Basri Madung, Generasi Terakhir Pembuat Perahu Pinisi di Tana Beru Bulukumba

Hari sebentar lagi gelap, Basri Madung bergegas berjalan menuju pinggir pantai di mana puluhan perahu kayu berjejer rapi. Saya mengikuti derap langkahnya susah payah, dengan pandangan yang waspada di jalan-jalan yang dilalui. Penuh sisa-sisa kayu, sampah dan beling botol yang bisa saja melukai kaki.

Basri adalah salah seorang pembuat perahu Pinisi di Tana Beru, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawasi Selatan. Tana Beru ini sendiri dikenal sebagai salah satu pusat pembuatan perahu Pinisi, perahu khas Bugis – Makassar yang ketenarannya hingga ke mancanegara.

Sore itu, awal April 2017 lalu, Basri mengajak saya melihat perahu-perahu yang sementara dalam proses pengerjaan. Terdiri dari berbagai ukuran, sesuai dengan peruntukannya.

“Kalau perahu besar biasanya untuk kargo. Ada juga untuk penumpang, penangkap ikan dan pelayaran untuk turis-turis,” ungkapnya.

(baca : Perahu Phinisi, Antara Sejarah dan Hutan Kajang yang Terancam)

 

 

Sebuah perahu besar terlihat belum selesai pengerjaannya meski badan perahunya sudah terlihat kusam. Konon perahu itu dulunya dipesan oleh seorang pengusaha transportasi, yang sudah membayar panjar. Sayangnya, perahu itu tak diselesaikan karena pemiliknya keburu bangkrut, kapalnya yang lain karam di tengah laut.

Perahu-perahu lain memiliki ukuran yang berbeda-beda. Sore itu suasana Tana Beru agak sepi dan aktivitas pengerjaan perahu baru saja selesai. Masih terlihat sisa-sisa kayu berserakan di sekitar tempat tersebut.

Menurut Basri, pembuatan kapal bisa memakan waktu berbulan-bulan atau malah tahunan. Selain karena faktor ukuran juga ketersediaan anggaran dan bahan baku. Sistem pembayaran pembuatan sebuah perahu sendiri bisa secara tunai, namun seringnya dengan pembayaran tiga kali. Tergantung pada kesepakatan.

“Biasanya ada uang muka 30 persen, baru kemudian 20 persen lagi. Sisanya dibayar setelah perahu selesai. Dulu pernah tanpa uang muka, tetapi sekarang susah karena kita butuh modal beli bahan baku, bayar tukang dan segala macam.”

Untuk mendapatkan bahan baku kayu berupa kayu bitti dan kayu besi (ulin) biasanya tidak begitu sulit. Para pedagang kayu biasanya akan datang sendiri ke rumah kepala tukang jika mengetahui adanya rencana pembuatan perahu. Hanya saja kadang pengadaan kayu-kayu ini harus menunggu beberapa lama ketika permintaan banyak.

 

Basri Madung, salah satu pembuat perahu di Tanahberu, Bulukumba, Sulsel, adalah generasi terakhir pembuat perahu Pinisi. Anak-anak mereka tak ada lagi yang mau mewarisi pengetahuan dan pekerjaan mereka. Foto: Wahyu Chandra

 

Beralih ke Fiber

Kehidupan pembuat perahu Pinisi tidak selamanya seindah bayangan orang. Untuk kepala tukang seperti Basri, yang biasanya hanya membuat perahu ukuran menengah dan kecil, penghasilannya sekedar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pemesanan juga tak sering ada. Basri mengakui sudah setahun terakhir tak membuat perahu.

“Ini baru ada lagi pesanan, tapi belum dikerjakan, mungkin bulan depan baru bisa mulai,” katanya.

Lesunya pemesanan perahu antara lain karena sebagian nelayan kini sudah meninggalkan perahu dari kayu, beralih ke perahu berbahan fiber. Program pengadaan perahu dari pemerintah juga lebih banyak untuk perahu berbahan fiber.

“Tahun lalu masih ada pesanan perahu kayu, tetapi sekarang sudah fiber semua. Saya tidak begitu paham cara pembuatan perahu dengan fiber. Pernah saya coba, tangan saya malah gatal-gatal. Biasanya, meskipun perahunya dikerjakan di sini namun pekerjanya didatangkan dari luar.”

Tren penggunaan perahu fiber memang terjadi di kalangan nelayan. Perahu fiber dianggap lebih ringan dan tahan lama dan tak memerlukan perawatan yang banyak seperti pada perahu kayu. Usia perahu kayu memang lebih pendek, apalagi kalau jarang dibersihkan. Tidak hanya karena faktor lapuk karena air laut, tetapi karena serangan kutu air, sejenis rayap yang bisa merusak bagian-bagian luar perahu yang tak dibersihkan.

 

Perahu kayu kini tergantikan perahu dari bahan fiber yang dinilai lebih tahan lama dan ringan. Program bantuan pemerintah juga kini lebih banyak dalam bentuk perahu fiber sehingga berdampak pada semakin merosotnya produksi perahu kayu. Foto: Wahyu Chandra

 

Keuntungan dari perahu pesanan pemerintah biasanya tak banyak karena telah melalui banyak tangan sebelum sampai ke dirinya atau pembuat perahu lain. Perahu pesanan pemerintah juga biasanya memiliki spesifikasi atau model tersendiri sehingga para pembuat perahu tidak bisa berkreasi sesuai dengan pengetahuannya selama ini.

Keuntungan baru banyak ketika pemesannya adalah wisatawan dari luar negeri, yang  biasa  berasal dari Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Mereka rela membayar lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik.

“Kalau pesanan bule-bule itu biasanya kita bisa untung banyak karena pesanan ukuran besar dan tidak begitu peduli dengan harga. Cuma saya belum pernah membuat perahu untuk mereka. Paling saya bikin perahu untuk ukuran sedang dan kecil saja.”

Harga sebuah perahu juga bermacam-macam sesuai ukuran dan pada kesepakatan. Bisa dalam bentuk komplit hingga tahap pengecatan. Kadang tukang hanya menyiapkan kayu, sementara baut dan peralatan dan kelengkapan lainnya disiapkan oleh pemesan. Untuk mesin biasanya tidak termasuk dalam kesepakatan pekerjaan.

Sebuah perahu Pinisi ukuran besar bisa seharga Rp700 juta – Rp2 miliar. Sementara untuk perahu-perahu kecil nilainya sekitar belasan atau puluhan juta.

 

Lambung perahu phinisi dari kayu bitti. Keterbatasan kayu bitti harus segera disikapi oleh pemangku kepentingan di Kabupaten Bulukumba agar ada solusi: meningkatkan produksi kayu bitti dan pembuatan kapal bersejarah, phinisi tetap berjalan. Foto: Christopel Paino

 

Dari Belia

Basri sendiri sudah menjalani profesi sebagai pembuat perahu pinisi sejak 30 tahun lalu, ketika usianya masih sangat belia. Awalnya ia ikut magang pada pamannya, setelah mampu membuat perahu ia pun membuat usaha sendiri.

“Dulu saya sempat merantau, tetapi kemudian ada yang mengajak kerjasama bikin usaha perahu, jadi saya pulang kembali kesini bikin usaha sendiri.”

Ada sebuah tradisi tersendiri bagi pembuat perahu Pinisi terkait jenjang pekerjaan. Seorang yang baru mau belajar biasanya akan memulai karirnya sebagai tukang masak (dapur). Tugasnya menyiapkan semua kebutuhan konsumsi pekerja sambil sesekali bertanya atau memperhatikan detil-detil pekerjaan. Setelah itu ia akan naik jenjang sebagai tukang bor, sebelum akhirnya menjadi tukang.

“Cuma sekarang memang tidak semua seperti itu lagi. Ada yang bisa langsung jadi tukang, yang penting dianggap sudah mampu.”

Pengetahuan Basri adalah hasil pembelajaran bertahun-tahun dari sebuah tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Misalnya dalam hal pembuatan perahu itu sendiri ternyata memiliki urutan pengerjaan tersendiri. Dimulai dari tulang tengah yang disebut lunas, sebelum akhirnya ke bagian perahu yang lain.

Dalam pembuatan perahu ini juga harus memperhatikan aspek spritualitas dimana ada beberapa ritual-ritual yang harus dijalankan, mulai dari awal pembuatan hingga akhir. Selain itu ada beberapa pamali yang tak boleh dilanggar selama proses pembuatan perahu ini berlangsung.

 

Tumpukan kayu bitti, sebagai bahan utama pembuatan lambung kapal dengan lengkungan alami. Kini, kayu jenis ini sudah menipis, salah satu yang masih banyak di hutan Tana Toa, milik Suku Kajang. Foto: Christopel Paino

 

Sulit Regenerasi

Tantangan pembuat perahu tidak hanya pada lesunya pemesanan dan keterbatasan bahan baku kayu, tetapi juga pada sumber daya manusia pelanjut pembuat perahu sekarang.

Menurut Basri, sebagian besar generasi muda di Tana Beru sekarang lebih banyak memilih merantau atau sekolah di luar kota dibanding menjadi pembuat perahu.

“Anak saya tidak mau menjadi pembuat perahu. Ia mau sekolah pelayaran di Makassar. Sekarang ikut di kapalnya Haji Kalla. Sebagian anak-anak sini kalau tamat sekolah juga lebih memilih sekolah pelayaran. Mungkin generasi saya sekarang menjadi generasi terakhir pembuat perahu di Tana Beru ini,” katanya.

Basri mengakui tak bisa berbuat banyak dengan pilihan anaknya karena tuntutan kehidupan yang lebih baik. Apalagi dari tahun ke tahun produktivitas perahu juga mulai menurun.

“Tidak bisa dipaksa juga karena memang tak ada minat mereka untuk membuat perahu. Saya lihat juga di teman-teman lain kondisinya sama.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,