Trauma Perempuan dan Anak-anak Kala Kekerasan Warnai Pembangunan PLTA Seko

 

 

Pembangunan PLTA, PT Seko Power Prima di Seko Tengah, Sulsel menuai protes. Warga khawatir pembangunan pembangkit listrik ini bakal mengancam kehidupan mereka. Sejak awal, warga merasa tak mendapatkan sosialisasi atau informasi cukup soal pembangunan ini. Sejak 2014, mereka protes. Sebanyak 13 orang sudah dipenjara. Ketegangan terjadi di kampung-kampung.

Anak perempuan berusia dua tahunan di Kampung Pokapaang, Desa Tana Makaleang, Seko Tengah, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, begitu piawai menirukan cara polisi menembakkan senjata berisi peluru gas air mata. “Tung…tung,” katanya sambil memposisikan tangan seakan memegang senjata.

Anak itu melihat aksi penembakan, pada 27 Maret 2017, di Kampung Poririang, Seko Tengah, lokasi pengeboran PT Seko Power Prima. Ibunya, yang tegas menolak PLTA karena khawatir lahan hidup mereka bersama ratusan keluarga lain hilang.

Si ibu bersama ratusan perempuan, menggelar unjuk rasa. Membuat pagar sederhana mengelilingi peralatan perusahaan. Ketika aparat kepolisian datang dan berusaha membubarkan, para perempuan berpegang tangan menyerupai lingkaran.

Aparat memberi perintah untuk memindahkan ibu yang menggendong anak. “Nanti kalau mereka kena, hukumannya berat.”

Dari jarak tak begitu jauh, ibu dan anak dua tahun itu, duduk menyaksikan aksi. Di depannya,  seorang aparat menyilangkan tangan memuntahkan gas air mata, ke tengah lingkaran para perempuan. Mereka lari kocar kacir. Sarung dan baju jadi penutup wajah sambil berjalan pelan dan bubar.

Baca juga: Kala Protes PLTA, Belasan Warga Seko Ditangkap

Siti Aisyah dari Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, kala mengunjungi Seko 7 April 2017, mendengar kisah-kisah memilukan para perempuan ini.

Di dapur seorang warga, puluhan perempuan bergantian menceritakan kisah mereka. “Ada ibu yang sembunyi di kolam tampungan air dan ditodongkan senjata. Ada ibu dapat ancaman akan ditembak,” katanya.

“Apakah ini bukan pelanggaran?” katanya.

Siti juga bertemu anak SD berhenti sekolah karena selalu dimarahi guru buntut ibunya menolak pembangunan PLTA.

“Perempuan atau laki-laki dan anak-anak, atau warga penolak PLTA mulai trauma. Jika mereka bertemu orang baru, akan bertanya apakah pro PLTA atau tidak. Baru bisa cerita.”

Sebelumnya, 2 Maret 2017, warga Seko Tengah mayoritas perempuan menggelar aksi di Ratte, titik lain pengeboran. Di tempat itu, polisi lebih awal menghadang massa dan memblokade jalan menuju lokasi. Aparat bersenjata lengkap.

Rahmawati (29), disapa Ibu Amma, berjalan di sisi petugas keamanan. Dia mendapat dorongan keras. Badan terpental dan jatuh. Kepala pusing. Dia ketakutan. Sambil menutup mata, Amma memikirkan anak dan keluarga. Beragam pertanyaan bermain dalam kepala.

“Bagaimana kalau saya mati, siapa yang urus keluarga,” katanya.

Sebelum Amma berdiri dibantu warga lain, seorang polisi berdiri di dekatnya. Tak sedikitpun menghiraukan kondisi Amma. Sambil mengacungkan tangan kiri, dia berbicara di depan perempuan lain.

“Ada hukum ya. Silakan melapor ke bawah (Polres Masamba, ibukota kabupaten-red). Saya penegak hukum. Saya penegak hukum. Saya diperintah ada karena negara,” katanya bersuara lantang, dalam sebuah rekaman video.

Pada rekaman lain, dalam sebuah perundingan, polisi bahkan berbicara seolah jadi juru runding perusahaan.

“Polisi seharusnya netral. Dia digaji negara dan uang rakyat. Jadi melihat video itu, polisi seperti humas saja. Tak etis,” kata Ibrahim, kuasa hukum warga Seko dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara.

Saya menonton puluhan video kekerasan terhadap warga Seko yang berupaya menjaga daerah mereka.

 

Warga Seko, protes pembangunan PLTA karena khawatir mengancam kehidupan mereka. Semua turun bergerak, baik laki-laki dan perempuan bahkan membawa anak-anak. Foto: dari video aksi Seko

 

 

Dengar pendapat?

Saya bertemu Rahmawati, di ruang pertemuan lantai dua Gedung DPRD Sulawesi Selatan, 10 April 2017. Wajah kelihatan tegang. Dia duduk di barisan depan.

Hari itu, rapat dengar pendapat antara warga, dewan provinsi, Dewan Luwu Utara, kepolisian, dan perwakilan PT Seko Power Prima.

Mahfud Yunus, Ketua DPRD Luwu Utara bicara paling banyak. Dia berungkali mengatakan, jika kedatangan warga Seko ke parlemen membuat dia sangat malu.

“Saya mau sekali. Malu sekali saya ini. Harusnya masalah ini diselesaikan di kabupaten saja. Keluarga-keluarga dari Seko, harusnya tahu ini. Ini kan tak ada masalah,” katanya.

“Kita itu sudah sosialisasi di Seko, semua orang menerima. Seko Tengah, menerima semua. Sekarang ada menolak, jangan-jangan itu orang luar,” katanya.

Baca juga: Buntut Menolak PLTA, Warga Adat Seko Mendekam di Balik Jeruji

Mahfud Yunus, Ketua DPRD Luwu Utara dari Partai Golongan Karya. Dia jadi anggota Dewan Luwu Utara sudah dua periode. Selama dua jam lebih dalam pertemuan dengar pendapat, dia berbicara begitu menggebu-gebu. Tak kurang dari 10 kali, Mahfud mengucapkan kata malu.

Saat perwakilan warga menyampaikan pendapat, Mahfud acap kali memotong, mengingatkan agar bicara jangan berbelit-belit. “Langsung ke inti saja,” katanya.

Ada empat perwakilan warga menyampaikan pandangan. Tak sekalipun Mahfud melihat, malah memalingkan wajah. “Begini saja. Nanti kita akan undang semua. Lalu kita bicara di Seko atau di Masamba. Ini sangat memalukan karena harus sampai provinsi. Malu saya,” katanya.

Setelah pertemuan, “Bapak sudah baca Andal PT Seko Power Prima?” tanya saya.

“Belum pernah. Saya ini pejabat baru. Saya belum lihat semua itu,”katanya.

“Kan sudah sering kali sosialisasi?”

“Data-datanya dari SKPD (instansi-red) terkait. Soal Andal dan rencana lain, kita liat saja nanti.”

 

Baru eksplorasi

Ginandjar, Manager PT Seko Power Prima menemui saya di sebuah kedai Selasa 18 April 2017. Sekitar dua jam, kami berbincang. “Saya liat pemberitaan di beberapa media, sudah tak berimbang. Tak mengerti substansi,” katanya.

Ginandjar dalam berbicara selalu menggunakan kata sapaan bos. Begitu pun saat mengirimkan pesan. “Jadi begini. Perusahaan masih tahap survei. Pengeboran di beberapa titik untuk melihat lapisan batuan, apakah aman jika ditempatkan jalur air kelak,” katanya.

“Jadi kita belum bicara desain final. Nanti kalau sudah jadi desain final kita adakan sosialisasi dan rembuk lagi. Mana nih, tanah masyarakat yang kena dampak. Kita akan bayar sesuai.”

Dia bilang, kini sulit sekali mediasi dan diskusi. Masyarakat terus menolak. “Jawabannya hanya satu tolak PLTA. Kenapa mereka menolak, itu mereka juga tak tahu. Yang penting menolak,” katanya.

Dalam dokumen rencana usaha penyediaan tenaga listrik  (RUPTL) PT PLN (Persero) 2015-2024, PLTA Seko I (Sungai Betue) dan PLTA Seko II (Sungai Uro) jadi salah satu rencana pengembangan pembangkit di Sulsel.

PLTA Seko I-saat ini jadi polemik–ditargetkan beroperasi 2023 atau 2024 dengan kapasitas 480 MW dengan lahan sekitar 600 hektar.Sekitar 20 hektar buat bendungan (dam), selebihnya jalur air yang dilalui menuju rumah turbin di Ratte, berjarak sekitar 18 km.

“Jadi kita akan gunakan pipa atau beton dan menanam di bawah tanah. Kedalaman sekitar 40 meter. Jadi di bagian atas masyarakat bisa aktivitas lagi. Jadi tak ada yang dirugikan. Ini kita bingung, belum bekerja sudah ditolak,” ucap Ginandjar.

Jika PLTA berfungsi, sistem pakai run of river,  dengan mengalihkan air dari bendungan menuju turbin. “Kenapa kita membendung atau menampung air, untuk mendapatkan ketinggian sama menuju turbin. Air akan jatuh. Ketinggian dam juga paling sekitar 15 meter. Jadi cerita akan menenggelamkan desa, itu salah.”

Dokumen Peraturan Daerah tentang Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Luwu Utara, Seko tak untuk PLTA. “Tahun 2012, ketika kami mulai survei, dan menyatakan ada potensi PLTA di Seko, Pemda Lutra kaget. Saya kira itu tak jadi soal, hanya orang-orang yang berkecimpung yang bisa melihat potensi itu,” ucap Ginandjar.

Investasi PLTA, katanya, sampai Rp25 triliun. Sejak 2014, telah pelebaran jalan menuju Seko–sekitar 60 km. Pendanaan murni investasi asing. Setelah tahap konstruksi pembangunan kebutuhan tenaga kerja sampai  6. 000 orang.

“Kami membawa investasi ini masuk. Jika kelak tidak dapat dilanjutkan itu risiko. PLTA ini untuk kemaslahatan warga. Kenapa sih kok seolah-olah dihalangi,” katanya.

Tahun 2014, ketika mereka pertama kali mengunjungi Seko dan sosialisasi, masyarakat terbuka. Menjelang 2015, beberapa warga mulai menolak karena isu pertambangan.

Pada 2016, beberapa warga Seko, perangkat daerah, termasuk pengurus Aliansi Masyarakat Adat Tana Luwu dibawa ke Bengkulu melihat praktik PLTA. “Sepulang dari Bengkulu. Teman-teman AMAN Tana Luwu, lebih duluan menuju Seko. Kemudian riak penolakan makin besar sampai sekarang. Padahal waktu di Bengkulu kami sama-sama dan mereka setuju,” katanya.

Akhirnya, protes warga terjadi. Perusahaan bahkan memobilisasi aparat kepolisian menuju Seko. Warga terus bertahan. Beberapa kali mereka mendatangi wilayah pengeboran dan mengambil sampel tanah dan dibuang kembali ke sungai. Tenda perusahaan digulung. Buntutnya, 13 warga Seko vonis tujuh bulan penjara.  Amisandi, warga lain, kini menjalani persidangan.

Sampai kapan sengketa agraria ini berakhir? “Saya kira akan elok, jika pemda dan perusahaan menghentikan sementara. Sampai semua warga benar-benar tenang. Proses hukum berjalan baik,” kata Siti.

Dia bilang, konflik mengenai sumber daya alam, perempuan dan anak akan merasakan dampak besar. “Sekarang mereka trauma.”

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,