Indonesia Kaya Ikan, Tapi Warganya Rendah Konsumsi Ikan. Kenapa?

Potensi sumber daya ikan di Indonesia selama ini dikenal sangat berlimpah. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, potensi sumber daya ikan saat ini sudah mencapai 9,9 juta ton. Selain itu, potensi luas lahan budidaya juga mencapai 83,6 juta hektare.

Namun, dari semua potensi tersebut, minat masyarakat untuk mengonsumsi ikan sebagai lauk masih harus terus ditingkatkan. Hal itu dikatakan langsung Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Nilanto Perbowo.

Menurut Nilanto, ikan sebagai sumber protein sangat relevan untuk mendukung program prioritas Pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Selain itu, ikanjuga meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat berbasis pada kelautan dan perikanan.

“Jika konsumsi ikan nasional meningkat, ini dapat menjadi penghela industri perikanan nasional. Ini juga dapat meningkatkan produktivitas masyarakat dan mewujudkan kemandirian ekonomi untuk mendukung percepatan pembangunan industri perikanan nasional,” ungkap dia.

 

 

Nilanto mengungkapkan, dengan potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia sekarang, itu juga bisa dimanfaatkan untuk mendorong perluasan dan kesempatan kerja, serta meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan bagi masyarakat.

Untuk itu, perlu didorong minat masyarakat untuk mengonsumsi ikan hingga lebih memasyarakat. Salah satunya caranya, kata Nilanto, yaitu melalui program Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (GEMARIKAN) yang sudah dicanangkan oleh Presiden RI Megawati Soekarno Putri pada 4 April 2004.

“Gerakan ini untuk membangun kesadaran gizi individu maupun kolektif masyarakat agar gemar mengonsumsi ikan. Gerakan ini melibatkan seluruh komponen atau elemen bangsa. Ini bukan hanya menjadi tugas KKP saja, tetapi juga menjadi tugas seluruh komponen institusi, lembaga, dan masyarakat,” ucap dia.

Lebih lanjut Nilanto mengatakan, hingga saat ini Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi pada Balita yang tersebar di seluruh daerah. Berdasarkan Global Nutrition Report yang dirilis pada 2014, sebanyak 37,2 persen Balita mengalami pertumbuhan kerdil (stunting), 12,1 persen pertumbuhan kurang dari standar usianya (wasting) dan 11,9 persen mengalami kelebihan berat badan (overweight).

 

Suasana pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada November 2016. Foto : Junaidi Hanafiah

 

Ikan Tingkatkan Gizi Anak

Menyikapi masih rendahnya minat masyarakat dalam mengonsumsi ikan Kepala Staf Presiden Teten Masduki mengatakan, seharusnya semua pihak ikut terlibat dalam mendorong masyarakat untuk mengonsumsi ikan. Hal itu, karena dengan ikan, gizi anak-anak akan semakin baik dan itu akan memperbaiki pertumbuhan fisik anak-anak di masa mendatang.

“Tingginya angka (anak yang mengalami) stunting harus segera diselesaikan karena akan menjadi beban negara. Kalau kami ke daerah, selalu bertemu anak-anak kurus-kurus, pendek-pendek. Sudah kelas 6, tapi (badannya) kecil,” ungkap dia

Menurut Teten, jika permasalahan kekurangan gizi bisa diselesaikan melalui gerakan makan ikan secara nasional, maka angka angka anak dengan stunting juga akan selesai. Jika itu terjadi, maka pada 2030 mendatang Indonesia akan memiliki generasi muda yang sangat produktif.

“Keadaannya sekarang terbalik, angka stunting tinggi yang akan menjadi beban negara. Karena itu, gerakan kesehatan masyarakat dalam hal ini memperbaiki konsumsi gizi lewat makan ikan saya kira menjadi hal yang sangat penting,” terang dia.

 

Aktivitas pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Foto : Jay Fajar

 

Teten menyebut, bentuk perhatian Negara terhadap gerakan makan ikan, saat ini sangatlah tinggi. Salah satu buktinya, Presiden RI Jokow Widodo selalu menyelipkan pertanyaan tentang nama-nama ikan saat mengisi suatu acara.

“Itu cara beliau (Presiden) untuk mulai mengingatkan masyarakat Indonesia terutama anak-anak bahwa 70 persen Indonesia ini adalah laut, dan di situ sebenarnya gudang protein kita yang paling besar,” tutur dia.

Karena masih rendahnya minat masyarakat untuk mengonsumsi ikan, Teten meminta semua pihak untuk ikut terlibat dalam mempopulerkan gerakan makan ikan. Jangan sampai, gara-gara ikan belum memasyarakat, konsumsi gizi banyak tergantung pada daging merah.

“Kita ini sekarang mengimpor 1,73 juta ekor sapi per tahun. Pada 2019 kita butuh 4 juta ekor sapi untuk memenuhi kebutuhn konsumsi protein kita. Untuk bisa memenuhi 4 juta ekor sapi per tahun, kita harus mempunyai indukan sebesar 20 juta indukan,” ungkap dia.

 

2019, 54 kg per Kapita

Lebih jauh Teten Masduki menjelaskan, melihat masih kurangnya minat masyarakat dalam mengonsumsi ikan, Indonesia menargetkan pada 2019 konsumsi ikan di masyarakat sudah mencapai 54 kg per kapita. Target itu, terutama dibebankan kepada masyarakat di Pulau Jawa yang masih sangat rendah konsumsi ikan.

“Di Jawa konsumsi ikan masih 32 kg per kapita, kalau di Sumatera dan Kalimantan jauh lebih baik, antara 32 sampai 43 kg per kapita per tahun. Di (Indonesia bagian) Timur 40 kg per tahun. Jadi kita sudah tahu di mana kampanye gerakan makan ikan ini harus ditingkatkan,” papar dia.

 

Seorang warga Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut, menggigit ikan hasil tangkapannya dalam acara manam’mi pada Sabtu (21/5/2016). Manam’mi merupakan acara menangkap ikan secara tradisional. Foto : Themmy Doaly

 

Untuk bisa mewujudkan target Pemerintah Pusat, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan merangkul ibu-ibu rumah tangga. Hal itu diusulkan Sekretaris Jenderal KKP Rifky Effendi Hardijanto.

Menurut dia, ibu rumah tangga dalam keseharian selalu memegang peranan penting dalam memilih dan mengolah bahan makanan yang akan disajikan sebagai bahan santapan keluarga. Karena itu, dia meminta ibu-ibu rumah tangga di seluruh Indonesia untuk mengurangi konsumsi makanan berbahan dasar impor.

“Kita mengajak ibu-ibu untuk menyajikan menu makanan ikan di rumahnya. Tahu misalnya, perlu kita kurangi karena itu komponen impornya 99 persen. Makan kecap, kecap itu juga impor. Jadi budaya ini harus kita mulai dari ibu-ibu,” kata dia..

Selain mengonsumi ikan, Rifky mengajak ibu-ibu rumah tangga untuk bisa kreatif mengolah makanan dari bahan ikan. Dengan demikian, anggota keluarga yang mengonsumsi ikan tidak akan merasa bosan dan justru akan semakin tinggi minatnya.

“Mari kita ciptakan menu-menu baru. Ikan itu kalau di rumah biasanya hanya digoreng, maka ayo kita ciptakan menu-menu baru yang membuat resep ikan bervariasi. Di Jambi dan Riau misalnya, itu masakan ikan variannya luar biasa, juga di Lubuk Linggau, Bengkulu, Palembang,” imbuh dia.

Menurut Rifky, kreasi seperti itu yang perlu didorong di Pulau Jawa yang konsumsi ikannya paling rendah, di mana hampir 60% atau 250 juta  penduduk Indonesia berada.

“Pemerintah daerah juga diharapkan secara rutin datangkan ahli gizi ke sekolah-sekolah. Ajarkan manfaat dan pengolahan ikan-ikan, boleh lele, bandeng, patin, nila, atau ikan mas, atau boleh apa saja, yang penting ikan,” tandas Rifky.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,