Pentingnya Bentang Alam Gua Karst Watuputih, Alasan Menjaga Kendeng

Keluarnya hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng Jilid I pada tanggal 12 April 2017 diharapkan oleh banyak pihak bisa mengakhiri polemik berkepanjangan di Kawasan Watuputih, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Hasil KLHS ini sekaligus diharapkan menjadi titik awal merekonstruksi kebijakan pemerintah terkait pemanfaatan potensi kawasan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.

KLHS yang diumumkan oleh Kantor Sekretariat Presiden (KSP) dan Kementerian Kehutanan  dan Lingkungan Hidup (KLHK) merekomendasikan status Kawasan Watuputih menjadi status tunggal yaitu sebagai Kawasan Lindung, karena telah memenuhi syarat sebagai : Kawasan Resapan Air, Kawasan Imbuhan Air Tanah dan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK).

( baca : Soal Pegunungan Kendeng: Kajian Lingkungan Selesai, Berikut Pandangan Mereka)

Kawasan Watuputih adalah hamparan perbukitan yang tersusun oleh batugamping (batukapur) seluas 3.020 hektar. Secara fisiografi Watuputih terletak di Zona Rembang (Bemmelen, 1949), namun masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai bagian dari Pegunungan Kendeng Utara.

Batugamping yang menyusun Kawasan Watuputih adalah batugamping dari Formasi Paciran yang terdiri dari batugamping klastik dan batugamping terumbu dengan ketebalan diperkirakan hingga 750 meter. Morfologi Watuputih telah menunjukkan gejala karstifikasi dengan dijumpainya lembah-lembah tertutup, bentukan bukit-bukit kerucut, lubang-lubang pelarutan (lapies/karren), goa-goa dan mata air yang melimpah di kaki-kaki bukitnya.

 

 

Hasil Kajian KLHS menyatakan bahwa setidaknya terdapat 76 titik mulut gua (empat goa diantaranya terdapat aliran air bawah tanah), 136 titik mataair (empat mataair utama yaitu Sumber Semen : 635 liter/detik), Sumber Brubulan Tahunan : 100 liter/detik, Sumber Sewu : 24 liter/detik dan Sumber Brubulan Pasucen : 7,5 liter/detik), 18 titik ponor atau lubang resapan alami. Fakta-fakta lapangan ini merupakan kunci untuk memahami Kawasan Watuputih secara utuh, sehingga membutuhkan pendekatan yang mencakup banyak disiplin ilmu. Salah satunya adalah speleologi (ilmu yang mempelajari gua).

(baca : Upaya Warga Tiada Henti Demi Lindungi Karst Kendeng)

 

Perkembangan Speleologi

Speleologi lahir dari ketekunan ilmuwan-ilmuwan Eropa menjelajahi dan meneliti fenomena gua pada pertengahan abad 17. Salah satu pelopornya adalah John Beaumont, (1650-1731) seorang ahli geologi dan fisikawan yang aktif melakukan penelusuran, pengukuran dan mencatat segala hal tentang goa-goa di Somerset, Inggris. Beaumont mencatatkan hasil kajian-kajiannya tersebut ke Royal Society, sebuah lembaga Ilmu Pengetahuan di Kerajaan Inggris.

Speleologi terus berkembang dan menginspirasi banyak orang untuk melakukan aktivitas pendataan, penjelajahan dan pemetaan goa-goa di seantero Eropa kala itu. Beberapa nama yang masyur dan dikenang sepanjang masa berjasa dalam pengembangan speleologi dunia adalah Johann Weikard Von Valsavor (1641-1693), Joseph Anton Nagel (1717-1794) dan Eduard Alfred Martel (1859-1938). Di dunia internasional, speleologi dinaungi oleh lembaga internasional Union Internationale de Speleology (UIS) yang bermarkas di Wina, Austria.

Indonesia mengenal speleologi secara resmi ketika Pemerintah RI melalui Direktorat Jenderal Sumberdaya Air Kementerian Pekerjaan Umum menjalin kerjasama dengan Overseas Development Administration (ODA) Kerajaan Inggris yang dikoordinatori oleh Macdonal untuk melakukan Studi Sumberdaya Air Tanah di Cekungan Yogyakarta (1982-1984). Salah satu cakupan studi tersebut berada di Kabupaten Gunungkidul yang sebagian besar wilayahnya berupa kawasan karst (Karst Gunungsewu).

 

Selang dipasang untuk mengambil air yang-bersumber dari gua di kawasan Rembang Jateng untuk kebutuhan rumah tangga. Foto Tommy Apriando.

 

Menghadapi kondisi alam karst, Pemerintah Ingris menugaskan delapan ahli survei gua dari British Cave of Research Association (BCRA) untuk memetakan gua-gua yang ada di Kabupaten Gunungkidul (dan Kabupaten Wonogiri bagian barat). Tim penelusur gua BCRA kala itu mengidentifikasi 246 titik mulut gua dan memetakan 160 buah gua di antaranya.

Hasil nyata dari survei gua yang dilakukan Macdonal dkk ini adalah ditemukannya empat sistem sungai bawah tanah utama di Karst Gunungsewu. Salah satunya adalah sungai bawah tanah Gua Bribin yang telah dimanfaatkan airnya untuk mencukupi kebutuhan air minum sekitar 82.000 jiwa di Kabupaten Gunungkidul hingga saat ini.

Secara informal, speleologi mulai digaungkan di Indonesia oleh seorang dokter spesialis kulit dan kelamin Dr. Robert  Ko Ping Tjoen (RKT Ko) ketika mendeklarasikan berdirinya perkumpulan pegiat aktivitas speleologi SPECAVINA pada 23 Mei 1981 di Cilacap dengan Norman Edwin (petualang legendaris Indonesia) sebagai ketuanya. Mayoritas mereka yang merespon inisiasi RKT Ko perihal speleologi adalah para aktivis kegiatan alam bebas dan mahasiswa pecinta alam, sehingga tidak heran jika speleologi hingga saat ini pun lebih banyak digeluti oleh mereka yang awalnya berangkat dari kegemaran bertualang.

Namun tidak kurang juga para aktivis speleologi ini di kemudian hari menjadi ahli-ahli di bidang karst karena memiliki latar belakang akademik yang mumpuni, bahkan tak kurang yang memilih berprofesi sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi dan peneliti di lembaga-lembaga riset milik pemerintah maupun swasta.

 

Salah satu ruangan besar (chamber) di Goa Temu, di Desa Bitingan, Kecamatan Sale, Rembang, Jateng yang merupakan lokasi hunian kelelawar pemakan serangga Miniopterus sp. Keberadaan gua sangat penting sebagai penyimpan air dengan jaringan sungai bawah tanah bagi kebutuhan kawasan tersebut. Foto : Rodhial Falah

 

Fakta Speleologi di Watuputih

Polemik pendirian pabrik semen di Kabupaten Rembang yang hendak menjadikan Kawasan Watuputih sebagai lokasi tambang batugamping menggelitik para pegiat speleologi untuk melakukan observasi secara langsung ke lapangan. Respon ini muncul karena informasi awal yang disajikan dalam dokumen Amdal PT Semen Indonesia  yang menyebut kawasan Watuputih sebagai kawasan karst serta ditemukannya sejumlah “gua kering” di wilayah tersebut.

Atas dasar informasi-informasi tersebut sejumlah aktivis speleologi yang tergabung dalam beberapa kelompok seperti Semarang Caver Association (SCA), Student Speleo Club (SSC) dibantu oleh masyarakat setempat melakukan investigasi speleologi di kawasan Watuputih.

Hasil investigasi yang dilakukan kelompok pegiat speleologi ini menemukan jumlah mulut gua dan mata air yang lebih banyak dari yang tercantum di dalam dokumen amdal sebelumnya.

Dalam dokumen AMDAL dituliskan terdapat 31 buah gua, temuan tim speleologi mendapatkan 76 buah gua. Sejumlah gua yang dianggap kering beberapa di antaranya ternyata memiliki aliran air di bawah tanah. Tiga gua dengan aliran air di dalamnya adalah Gua Temu, Gua Rambut dan Gua Manuk, sedangkan Gua Gundil yang juga memiliki aliran air tanah baru dimunculkan dalam dokumen adendum AMDAL.

Pada penyelidikan berikutnya tim speleologi juga melakukan pemetaan lorong gua, agar bisa mengetahui pola jaringan dan potensi keterhubungan antar lorong di bawah tanah Watuputih. Pemetaan gua juga memberikan informasi dimensi lorong, karena selain memiliki potensi air, gua juga merupakan habitat sejumlah biota yang penting bagi kehidupan manusia dan ilmu pengetahuan. Bahkan tidak menutup kemungkinan gua-gua juga menyimpan tinggalan prasejarah yang tak ternilai harganya. Selain mulut goa dan mataair, speleolog juga mendata titik-titik lubang resapan alami (ponor) yang memiliki peran penting dalam menyingkap jaringan hidrologi di Kawasan Watuputih.

Pada jumlah mata air misalnya, perbedaan temuan juga cukup mencolok, dalam dokumen AMDAL tertulis 45 titik mata air, sedang pendataan tim speleologi dan warga menemukan 136 titik mata air!

( baca : Penyelamatan Karst Kendeng dari Tambang Semen: Wakil Rakyat, Mana Suaramu?)

 

Aliran air di Goa Temu di Desa Bitingan, Kecamatan Sale, Rembang, Jateng merupakan salah satu indikasi keberadaan jaringan sungai bawah tanah di Kawasan Watuputih yang perlu diselidiki lebih lanjut. Foto : Rodhial Falah

 

Pendekatan speleologi juga dilakukan oleh peneliti biota LIPI yang juga seorang penelusur gua, Sigit Wiantoro. Dalam penelitiannya bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Sigit berhasil mengidentifikasi sedikitnya terdapat tiga jenis kelelawar pemakan serangga : Minioterus autralis (240 individu), Rhinolopus pusillus (400 individu) dan Hipposideros larvatus (90 invididu) di Gua Joglo dan Gua Jagung. Sementara di Gua Temu dijumpai ribuan individu kelelawar Miniopterus sp.

 Kelelawar pemakan serangga memiliki fungsi pengendali hama pertanian, Kelelawar penghuni Gua Joglo dan Gua Jagung dalam satu malam diperkirakan mampu memakan 2,2 kilogram serangga yang berpotensi menjadi hama pertanian. Areal persawahan yang masuk dalam cakupan jelajah kelelawar yang tinggal di gua-gua tersebut mencapai 33.925 hektar (diolah dari data KLHS). Nilai ini belum ditambahkan kelelawar yang menempati gua-gua lainnya.

(baca : Kemelut Penyelamatan Karst Kendeng dari Tambang Semen, Potret Carut Marut Agraria di Indonesia)

 

Pentingnya Bentang Alam Gua

Union Internationale de Speleology (UIS) mendefiniskan gua sebagaimana pendapat Fink (1973) bahwa gua merupakan “rongga alami di bawah tanah yang cukup dimasuki manusia, di mana sebagian atau seluruhnya dapat terisi oleh endapan, air atau es”.

Pendapat ini sebenarnya sudah lama dibantah oleh para ahli karst internasional, salah satunya adalah Bogli (1980) yang menyatakan pendapat tersebut tidak didasarkan pada fakta-fakta ilmiah. Ford & William (2007) secara spesifik berpendapat “gua adalah rongga hasil pelarutan dengan diameter yang cukup memungkinkan terbentuknya aliran turbulen”. Bogli (1980) dan Gillieson (1996) lebih lanjut menjelaskan diameter saluran yang memungkinkan mulainya terbentuk aliran turbulen adalah 5-15 mm.

Dalam identifikasi pemanfaatan potensi kawasan batugamping yang banyak dilakukan selama ini, pihak-pihak yang tidak begitu memahami perihal karst masih menganggap keberadaan gua hanya sebatas titik di atas peta.

Faktanya, gua adalah sebuah mikro ekosistem yang memiliki peran penting bagi ekosistem di luar gua yang jauh lebih luas. Lorong gua di dalam tanah tidak berdiri tunggal dan memiliki kemungkinan membentuk jaringan yang rumit dan panjang. Lorong gua tidak selamanya bisa dimasuki oleh manusia, sehingga untuk membuktikan keterkaitan satu lorong gua dengan lorong gua lain, selain harus melakukan pemetaan gua juga perlu ditunjang metode survei lain seperti metoda pelacakan dengan menggunakan zat perunut atau survei geofisika.

 

Lembah tertutup di antara perbukitan karst yang dikenal dengan istilah doline dimanfaatkan oleh warga menjadi areal perkebunan jagung yang subur di kawasan kabupaten Rembang, Jateng. Foto : Rodhial Falah

 

Menurut Peraturan Pemerintah No.26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kawasan yang memiliki Bentang Alam Gua dikategorikan sebagai Cagar Alam Geologi dari sisi keunikan bentang alam (Pasal 60 poin 2c), yang jika dirunut ke atas menjadi bagian dari Kawasan Lindung Nasional. Pada pasal yang sama Bentang Alam Karst (KBAK) yang selama ini ramai menjadi bahan diskusi berada pada poin 2f. Hal ini menunjukkan, Bentang Alam Gua memiliki bobot yang sama dengan Bentang Alam Karst yang seharusnya dipertimbangkan dalam proses penetapan suatu kawasan menjadi Kawasan Lindung.

Melihat kembali hasil kajian KLHS dengan mempertimbangkan fakta-fakta lapangan yang ada di dalamnya, dengan merujuk PP 26 tahun 2008 sebagai induk peraturan tata ruang dan tata wilayah nasional, Kawasan Watuputih memang layak ditetapan sebagai Kawasan Lindung Nasional, karena selain terbukti sebagai Kawasan Resapan Air, Kawasan Imbuhan Air Tanah dan Kawasan Bentang Alam Karst, juga merupakan kawasan yang memiliki puluhan Bentang Alam Gua yang perlu dikaji lebih mendalam.

 

***

*Rodhial Falah, penulis adalah Sekretaris Indonesian Speleological Society (ISS) dan Anggota Acintyacunyata Speleological Club (ASC)

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,