Hal-hal yang Dilupakan dalam Rehabilitasi Mangrove

Awesome, life, charismatic tree. Demikian beberapa kata yang menjadi ingatan di kepala sejumlah peserta Konferensi Mangrove Internasional di Bali, akhir minggu lalu, yang melibatkan lebih 200 peserta dari 24 negara dalam tantangan satu kata tentang mangrove.

Tantangan yang ditawarkan pemandu sesi diskusi Hwan-ok Ma dari International Timber Trade Organization (ITTO). Konferensi international ekosistem mangrove berkelanjutan ini dilaksanakan bersama oleh ITTO, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan International Society for Mangrove Ecosystem (ISME). Berkolaborasi dengan the Center for International Forestry Research (CIFOR), the Asia-Pacific Network for Sustainable Forest Management and Rehabilitation (APFNet), AFoCo, dan lainnya.

Sebuah panel diskusi sebelum sesi penutupan mengelaborasi hal-hal yang kerap dilupakan dalam kesuksesan sebuah upaya rehabilitasi lingkungan. Ada 8 ahli, perwakilan pemerintah, dan aktivis yang membahas ini.

(baca : Begini Rekomendasi untuk Pelestarian Ekosistem Mangrove Dunia)

 

 

Tiga pertanyaan yang memandu diskusi panel adalah pertama bagaimana mangrove berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs)? Kedua, bagaimana kontribusinya pada Paris Agreement terkait mitigasi dan adaptasi? Ketiga, bagaimana strategi di tingkat lokal, nasional, dan internasional untuk jadi rencana aksi?

Hal-hal teknis seperti cara penanaman, analisis arus, kualitas air, dan berbasis ilmiah lainnya lebih kerap mendominasi dalam kerja-kerja penanaman kembali mangrove. Ini hal penting, namun ada tantangan lain yang sangat mempengaruhi selain dukungan alam dan teknis tanam. Yakni bagaimana warga sekitar tertarik merawat serta memantau hutan mangrovenya. Apakah mereka memiliki ikatan kuat yang memastikan keberlanjutan program konservasi? Berikut catatan dan pembelajaran dari negara lain di luar masalah teknis itu.

(baca : Cerita Para Perempuan Penjaga Mangrove dari Papua)

 

Keterlibatan Perempuan dan Anak Muda

Cecile Bibiane Ndjebet dari African Women’s Network for Community Management of Forest (REFACOF) Kamerun mengingatkan program pemberdayaan harus melibatkan perempuan di sekitar kawasan. “Peningkatan kapasitas teknis dan finansial bagi masyarakat adat dan komunitas marjinal di kawasan mangrove sangat penting,” ingatnya. Mereka menjadi garda depan yang merawat dan memantau mangrove.

Ia melanjutkan punya banyak pengalaman, restorasi dan rehabilitasi berhasil jika keberlanjutan muncul dari diri sendiri dan ada kepemilikan pada mangrove. “Beri akses pada informasi dan fasilitas. Analisis gender sangat penting dalam program rehabilitasi,” jelasnya.

Cecile menyebut fokus pada perempuan dalam menghadapi perubahan iklim memberikan banyak keuntungan. “Bakau tak mungkin tanpa perempuan dan kelompok muda. Biarkan perempuan memimpin restorasi dan rehabilitasi karena mangrove adalah sumber kehidupan,” lanjutnya.

(baca : Womangrove, Para Perempuan Penyelamat Mangrove di Tanakeke)

 

Perempuan Womangrove dari beragam usia dan pendidikan. Mereka berbaur dalam misi yang sama menghijaukan kembali Tanakeke, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan seperti kondisi semula sebelum rusak oleh hadirnya tambak. Foto : Wahyu Chandra

 

Istilah yang dipahami komunitas dan warga sekitar

Richard A. MacKenzie, doctor di Institute of Pacific Island Forestry, Amerika Serikat mengingatkan jika hanya mengembangkan teknik penanaman dalam rehabilitasi sering gagal jika hanya fokus menanam. Ia setuju jika perempuan diabaikan maka proyek restorasi gagal.

Pria peneliti ini memberi satu catatan penting lagi yakni keharusan menggunakan istilah yang dipahami warga atau komunitas lokal dalam edukasi dan kegiatan perbaikan lahan mangrove. “Misal karbondioksida, yang lebih dimengerti mungkin kata-kata air dan makanan,” ujarnya. Isu yang perlu lebih digaungkan adalah keamanan pangan dibanding perubahan iklim seperti istilah emisi dan stok karbon

(baca : Lestarikan Mangrove Sama Dengan Menunda Perubahan Iklim. Kok Bisa?)

 

Informasi dan Media Sosial

Aksi tak bisa tercapai tanpa kerja sama. Upaya memperbaiki kawasan mangrove yang rusak ini didorong untuk diprioritaskan karena fungsi fisik, ekosistem, sosial, dan budayanya yang luas. Lokasi pemijahan ikan, berkembang biak sebelum ke lautan lepas, filter limbah dan racun perairan, blue carbon, pusat pangan dan obat, benteng tsunami dan abrasi, dan banyak lagi.

Seluruh informasi ini diharapkan bisa tersebar luas, diketahui warga di luar kawasan mangrove juga untuk peningkatan kesadaran global. Media sosial yang terus bertumbuh penggunanya adalah peluang yang yang harus dimanfaatkan dalam distribusi informasi.

 

Taman Mangrove menjadi pelengkap setelah menyusuri sungai di kawasan Solaria Lamongan. Foto Anton Muhajir

 

Dampak Langsung Mangrove

Patricia Moreno-Casasola dari Institute of Ecology, Mexico menyatakan sebagai peneliti ia harus bekerja sama dengan warga dan pihak lain. Ia tertarik mengampanyekan apa saja dan berapa yang sudah diselamatkan oleh mangrove. Hal ini misalnya harus digerakkan oleh komunitas yang mendapat dampak langsung dan turis yang melakukan ekowisata.

(baca : Begini Pemberdayaan Nelayan Sekaligus Pelestarian Mangrove Dengan Ekominawisata di Lantebung. Seperti Apa?)

 

Museum mangrove dan jejak ekologinya

R.M.D. Alawathugoda, Conservator of Forest Research, Sri Lanka menyampaikan sekilas tentang museum mangrove yang sebagai pembelajaran dari negaranya.  Museum ini disebut yang pertama di dunia tentang mangrove, di Pambala, Sri Lanka yang menyediakan ragam pendidikan, fasilitas riset untuk komunitas, pelajar, guru, peneliti, dan lainnya. Dalam museum, sarana yang tersedia di antaranya materi pentingnya ekosistem mangrove, spesies, peta distribusi mangrove di Sri lanka, spesies ikan, fauna, koral, dan daur hidup udang-kepiting. Juga informasi mangrove di dunia.

Sebuah leaflet diletakkan di meja informasi tentang museum memudahkan peserta mengenal program dan sekilas manajemennya. The Sudeesa-Seacology Sri Lanka Mangrove Conservation Project pada 2015-2020 merencanakan untuk menunjukkan program-program konservasi mangrove di 14 daerah pesisir di Sri Lanka. Capaian program ini disebutkan ada 3 kawasan pembibitan besar yang memproduksi 500 ribu bibit. Juga ada 15 ribu organisasi berbasis komunitas dalam program konservasi mangrove di 14 daerah pesisir tersebut.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,