Naomi Srikandi, Berkarya, Suarakan Para Petani Pejuang Lingkungan

 

 

Hari Kartini jatuh pada 21 April, dan Hari Bumi setiap 22 April. Memperingati dua hari penting ini, Mongabay, menyajikan seri tulisan mengenai perjuangan dan upaya perempuan-perempuan dalam menjaga lingkungan dan alam. Mereka bekerja tanpa pamrih. Bagi para perempuan ini, memulai berbuat sesuatu bagi alam walau kecil lebih baik daripada tidak sama sekali. Mereka sosok-sosok inspiratif.

 

Tulisan kedua, cerita mengenai sosok Naomi Srikandi.  Sejak kecil dia sudah bergiat seni. Aktris teater, sutradara dan penulis naskah, anak perempuan penyair W.S.Rendra dengan Sitoresmi Prabuningrat ini dalam dua tahun belakangan mendedikasikan diri pada persoalan alam dan lingkungan.

Baca juga: Cerita Para Perempuan Penjaga Mangrove dari Papua

Hampir setiap saya bertemu, topi hitam bertuliskan “Kendeng Lestari” selalu dia kenakan. Setahun ini, perjuangan para Kartini Kendeng menginspirasinya menulis novel.

“Novel sedang saya tulis,” kata perempuan kelahiran Yogyakarta 1975 ini, Kamis (20/4/17).

Sepuluh tahun ini, Naomi bicara soal isu seksualitas dan gender lewat karya tulis dan pertunjukan. Persoalan lingkungan hidup, katanya,  sudah mengganggu pikiran dia sejak usia belasan tahun.

Saya ingat, ketika SMP, mulai tertarik baca lampiran khusus tentang Hari Bumi di Majalah Gadis. Saya rajin bikin kliping berita tentang upaya penyelamatan lingkungan hidup. “Itu tahap belajar paling awal, selain sudah diajari orangtua hal sederhana tapi penting, seperti membuang sampah di tempatnya, sampai perlindungan bagi kucing-kucing telantar,” katanya.

Dulu, Naomi sempat berkhayal jadi awak kapal Rainbow Warrior, Greenpeace. Namun, bapak bilang semua awak Rainbow Warrior itu punya keahlian hingga mereka punya fungsi di kapal. “Di situ, saya sadar, harus banyak belajar dan membangun disiplin untuk bisa berfungsi dalam perjuangan.”

Baru setelah mengolah disiplin kesenimanan, dia melihat berbagai isu ketidakadilan, termasuk isu lingkungan. Semua saling berkait dan memang membutuhkan kerja interdisiplin.

“Lingkungan hidup dan perempuan bukan dua sektor terpisah. Sebagai pekerja seni mesti bisa menyumbangkan estetika sebagai kerangka kerja dalam menyelidiki perkara perempuan dan lingkungan,” katanya.

Sembari menulis novel terinspirasi dari perempuan Kendeng, dia menulis beberapa puisi dan cerita pendek sebagai reaksi-reaksi spontan saat berinteraksi dengan para petani pejuang dalam menghadapi persoalan.

Naomi makin dekat dengan mereka, para perempuan pejuang lingkungan, hingga makin mengalami dan menyadari isu mereka dia juga. “Kami bersama sadar, perjuangan mereka pada alam, juga bagian dari perjungan saya.”

Naomi geram, banyak kebijakan pemerintah tak pro lingkungan dan tak libatkan perempuan, seperti kebijakan berkaitan proyek merusak alam. Pemerintah tak pro lingkungan, tak memahami bahwa hal-hal terkait ruang hidup dan ekologi sangat bergantung dan berdampak pada perempuan.

 

Naomi Srikandi, sedang menyiapkan novel terinspirasi dari perjuangan para petani Kendeng. Foto: Naomi Srikandi

 

 

***

Dua tahun ini, Naomi sering bersama petani dan perempuan petani di Kulon Progo, Bantul dan Gunung Kidul dengan ruang hidup terampas penguasa. Lahan tani mereka terambil paksa atas nama pembangunan bandara, Sultan Ground maupun Pakualaman Ground.

Perjuangan petani perempuan dalam mempertahankan hak hidup, bagaikan Kartini yang hidup seabad lalu. Lewat suratnya,  Kartini memberitahu Stella, sahabatnya,  semboyan hidup, “Aku mau!” Dia ingin sahabatnya menjaga api perjuangan dengan penuh harapan dan semangat menggelora. “Jangan biarkan padam. Jangan biarkan aku terlepas.”

Patmi, petani Kendeng, kata Naomi, melalui aksi mengecor kaki dengan semen, memberitahu apa yang dia mau. “Aku mau Pak Jokowi segera menyelesaikan masalah ini!” Begitu kata almarhun Patmi.

“Kita yang menyaksikan  terpanggil untuk berpikir ulang tentang hidup dan betapa kita ingin juga memperjuangkan.”

“Kartini dulu dan kini, seperti Patmi adalah manusia yang berpikir melampaui kepentingan individu mereka, melampaui zaman mereka sendiri. Mereka visioner,” ucap Naomi.

Petani dan perempuan tani di Kulon Progo, Kendeng, dan berbagai daerah lain, yang berjuang pada ruang hidup mereka, berbuat sejauh ini karena tahu cita-cita mereka.

“Kartini melawan kolonialisme dan feodalisme. Perjuangan perempuan sekarang, melawan fasisme nasional-militer yang didukung korporasi besar.”

 

Warga Pegunungan Kendeng, perempuan dan laki, semen kaki sesi II di depan Istana Jakarta. Foto: Lusia Arumingtyas

 

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,