Yuliana Wetuq, Perempuan Tangguh Penjaga Hutan Lindung Wehea (Bagian 3)

 

 

Bagi wanita ini hutan adalah sumber kehidupan. Adat dan kepercayaan leluhur, membuatnya yakin menentukan pilihan, melanjutkan perjuangan sang ayah. Menjadi penjaga Hutan Lindung Wehea, warisan paling berharga nenek moyang mereka.

Dia adalah Yuliana Wetuq, akrab disapa Ming. Perempuan 41 tahun ini, putri pertama Kepala Adat Dayak Wehea, Ledjie Taq. Sehari-hari, Ming bergelut dengan Hutan Lindung Wehea seluas 38 ribu hektare. Layaknya rumah sendiri, Ming tahu betul kondisi hutan.

“Hutan Lindung Wehea adalah warisan leluhur warga Dayak Wehea. Di sana tersedia rantai makanan bagi semua mahkluk hidup. Ada satwa liar dan tumbuhan yang kami jaga,” tuturnya, pekan lalu.

 

Baca: Jalan Panjang Hutan Lindung Wehea, Dihantui Pembalakan dan Dikepung Sawit (Bagian 1)

 

Hutan Lindung Wehea dihuni satwa liar seperti orangutan, beruang madu, macan dahan, dan kera uban. Tiap sore, suara enggang menghiasi hutan, bunyi arus sungai yang lembut menambah kedamaian Wehea.

“Hutan kami tetap bertahan, walau bersebelahan dengan sawit. Ada kehidupan yang kami jaga. Orangutan, beruang madu, dan burung enggang adalah pemilik Wehea. Tidak ada konflik, peraturan kepala adat melarang perburuan satwa lindung di sana,” jelasnya.

Ming mengatakan, semua warga Dayak Wehea adalah penjaga hutan. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak pun kerap berkeliling, memastikan Wehea aman dari segala ancaman. “Kami adalah Suku Dayak Wehea, kami mencintai Hutan Lindung Wehea, tempat pertama leluhur kami menciptakan sub Dayak Wehea,” ungkapnya.

Ming ingin seperti sang ayah, melestarikan adat dan warisan leluhurnya. Selama hidupnya, dia berjanji akan terus menjaga Wehea.

“Bapak saya adalah kepala adat yang tidak ingin kehilangan istiadat leluhur. Pesta adat dan ritual-ritual kepercayaan terus dilestarikan. Ketika saya melihat perjuangan bapak untuk Wehea, saya merasa wajib menjadi penjaga hutan, melanjutkan perjuangannya.”

Tidak sendiri, sang suami dan tiga anak Ming mendukung langkahnya. Ming yakin, dirinya diciptakan Tuhan untuk menjaga Wehea bersama keluarga lainnya. “Suami saya dulunya juga penjaga hutan. Dia sangat mengerti kegiatan saya, terus memberi semangat.”

 

Baca juga: Lom Plai, Kearifan Masyarakat Dayak Wehea Melestarikan Budaya dan Lingkungan (Bagian 2)

 

Perjalanan Wehea menjadi hutan lindung adalah perjalanan panjang. Saat itu, tidak ada perhatian dan izin sawit jor-joran dikeluarkan. Ketika The Nature Concervancy (TNC) melakukan pendampingan, Kepala Adat Ledjie Taq membawa nama Wehea hingga ke pemerintah pusat.

“Patung nenek moyang langsung kami tancapkan di pintu masuk hutan. Semua warga tidak berani melangkahi hutan dan menjarah isinya.”

Ming bangga pada sang ayah, yang berhasil memperjuangkan Wehea menjadi hutan adat. Ming makin yakin, jika suatu saat nanti, Sub Dayak Wehea yang kecil akan menjadi sub suku lainnya. “Sub kami memang kecil, tapi kami berhasil mempertahankan hutan adat. Melestarikan peninggalan nenek moyang.”

 

Bagi Yuli, Hutan Lindung Wehea adalah sumber kehidupan yang harus dijaga. Menjadi penjaga hutan Wehea adalah pilihan hidupnya. Foto: Akus Facebook Yuli Watuq

 

Pulang kampung

Dulunya, Ming adalah pegawai kontrak yang diperbantukan di kantor Badan Lingkuhan Hidup (BLH) Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur (Kaltim). Ketika Hutan Wehea dikembalikan menjadi Hutan Adat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ming lantas memilih pulang kampung. Dia menjadi kepala logistik untuk 35 pemuda penjaga hutan, sekaligus orang pertama yang memasang plang nama hutan adat di tengah Wehea.

“Saya melihat hutan dari sisi leluhur, hutan sebagai sumber kehidupan.”

Setiap bulan, Ming masuk hutan yang jaraknya puluhan kilometer dari permukiman Dayak Wehea, Desa Nehas Liah Bing, Muara Wahau, Kutai Timur. Dia membawa logistik, segala keperluan penjaga hutan. Seminggu, dia patroli keliling, bahkan rela tidak berkomunikasi dengan dunia luar, jika hutan dirasa belum aman.

Peralihan pengelolaan hutan yang kini berada di tangan Pemerintah Provinsi Kaltim, membuat para penjaga hutan bekerja ekstra. Dari 35 orang awalnya, berkurang menjadi 7 personil.

“Jumlah sekarang tidak seimbang dibanding luas Wehea. Kami terus berupaya mengusulkan pada pemerintah untuk upah para penjaga hutan. Meski, kami tidak pernah mengharap lebih. Ini dikarenakan mereka sudah berkeluarga.”

 

Hutan Lindung Wehea, adalah warisan paling berharga nenek moyang Suku Dayak Wehea yang harus mereka jaga kelestariannya. Foto: Akun Facebook Yuli Watuq

 

Wisata budaya dan pendidikan

Pengalaman menjadi penjaga hutan, mengajarkan Ming melihat potensi Wehea. Tidak hanya peneliti asing, turis asing dan lokal juga kerap keluar masuk Wehea. Ming melihat potensi wisata sangat besar di hutan tersebut. Ming ingin mempromosikan keindahan Wehea pada dunia.

“Saya sering mendampingi turis dan peneliti. Potensi wisata pendidikannya sangat besar. Saya ingin semua orang tidak mengenal Wehea hanya sebagai hutan lindung, tapi juga sebagai hutan pendidikan,” katanya.

Ming bermimpi, suatu saat nanti para penjaga hutan bisa bahasa Inggris. Sehingga ketika turis atau peneliti datang, para penjaga bisa menjelaskan segala isi hutan tanpa repot membuka kamus. “Saya ingin teman-teman lebih maju.”

Ming bertekad, tidak akan pernah berhenti menjaga Hutan Lindung Wehea beserta adat istiadat nenek moyangnya. “Saya akan terus menjaga harta ini. Hutan Lindung Wehea adalah paru-paru dunia,” pungkasnya. (Selesai)

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,