggota. Bekerja sama dengan BAWA dan IFAW, sekehe ini mengikis phobia anjing terutama anjing Bali karena distigma kotor dan tak sehat. Misalnya dengan pemeriksaan kesehatan rutin dan vaksinasi sejumlah penyakit.

Tantangan yang masih dihadapi, diantaranya membangun kegiatan yang membuat dinamika kelompok agar tak jenuh. Juga promosi anjing betina agar tak dibuang atau ditelantarkan karena cap buruk menyulitkan pengurusan karena mudah beranak pinak. Kebiasaan buruk membuang anak anjing betina kadang masih mudah ditemukan di Bali. “Padahal anjing betina lebih sensitive sehingga pintar jaga rumah dan setia,” tukas Dogi mengingat anjing-anjing betinanya.

Ancaman lain adalah eliminasi anjing yang diliarkan selain vaksinasi dalam program penanggulangan rabies. Sejumlah peneliti dan praktisi perlindungan hewan menyebut eliminasi tidak menyelesaikan masalah malah mengancam kelestarian anjing lokal.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,