Tanpa Bius, Mata Pancing Ini Dikeluarkan dari Mulut Buaya Muara

 

 

Tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bersama tim Dokter Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, berhasil mengeluarkan mata pancing yang tersangkut di mulut buaya muara. Tanpa menggunakan obat bius.

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo menyebutkan, buaya tersebut dipancing, dengan mata pancing khusus, oleh warga yang tinggal di sekitar bantaran Sungai Singkil, Aceh Singkil, Aceh. “Buaya diberi umpan bebek pada 7 April 2017 lalu. Warga beralasan karena buaya tersebut sudah sangat agresif. Saya langsung menurunkan tim untuk mengevakuasi sekaligus mengobati buaya itu.”

Sapto menambahkan, awalnya masyarakat tidak bersedia menyerahkan buaya sepanjang lima meter itu, karena BKSDA tidak bersedia membayar ganti rugi sebesar Rp5 juta. “Saat diminta uang, saya langsung memerintahkan tim untuk pulang dan meninggalkan buaya tersebut. Namun, tidak lama kemudian masyarakat menghubungi kami dan mempersilakan tim membawa buaya ke Banda Aceh,” tuturnya, Rabu (12/04/2017).

 

Buaya sepanjang lima meter ini ditangkap warga Aceh Singkil menggunakan mata kail khusus dengan umpan bebek mati. Foto: BKSDA Aceh

 

Tiba di Banda Aceh, buaya langsung dibawa ke Kantor BKSDA dan ditangani segera oleh tim Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah untuk dikeluarkan mata pancing di mulutnya itu. Namun, pencabutan sempat terkendala karena dokter tidak bersedia membius buaya, sangat berisiko.

“Saya berkonsultasi dengan BKSDA di provinsi lain yang berpengalaman menangani buaya, ternyata dokter hewan dari Autralia menyebutkan obat bius di Indonesia tidak direkomendasikan untuk buaya. Kawan-kawan BKSDA daerah lain menyarankan dicabut  manual, tanpa bius,” sebut Sapto.

 

Konflik antara masyarakat Aceh Singkil dengan buaya muara diperkirakan sudah berlangsung dalam sepuluh tahun terakhir. Foto: BKSDA Aceh

 

Akhirnya, mulut buaya ditopang kayu. Tim BKSDA dan dokter FKH Unsyiah berhasil mencabut mata kail yang sangat besar itu. “Kerongkongan buaya juga telah diobati,’’ tuturnya.

Zulfan, warga Rantau Gedang, Kabupaten Aceh Singkil menyebutkan, warga dibantu pawang terpaksa memancing buaya tersebut karena sudah mengancam keselamatan masyarakat dan nelayan. “Biasanya kalau buaya melihat orang, ia akan pindah. Tapi buaya ini sudah sangat berani, memperlihatkan seluruh badannya. Ketimbang memangsa nelayan, terpaksa kami pancing.”

 

Mata kail yang diberi umpan ini yang digunakan untuk menagkap buaya muara. Foto: BKSDA Aceh

 

Zulfan mengatakan, mata pancing dibuat khusus dari besi putih, sementara umpannya berupa bebek yang telah disembelih. Pancing dengan pelampung itu dipasang malam, paginya ghilang. Saat ditemukan, ada buaya yang panjangnya hampir lima meter itu.”

Konflik antara manusia dengan buaya di Kabupaten Aceh Singkil diperkirakan telah berlangsung sekitar 10 tahun belakangan ini. Bahkan, warga menyakini sejumlah orang meninggal karena diterkam buaya yang hidup di muara sungai yang berhulu ke Taman Nasional Gunung Leuser atau di Kabupaten Gayo Lues itu. “Ada nelayan yang ditemukan meninggal, masyarakat menduga mereka diterkam buaya,” papar Zulfan.

 

Sungai Singkil yang tampak dari udara. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Awal April 2015, warga Desa Siti Ambia, Kabupaten Aceh Singkil, menangkap dan membunuh dua ekor buaya muara karena diduga memangsa nelayan bernama Yusril. Saat itu, Yusril sedang menyelam, mencari lokan (kerang) di sungai dekat Pulo Pes, Kuala Singkil.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,