Merawat Bumi dengan Pakaian Ramah Lingkungan

 

 

Kulit bawang beserta kulit dan biji alpukat, bagi kebanyakan orang dianggap sampah belaka. Namun tidak, bagi Nidiya Kusmaya. Berkat kulit bawang dan aneka kulit, biji, dedaunan, dan sayur mayur yang ia peroleh—Nidi bisa menghasilkan warna-warna menarik untuk karyanya. Ia terapkan aneka warna dari sampah itu pada karya seni dengan medium tekstil.

Eksplorasi Nidi berawal dari tugas kuliah pewarnaan alam di Program Studi Kria, Fakultas Seni Rupa Dasar, Institut Teknologi Bandung. “Saat itu, saya cari bahan apa, saya lihat di pasar kok banyak kulit bawang merah. Lalu saya coba pakai itu sebagai bahan pewarna,” ujarnya kepada Mongabay, usai diskusi Sustainable, is Doable? di Goethe Institut, Sabtu, pekan lalu.

Dia pun bereksplorasi dengan sampah-sampah di sekelilingnya, mulai dari kantin penjual jus dan pasar di Kota Bandung. Makin lama, para pedagang makin senang hati memberikan sampah mereka. “Ambil saja,” ujar Nidi menirukan para pedagang.

Tak hanya karena iseng dan kebetulan mengerjakan tugas, Nidi rupanya punya pengalaman menarik ketika menggunakan pewarna kimia. Pernah suatu ketika, ia membuang bahan eksperimennya sembarangan. Akibatnya, tanaman dalam pot ibunya dan ikan-ikan di kolam mati. “Dari situ saya berpikir, mengapa tidak menggunakan bahan alam saja. Di negara kita sangat kaya dan aman untuk lingkungan,” ujar seniman Old Tjikko ini.

Pernah, Nidi mengikuti residensi untuk seniman di Islandia, yang membuatnya kebingunan mencari bahan pewarna alam. Tak hilang akal, dia mencoba buah-buahan dan sayuran sisa. Beberapa teman dan warga dengan senang hati memberikan sampah mereka. “Mereka senang mengetahui hasil warna dari makanan yang diberikan. Saat menguras kulkas adalah waktu menyenangkan untuk mendapat bahan pewarna.”

Pengalaman Nidi ini dibagikan dalam diskusi rangkaian acara yang digelar Goethe Institute. Bersama Nidi, hadir pula pembicara lain dari Jerman seperti Arianna Nicoletti, Isabella Deschamps (be able), Marina Chahboune (hessnatur Stiftung), Pola Fendel (Klederei), Lisa Jaspers (Folkdays), dan Indonesia. Mereka membeberkan pengalaman dan aktivitas fashion ramah lingkungan dan berkelanjutan.

 

Eco printing, teknik cetak yang memanfaatkan pewarna alami. Teknik ini bisa digunakan untuk membuat produk fashion yang ramah lingkungan. Sumber: livingloving.net/Ella Trimurti (handmade fabric day)

 

Rental baju

Ada juga Hana Surya pendiri Threadapeutic, yang juga memanfaatkan sampah tekstil menjadi barang-barang bernilai jual tinggi. Ada dompet, aneka tas perempuan, hiasan dinding dan barang lain. Bersama para pekerja, ia coba memperpanjang usia sampah tekstil yang dibeli murah di Pasar Cipadu dan pakaian bekas yang diperoleh dari donasi.

Hasilnya, Hana memasarkan hasil kerajinan tangannya itu ke beberapa toko dan dijual secara online. “Potensi pemanfaatan kembali atau upcycling sangat besar di Indonesia. Ratusan ribu ton produksi tekstil dan fashion, sampahnya berkisar hingga 15 persen.”

Upaya pemanfaatan limbah tekstil dan pakaian bekas juga dilakukan Arianna Nicoletti yang mengusung brand aluc. Di Berlin, Nicoletti sejak 2010, memanfaatkan pakaian bekas yang dipermak lebih modis dengan bantuan desainer. Bersama para patner, mereka memanfaatkan pakaian pantas pakai yang dikumpulkan dari lembaga amal setempat, tak kurang 15 ton per minggu. “Dari lembaga amal di Berlin saja, 90 persen pakaian ini tidak dapat dijual lagi.”

Nicoletti yang seorang desainer fashion, menerapkan konsep upcycling dengan pertimbangan lingkungan. Tidak membutuhkan lebih banyak air dan energi, juga tidak menyebabkan emisi karbon. ”Sampah adalah isu yang paling saya perhatikan,” ujarnya.

Menurutnya, dari tahap pemintalan hingga menjadi garmen saja, menyisakan setidaknya 10 persen sampah. Di sisi lain, ada gunungan ton pakaian bekas berkualitas rendah yang ditimbun, dibakar atau dikirim ke negara berkembang untuk diolah lagi. Dari fakta itu, mulailah ia bergerak dengan aluc—mengangkat kembali sampah fashion lebih berharga dan ramah lingkungan. Untuk mengenalkan brand dan konsepnya, Aluc ikut dalam destinasi wisata hijau, pengunjung bisa ikut tur wisata mengunjungi green fashion di Kota Berlin, Jerman.

 

Toko upcycling di Berlin. Sumber: Deutsche Welle.com

 

Jika Nicoletti memanfaatkan sampah fashion, ada Pola Fendel dan Thekla Wilkening yang mendirikan Kleiderei di St. Pauli, Hamburg, 2012. Usaha Klederei adalah rental baju. Dia mengumpulkan baju-baju layak pakai cukup modis yang dipilih desainer untuk dipinjamkan kepada konsumen. Peminjam bisa mengakses secara online. Hanya membayar 39 Euro per bulan, anggota Klederei bisa meminjam beberapa lembar baju dan aksesoris.

”Setiap bulan ada yang baru. Kami menjamin pakaian ini bersih,” ujarnya melalui skype. Yang menjadi keprihatinan Fendel, banyak orang yang konsumtif dengan fashion. “Sebagian besar selalu membeli pakaian baru, hanya dipakai beberapa kali lalu disimpan,” ujarnya.

Kebijakan Pemerintah Jerman yang mendorong produk ramah lingkungan juga disampaikan oleh Marina Chahboune (hessnatur Stiftung). Yayasan nirlaba dan independen ini membuat penelitian, pengembangan yang berkelanjutan. Bersama para ilmuwan lingkungan, praktisi tekstil melakukan inovasi untuk industri tekstil berkelanjutan.

Chahboune membeberkan lembaganya berkeliling ke berbagai negara, menularkan informasi dan solusi lebih ramah lingkungan. Ia pun menyebutkan beberapa brand fashion kondang dunia yang tergabung dan mendukung pemikiran tersebut. Lembaganya juga memberikan standar dan pengawasan terhadap proses produksi demi perlindungan lingkungan.

 

Diskusi Sustainable, is Doable? di Goethe Institut yang mengangkat tema fashion ramah lingkungan. Foto: Asti Dian

 

Data World Bank 2015 memperkirakan, 20 persen pencemaran air industri global berasal dari pengolah dan pewarnaan tekstil. Sebanyak 72 bahan beracun teridentifikasi dalam proses pewarnaan tekstil, 30 diantaranya tak dapat dihilangkan dari air.

Data itu pula memperlihatkan sungai-sungai di Indonesia sudah tercemar, hanya dua persen yang memenuhi baku mutu. Di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua, kondisinya lebih dari 50 persen tercemar.

Sungai Citarum di Jawa Barat adalah tulang punggung industri tekstil. Tak kurang 60 persen pabrik tekstil berada di pinggir sungai tersebut. Sungai Citarum pun menjadi sumber utama  air minum untuk lebih 40 juta penduduk di sekitarnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,