Kala Galian Pasir di Merauke Mulai Rusak Jalan dan Lingkungan

 

 

Aput Gebze, perempuas Suku Marind,  terpaku di Pantai Kuler, Distrik Noukenjerai, Kabupaten Merauke. Kondisi jalan rusak. Dulu,  jalan tak seperti ini.

Kala melewati jalan ini, harus melewati kubangan besar. Berbagai truk pengangkut pasir pantai bebas melintasi daerah setiap hari. Parahnya lagi, kawasan itu masuk Taman Nasional Wasur.

Dia melihat tiga truk penuh pasir melalui jalanan rusak. Tak sadar air mata Gebze menetes. “Dulu, ke kampung ini mulus sekali. Truk angkut pasir lewat, sekarang sulit sekali lewat jalur ini,” katanya kepada Mongabay, baru-baru ini.

Dia bilang, kampung itu tepat di garis pantai, laut Arafuru. Beberapa anak kecil tanpa pakaian turut menyaksikan puluhan truk mengangkut pasir pantai ke Kota Merauke. Bahkan, ada yang duduk pada gundukan pasir dalam truk, ikut angkut pasir ke Merauke. Harga pasir satu ret penadah Rp1 juta.

Areal penggalian pasir sangat luas. Tak ada pengawasan dari Pemerintah Papua maupun pusat, mengkibatkan penggalian pasir makin menggila di Merauke. Lingkungan rusak.

Fermina Basik-basik,  staf Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, miris melihat kondisi ini. “Kasihan anak-anak usia sekolah justru tak sekolah. Mereka menunggu setiap truk lewat untuk membantu mengangkut pasir,” katanya.

Tak ada teguran apalagi larangan membuat penggali dan pengangkut pasir bebas datang dan pergi di sekitar Pantai Kuler ini. “Padahal daerah ini masuk Taman Nasional Wasur. Bagian taman nasional semua di garis pantai, misal Kampung Kondo, Tomeraw, Tomer, Kuler dan Ndalir. Pasir sudah mereka ambil, Pantai Ndalir di Pinggir Pos TN Wasur rusak. Takutnya, air laut merembes ke Danau Rawa Biru, sumber mata air seluruh Kota Merauke,” katanya.

Elias Refra, Kepala Satpol PP Kabupaten Merauke mengatakan, bila pasir pantai diambil terus bisa membahayakan penduduk Merauke.

Mereka juga bingung untuk ambil tindakan karena Dinas Pertambangan dan Energi Merauke, tak ada lagi. Jadi, dia tak tahu apakah galian pasir itu berizin atau tidak.

“Soal, perizinan silakan ke provinsi saja. Sebagai Satpol PP Merauke hanya mengambil  tindakan soal truk yang muatan terlalu penuh, dan debu ganggu,” katanya.

Dia mengusulkan,  kalau merusak lingkungan seharusnya semua bahan galian C termasuk pasir semua tutup.

Instansinya, katanya, akan berkoordinasi dengan polisi, TNI, marinir guna mengambil tindakan terhadap penggalian pasir ini.

Refra bilang, Perda Penertiban No. 21/2011 masih berlaku tetapi melempar tak bisa bertindak karena perizinan di provinsi. “Satpol bisa saja, tetapi melangkahi kewenangan. Jadi proses harus melalui provinsi,” katanya.

Usulan lain, Dinas Lingkungan Hidup bekerja sama, menentukan tempat-tempat pengambilan pasir atau tanah supaya saat Satpol PP bertidak tak menimbulkan akses negatif.

Dia menarik pelajaran penting dari Dusun Ndalir kini mulai parah sampai air laut hampir masuk ke Danau Rawa Biru.

 

Kubangan di pesisir pantai, bekas galian pasir. Foto: Agapitus Batbual

 

Pastor Anselmus Amo, Direktur Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke mengatakan, pemerintah harus memetakan lokasi penggalian pasir  atau tanah timbun hingga tak gali di sembarang tempat.

Bila pasir tergali terus menerus, katanya, bisa mengganggu lingkungan. “Ketika terus digali kampung itu bisa diterpa air pasang.”

Pengalaman 2006,  air pasang melanda Merauke. “Penggali pasir juga menyesal. Mengapa terjadi lagi?”

Penggalian pasir pantai, katanya, secara ekologi mengganggu banyak hal, mulai pepohonan, ikan, sampai soal ekonomi.

Dia mengusulkan, dana setiap kampung dimanfaatkan buat pemberdayaan warga hingga mereka tak tergantung galian pasir.

Warga kampung, mesti menyadari menggali pasir dan merusak lingkungan membahayakan mereka sendiri. “Suatu saat air laut masuk, penduduk setempat tak punya apa-apa lagi.”

Albert Moiwen Gebze, Wakil Ketua II Adat Marind menyesalkan sikap pemerinah Kabupaten Merauke sampai provinsi yang seharusnya menegakkan perda soal galian C. “Kalau tetap menggali, Satpol PP harus bertindak tegas pakai Perda Merauke. Caranya, dengan menahan mobil penggali pasir atau mobil dibakar saja.”

Dia tak ingin pengalaman 2006 terulang. Di Ndalir,  katanya, semua pihak duduk bersama seperti Pemda Merauke, polisi, TNI AD, Satpol, untuk menindak para penggali pasir.

“Ini merusak jalan umum, gali pasir di bahu jalan. Pemda harus tindak tegas. Selain ganggu lingkungan, akses ke pasar terhenti.”

Dia kesal karena penggalian pasir ini sudah mengganggu jalan umum. Bagi dia, sudah waktunya, ada penegakan hukum termasuk kala ada aparat terlibat harus ada tindakan tegas.

Mathinus Marco Wattimena, pegiat lingkungan di Merauke  mengatakan, soal penggalian pasir Bupati Merauke, Fredirikus Gebze turun langsung tinjau lapangan. Tak cukup hanya tinjau lapangan, katanya,  semua pihak berkepentingan harus duduk mencari jalan keluar.

Harimin, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupten Merauke, melempar ke pusat. Menurut dia, soal penggalian pasir, merupakan kewenangan pusat seiring UU 23/2014. “Kalau sisi lingkungan jelas merusak lingkungan.”

 

Halaman rumah warga jadi tempat penimbunan galian pasir di Merauke. Foto: Agapitus Batbual

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,