Persoalan Angkutan Batubara di Sungai Musi: Dari Tongkang Tabrak Tiang Jembatan Hingga Sebarkan Debu

Angkutan batubara di Sumatera Selatan bukan hanya mengganggu transportasi di jalan darat namun juga di sungai.  Sungai Musi yang panjangnya sekitar 750 kilometer, pun tak luput dari aktifitas angkutan batubara yang menggunakan kapal tongkang.

Selama 12 tahun terakhir, sudah beberapa kali tiang jembatan Ampera yang berada di Palembang ditabrak kapal tongkang bermuatan batubara, termasuk tiang pancang Jembatan Musi IV yang menyebabkan penyelesaian pembangunannya terancam mundur dari target awal 2018.

“Banyaknya kapal tongkang yang melintas sungai Musi membuat kami cemas. Bukan takut kami yang nabrak, tapi takut jika kami ditabrak kapal tongkang. Sudah beberapa kali kapal tongkang terlepas dari kapal penariknya. Hanyut mengikuti arus, bahkan ada sempat menabrak tiang Ampera,” jelas Sabaruddin, seorang warga Kampung 7 Ulu Palembang kepada Mongabay Indonesia (20/04).

Menurut Sabaruddin, peristiwa tongkang yang diduga terlepas talinya dari kapal penariknya sehingga menabrak tiang Jembatan Ampera terjadi pada 23 Mei 2016 lalu.

 

Baca juga: Melihat Jejak Tongkang Batubara di Sungai Musi

 

Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia, kapal tongkang bermuatan batubara menabrak tiang Jembatan Ampera terjadi mulai tahun 2005, tepatnya 11 April 2005. Tongkang yang menabrak itu berbendera Singapura yang bernama Topniche 7 Singapura, meskipun tidak menyebabkan korban, namun menyebabkan kekacauan lalu lintas di Sungai Musi. Kejadian yang sama berulang hampir setiap tahun, baik terpantau media massa maupun tidak.

Selain Jembatan Ampera, tiang pancang Jembatan Musi IV yang tengah dikerjakan juga menjadi sasaran ditabrak tongkang bermuatan batubara. Padahal jembatan ini ditargetkan dapat digunakan selama penyelenggaraan Asian Games 2018 yang akan datang. Jembatan yang menghubungkan kawasan Kelurahan Kuto Batu Lawang Kidul dengan kawasan 14 Ulu Palembang ini, dua kali ditabrak tongkang bermuatan batubara.

Kejadian pertama pada 23 November 2016 lalu. Sebuah tongkang bermuatan 8 ribu ton batubara yang ditarik tagboat Surya Wira, menurut saksi mata, menghantam tiang-tiang penyangga proyek jembatan tersebut. Akibatnya, meskipun tidak sampai timbul korban jiwa, pembangunan jembatan tersebut menjadi terlambat karena harus memperbaiki tiang-tiang penyangga yang rusak.

Selang beberapa bulan peristiwa terulang. Tanggal 31 Maret 2017 lalu sebuah tongkang bermuatan batubara menghantam 12 tiang pancang jembatan. Kali ini dampak terhadap jembatan yang direncanakan panjangnya 1.225 meter tergolong cukup parah. Satu tiang pancang tenggelam, enam tiang miring, tiga tiang goyang, dan dua tiang yang masih tegak.

Peristiwa itu diduga karena tali pengikat tongkang dengan tagboat Tanjung Buyut putus, sehingga tongkang bermuatan batubara itu tidak terkendali lajunya sehingga menabrak 12 tiang pancang jembatan Musi IV.

Dengan peristiwa ini, pembangunan Jembatan Musi IV benar-benar terganggu, dan dapat dipastikan jadwal pembangunannya akan molor.

 

Bentuk pelanggaran atas aturan negara

Sering tertabraknya tiang Jembatan Ampera oleh tongkang bermuatan batubara ini diduga karena operasi tongkang melanggar Peraturan Daerah (Perda) No.14 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Transportasi. Perda ini sebenarnya bertujuan melindungi Jembatan Ampera, dari gangguan aktifitas kapal tongkang yang melintas di bawahnya.

“Saya menduga ada pelanggaran terhadap perda tersebut,” kata Rabin Ibnu Zainal, Direktur Pinus (Pilar Nusantara), sebuah lembaga non pemerintah yang memantau pertambangan batubara di Sumsel, Sabtu (22/04).

Pasal 106 dari perda tersebut, setiap kapal tongkang yang melintas di bawah Jembatan Ampera harus memiliki ketentuan, misalnya ketinggian muatan kapal tongkang tidak melebihi delapan meter. Bagian atas tidak kerucut atau rata.

Selama perjalanan pun tongkang harus dipandu Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan, serta adanya pengamanan dan pengawasan lalu lintas di sekitar Jembatan Ampera oleh pertugas Dinas Perhubungan dan pelayaran dilakukan pada siang hari.

Terakhir, kapal tongkang yang boleh melewati bawah Jembatan Ampera maksimal Length Over All (LOA) 300 feet dengan lebar maksimal 28 meter serta ditarik kapal tunda minimal 1765 KW, dan tugboat pendorong 1761 KW yang memenuhi persyaratan kelaikan laut.

 

Air Sungai Musi digunakan untuk aktivitas harian oleh ribuan warga Palembang yang menetap di tepian. Warga melaporkan airnya bertambah coklat dan kotor sejak banyaknya aktifitas tongkang lalu lalang mengangkut batubara. Foto Taufik Wijaya

 

Sejak ramainya angkutan tongkang batubara di Sungai Musi pun dirasakan makin menyusahkan kehidupan masyarakat. Warga yang setiap hari menggunakan air sungai untuk mandi dan mencuci, merasakan perubahan warna airnya.

“Dari dulu warna air Sungai Musi ini memang coklat, tapi selama beberapa tahun terakhir warnanya kian coklat seperti banyak mengandung lumpur,” kata Ali, warga Kuto Batu. Ia menduga tongkang-tongkang bermuatan batubara yang melintas menyebabkan gelombang-gelombang di dasar sungai sehingga menyebabkan lumpur naik ke permukaan.

“Banyaknya gelombang tersebut juga menyebabkan pinggiran Sungai Musi terus mengalami terbis (abrasi) yang tanahnya membuat air sungai bertambah kotor dan coklat,” ujarnya.

Akibat abrasi itu, kata Ali, banyak tiang rumah panggung yang berada di tepian Sungai Musi ada yang “goyang”. “Dulu memang goyang kalau ada ombak yang menghantam, tapi sekarang ada beberapa bangunan di sini bergoyang kalau kita lewat di atasnya.”

Sebagian besar warga di tepian Sungai Musi mengharapkan aktifitas angkutan batubara di Sungai Musi dihentikan. “Kan katanya sudah ada Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA), sebaiknya dipindah saja ke sana, jangan lagi menggunakan Sungai Musi,” kata Ali.

Aroma dan debu batubara akan sangat terasa jika ingin berkunjung ke masjid dan makam Ki Marogan, yang merupakan destinasi wisata religi Palembang yang terletak di tepian Sungai Musi.

Adapun Kampung Ki Marogan posisinya cukup strategis di Sungai Musi. Kampung ini berada di persimpangan Sungai Ogan dan Sungai Musi. Umumnya sebelum masuk Palembang, perahu-perahu akan mampir terlebih dahulu ke kampung tersebut. Karena alasan lokasi strategis itulah Stasiun Kereta Api Kertapati dibangun di wilayah ini.

 

Masjid Ki Marogan yang bersebelahan dengan dermaga batubara di Kertapati Palembang. Foto Taufik Wijaya

 

Aroma pekat batubara berasal dari tumpukan batubara yang ada di dermaga yang terletak di belakang stasiun. Tak jauh dari stasiun, juga terdapat tempat pengumpulan batubara milik PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk yang diangkut menggunakan kereta api atau KA Babaranjang (Batubara Rangkaian Panjang).

Asal aroma batubara pun berasal dari truk-truk pengangkut batubara asal Lahat, Muaraenim dan lainnya yang melintas di depan stasiun.

“Saya ini hampir setiap hari berdoa agar dermaga batubara ini berhenti, termasuk pula aktifitas tongkang-tongkang yang membawa batubara di Sungai Musi,” kata Ujang, seorang warga di Kampung Ki Marogan.

“Tidak banyak menguntungkan buat kami, justru menyusahkan. Apalagi nantinya akan banyak penyakit yang kami rasakan akibat debu batubara itu,” jelasnya.

Sejak adanya aktifitas dermaga batubara, sejak lima tahun lalu, disinyalir makin banyak warga, khususnya anak-anak, mengalami penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan “Kami sudah berulangkali protes. Tapi tidak pernah digubris. Kalau soal penyakit saluran pernapasan ini sudah menjadi hal biasa di sini sejak adanya dermaga batubara di samping kampung ini,” katanya.

Gangguan debu batubara juga dirasakan masyarakat yang menetap di sepanjang Sungai Musi, baik di bagian ulu maupun ilir. “Kalau angin kencang pasti terasa debu batubara. Sebab setiap hari tidak pernah sepi dari tongkang yang mengangkut batubara,” kata Masrif, warga 3-4 Ulu Palembang.

“Meskipun jauh dari dermaga batubara itu, tapi kami sering kali merasakan debu batubara. Sebab batubara yang diangkut menggunakan tongkang jarang sekali ditutupi, sehingga kalau ada angin berhembus pasti membawa debu di sekitar sini,” tutupnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,