Kajian KPK Temukan Masalah Sawit dari Perizinan sampai Pungutan Pajak

 

 

Akhir Maret 2017, kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan masalah dalam industri sawit dari hulu (upstream) ke hilir (downstream). Kajian sistem pengelolaan komoditas sawit yang dibuat dari 2016 ini punya tiga poin penting permasalahan.

Tiga poin itu, pertama, sistem pengendalian perizinan perkebunan sawit tak akuntabel, kedua, tak efektif dalam mengendalikan pungutan ekspor sawit. Ketiga, pungutan pajak sektor sawit oleh Direktorat Jenderal Pajak juga tak optimal.  Tak heran, permasalahan ini jadi lintas kementerian dan sektor.

Pada 13 Maret 2017, KPK telah memaparkan hasil kajian ini kepada kementerian/lembaga, seperti Kementerian Pertanian, BPDP Sawit dan lain-lain.

Meski sawit jadi komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia, KPK menyayangkan pengelolaan menimbulkan banyak masalah. ”Lemah mekanisme perizinan, pengawasan, dan pengendalian membuat sektor ini rawan korupsi,” kata Febri Diansyah, Kabiro Humas KPK.

Masalah muncul, katanya, karena belum ada integrasi tata kelola usaha perkebunan sawit dari hulu hingga hilir. Jadi, prinsip keberlanjutan pembangunan tak terpenuhi.

Kondisi ini, katanya, bikin celah tindak pidana korupsi, misal, korupsi perizinan perkebunan melibatkan kepala daerah, antara lain Bupati Buol Amran Batalipu dan Gubernur Riau, Rusli Zainal.

Menurut Febri, permasalahan sisi hulu, tak ada mekanisme perencanaan perizinan berbasis tata ruang. Apalagi, integrasi perizinan masih belum memiliki skema satu peta atau one map policy. Sistem pengendalian perizinan, katanya, belum akuntabel daam memastikan kepatuhan pelaku usaha.

”Akibatnya, masih tumpang tindih izin seluas 4,69 juta hektar,” katanya.

 

Subsidi biofuel ngucur ke tiga grub perusahaan sawit

Di hilir juga parah. Subsidi biofuel salah sasaran dengan hanya tiga grup usaha perkebunan yang mendapatkan, 81,7 % dari Rp 3,25 triliun alokasi dana.

Berdasarkan laporan KPK, ada 11 perusahaan memperoleh dana perkebunan dalam program biofuel periode Agustus 2015-April 2016, PT Wilmar Bionerergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia,  PT Eterindo Wahanatama (Musim Mas). Lalu PT Anugerahinti Gemanusa; PT Darmex Biofuels, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Primanusa Palma Energi, PT Ciliandra Perkasa, PT Cemerlang Energi Perkasa, dan PT Energi Baharu Lestari.

Sebanyak 31% dari Rp3,2 triliun, yakni Rp1,02 triliun dana pungutan terbesar diterima PT Wilmar Nabati Indonesia. Adapun, biofuel yang diproses perusahaan mencapai 330.139.061 liter.

Pungutan US$50 per ton minyak sawit untuk ekspor dan US$30 per ton untuk ekspor turunan sawit. Pada pertengahan 2016, dana pungutan sampai Rp5,6 Triliun dan ditargetkan Rp10 triliun akhir 2017.

”Perluasan penggunaan dana, terutama untuk pemanfaatan bahan bakar nabati jelas tak sesuai ketentuan UU Perkebunan. Sistem pencatatan penerimaan negara dari pungutan ekspor itu tak efektif dan menimbulkan ketidakpastian penerimaah negara,” katanya.

KPK menilai subsidi salah sasaran diduga pengawasan pungutan ekspor sawit belum efektif karena sistem verifikasi belum berjalan baik. ”Penggunaan dana habis untuk subsidi biofuel.”

Padahal, masih ada keperluan lain seperti penanaman kembali, peningkatan sumber daya manusia, peningkatan sarana dan prasarana, promosi dan advokasi, dan riset.

Pungutan pajak sektor sawit pun masih tak optimal hingga ada kurang bayar pungutan Rp2,1 miliar dan lebih bayar Rp10,5 miliar. ”Tingkat kepatuhan pajak baik perorangan maupun badan usaha mengalami penurunan sejak 2011-2015.”

Penurunan ini, masing-masing 24,3% (wajib pajak badan) dan 36% (perorangan).

Dono Boestami, Direktur Utama BPDPsawit mengatakan, masih belum bisa memberikan komentar terkait kajian sawit KPK. ”Kami pelajari, karena masalah sawit sangat kompleks, tak dapat dilihat hanya sepotong-potong. Kita harus menyeluruh,” katanya. Kementerian Pertanian pun masih belum mau berkomentar atas kajian KPK ini.

 

Batas masa perbaikan

Dalam kajian itu, KPK memberikan 10 poin rekomendasi kepada kementerian dan lembaga terkait untuk menyusun rencana aksi perbaikan sistem pengelolaan sawit.

KPK pun akan memantau implementasi rencana aksi. Perbaikan sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan sawit untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha diberikan jangka waktu 12 bulan.

Sedangkan untuk ketidakefektifan pengendalian pungutan ekspor sawit, waktu selama empat bulan dan pungutan pajak sektor sawit tak optimal delapan bulan.

”Jika mereka tak kooperatif, KPK bisa berkirim surat ke Presiden, DPR dan BPK. Atau upaya penindakan mendorong proses perbaikan sistem,” kata Sulistyanto, Ketua Tim Korsup Pengelolaan Perkebunan Sawit.

Syahrul Fitra, peneliti hukum Yayasan Auriga mendesak KPK langsung berkoordinasi dengan Presiden Joko Widodo tanpa melalui kementerian, dalam menyusun langkah progresif guna memastikan K/L menjalankan rekomendasi KPK.

”Menentukan sanksi kepada K/L, mekanisme reward and punishment ataupun insentif dan disinsentif harus susun bersama KPK dan Presiden.

Auriga menilai, ada beberapa rekomendasi penting mendesak dilakukan K/L, yakni, membangun kebijakan satu peta perkebunan sawit, sistem informasi, penataan izin dan optimalisasi penerimaah pajak.

Menurut Syahrul, optimalisasi penerimaan negara menjadi rencana aksi prioritas. ”Karena terlalu banyak kebun sawit (produksi-red) tak membayar patuh ke negara.”

Optimalisasi langkah ini, katanya, harus satu paket dengan reformasi mekanisme bagi hasil antara pusat dan daerah. Selama ini,  penerimaan sawit masih sangat minim baik langsung maupun mekanisme bagi hasil.

Permasalahan penting lain soal ketersediaan data sawit, mulai hulu hingga hilir dan sistem pembiayaan. Selama ini, katanya,  K/L teknis dan pemda tak memiliki database perizinan perkebunan sawit terintegrasi dalam satu peta.

“Perencanaan pengembangan perkebunan sawit hingga tak ada panduan penerbitan izin menimbulkan banyak izin tumpang tindih dan malahan menerabas kawasan hutan,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,