Menata Kembali Terumbu Karang dan Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pulau Bontosua

Di Pulau Bontosua, yang merupakan satu dari 115 pulau kecil yang ada di perairan Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan, dulunya ikan-ikan begitu mudah diperoleh. Tak perlu bersusah payah mendapatkannya. Kini para nelayan harus berlayar jauh hingga ke negeri seberang untuk menangkap ikan.

Sebagaimana pulau-pulau lain di perairan Pangkep dan Kepulauan Spermonde, hilangnya ikan-ikan antara lain karena rusaknya ekosistem terumbu karang. Bisa karena penyebab alami, namun sebagian besar karena ulah manusia, seperti pemboman, bius hingga penggunaan alat tangkap yang tak ramah lingkungan, seperti trawl dan cantrang.

Menurut Syafyuddin Yusuf, peneliti terumbu karang dari Universitas Hasanuddin, kondisi terumbu karang di Kabupaten Pangkep memiliki tingkat kerusakan yang beragam dengan taksiran yang masih bagus antara 24 – 59 persen. Ini jauh dari kondisi ideal.

“Kalau kerusakan sudah lewat 40 persen itu artinya sudah kerusakan parah. Di Pangkep ini kalau mau dipilah kondisi terumbu karangnya antara sedang dan bagus. Sementara yang kondisinya sangat bagus sudah tidak ada lagi,” katanya dalam acara rembuk masyarakat nelayan di Pulau Bontosua, Desa Mattiro Bone, Kecamatan  Liukang Tuppabiring, Kabupaten Pangkep, Sulsel, pertengahan Maret 2017 lalu. Kegiatan ini terkait rencana restorasi terumbu karang di Pulau Bontosua yang dilakukan oleh PT Mars Symbioscience Indonesia (MSI).

 

 

Untungnya, menurut Syafyuddin, dibanding pulau-pulau lain, terumbu karang di sekitar Pulau Bontosua kondisinya relatif masih sangat bagus. Tingkat kerusakan hanya berkisar antara 10-40 persen. Meski demikian, potensi ancaman kerusakan tetap ada.

“Meski di Bontosua ini tak ada lagi aktivitas pemboman ikan namun apa yang terjadi di perairan lain bisa juga berdampak pada pulau ini. Pecahan-pecahan terumbu karang akibat pemboman di daerah lain bisa berdampak ketika terbawa ombak keras menghantam daerah-daerah pesisir sekitar, khususnya di bagian barat.”

Penyebab masih bagusnya terumbu karang di Pulau Bontosua adalah tingginya kesadaran masyarakat. Penggunaan trawl sempat marak di tahun 1970-an, namun kemudian dihentikan dari tahun 1980-an hingga sekarang. Kasus pemboman dan pembiusan ikan juga sudah jarang ditemukan di sekitar pulau seluas 1 km persegi ini.

“Ini yang membuat Pulau Bontosua menjadi ideal untuk dilakukannya transplantasi dan restorasi terumbu karang. Ada peluang mengembalikan kondisi terumbu karang yang rusak karena sebab alami tersebut. Masyarakatnya juga bisa turut menjaganya.”

 

Untuk proses transpalantasi karang di Pulau Bontosua, Kabupaten Pangkep, Sulsel menggunakan medium struktur laba-laba, dimana bibit karang diikatkan dalam struktur ini yang kemudian ditempatkan di lokasi dengan cara saling dikat satu sama lain. Foto: Wahyu Chandra

 

Menurut Noel Janetski, salah satu konsultan pelaksana program transplantasi terumbu karang ini dari PT MSI, upaya restorasi di Pulau Bontosua ini adalah kelanjutan dari program yang telah mereka lakukan di Pulau Badi di tahun 2011-2015 lalu. Restorasi ini dilakukan melalui penggunaan rangka laba-laba sebagai media tanam. Cara ini dianggap efektif sehingga kemudian dilanjutkan di Pulau Bontosua.

Selain restorasi terumbu karang, PT. MSI juga akan melakukan program pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam hal penguatan ekonomi dan kelembagaan ekonomi masyarakat.

Menurut Noel, khusus untuk restorasi terumbu karang ini akan dipasang sebanyak 3.000 rangka laba-laba di wilayah perairan sekitar pulau seluas 1.500 – 3.000 meter persegi.

“Kita harapkan ini bisa rampung pemasangannya dalam waktu enam bulan. Namun itu tergantung pada ketersediaan bibit dan kesiapan masyarakat Bontosua dalam membantu pemasangannya,” katanya.

Bibitnya sendiri akan diperoleh dari di sejumlah gusung yang ada di sekitar pulau. Hanya saja upaya pengambilannya akan dilakukan secara hati-hati agar tidak justru merusak terumbu karang yang sudah ada.

“Kita juga upayakan akan ada tempat pembibitan khusus dengan bantuan dari Unhas (Universitas Hasanuddin). Kita akan pilih bibit yang sehat dari beberapa jenis, tidak hanya sejenis saja.”

 

Kondisi karang di Pulau Badi, Pangkep, Sulsel yang rusak karena faktor eksploitasi dan pembiusan untuk penangkapan ikan. Foto: PT Mars Symbioscience Indonesia

 

Keterbatasan

Sebagaimana masyarakat pulau pada umumnya, kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Pulau Bontosua juga juga dihadapkan pada berbagai persoalan yang kemudian berdampak pada tingkat kesejahteraan mereka.

Menurut hasil kajian yang dilakukan oleh tim peneliti sosial-budaya dari Universitas Hasanuddin, secara umum masyarakat Pulau Bontosua tidak memiliki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dimana hampir semua kebutuhan hidup mereka sangat tergantung dari daerah lain, yaitu Kota Makassar.

“Bisa dibayangkan kalau tak ada Makassar bagaimana masyarakat bisa melanjutkan kehidupan mereka, sehingga penting bagaimana potensi-potensi yang ada di pulau ini diberi penguatan agar bisa mengurangi ketergantungan tersebut,” ungkap Supratman, salah seorang anggota dari tim peneliti tersebut.

Nelayan di Pulau Bontosua juga dinilai tidak memiliki jaminan keselamatan dari kecelakaan kerja ketika melaksanakan profesinya sebagai nelayan. Padahal pemerintah sudah menyiapkan kartu jaminan melalui Kartu Nelayan. Sayangnya, sebagian besar nelayan setempat justru belum memilikinya.

“Makanya penting kartu jaminan ini dimiliki, meski memang ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Jaminan ini penting karena bisa menjadi motivasi bagi nelayan untuk melaut, mengurangi sedikit kekhawatiran ketika berada di laut,” tambah Supratman.

 

Kondisi sosial ekonomi masyarakat Pulau Bontosua, Liukang Tuppabiring, Pangkep, Sulsel umumnya dalam kondisi keterbatasan dan tergantung pada daerah lain sekitar. Akses listrik dan air bersih juga masih sulit diperoleh dan harus dibei dan dibiayai sendiri oleh warga. Foto: Wahyu Chandra

 

Masyarakat Pulau Bontosua juga memiliki keterbatasan dalam mengakses sumber daya dan program-program dari luar, termasuk dari Dinas Kelautan dan Perikanan.

“Persoalannya memang kalau mau kerjasama dengan pihak luar ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga ini akan terkait dengan kapasitas masyarakat untuk memenuhinya. Harus ada peningkatan kapasitas individu dan kelompok tentang bagaimana mereka mengakses program-program tersebut.”

Masalah lain di Pulau Bontusua, menurut Supratman adalah keterbatasan fasilitas air bersih dan listrik. Untuk air bersih sendiri mereka membeli secara eceran di Kota Makassar, sementara untuk listrik masih menggunakan genset dengan biaya operasional sekitar Rp16 ribu per hari.

“Seharusnya uang itu untuk beli beras. Makanya kita perlu identifikasi potensi-potensi apa yang bisa manfaatkan dan dimaksimalkan penggunaannya di pulau, termasuk bagaimana mengajukan permohonan bantuan fasilitas listrik dan air bersih ini dari pemerintah daerah dan pusat.”

Terlepas dari berbagai keterbatasan itu, masyarakat Pulau Bontoa dikenal sebagai masyarakat yang ramah, pekerja keras dan sangat terbuka, sehingga daerah ini cocok untuk pengembangan pariwisata pesisir.

“Tinggal mencari potensi-potensi apa yang ada di pulau ini yang bisa dijual ke luar. Ini bisa menjadi sumber pencaharian alternatif bagi warga. Tidak lagi sekedar mengandalkan penghasilan dari hasil tangkapan di laut. Inilah salah satu penyebab kemiskinan di daerah-daerah pesisir. Ketika ada masalah di laut maka aktivitas ekonomi langsung terhenti. Apalagi produksi tangkapan nelayan yang terus menurun,” tambahnya.

Supratman juga berharap ada pengembangan kapasitas ekonomi masyarakat kepada ibu-ibu rumah tangga.

“Daripada tinggal di rumah hanya gosip dan cari kutu saja, alangkah baiknya jika waktu luang ibu-ibu bisa digunakan untuk hal-hal produktif, bisa menjadi sumber mata pencaharian alternatif, yang bisa berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan keluarga.”

Supratman juga berharap nantinya aspek pendidikan juga diperbaiki, karena rendahnya tingkat pendidikan di pulau tersebut, di sisi lain angka putus sekolah justru tinggi.

“Begitu juga dengan pemerintah desa, perlu ada pendampingan dalam hal perencanaan dan pengelolaan anggaran ini agar tepat sasaran, tidak digunakan untuk hal-hal yang sebenarnya bukan kebutuhan utama masyarakat.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,