Begini Meriahnya Perayaan Komunitas Kampanye Peduli Sampah di Bali

Di antara riuh pengunjung Lapangan I Gusti Ngurah Made Agung, Denpasar Bali, Ananda Kya Adi Saputra dan Reihan Desta Altarado memungut sampah-sampah plastik. Kedua anak SD itu menggunakan bekas tusuk sate untuk menusuk sampah plastik maupun kertas.

Sampah-sampah itu kemudian mereka tancapkan di styrofoam setinggi kira-kira 2 meter. Di styrfoam berbentuk bulat dengan diameter sekitar 1 meter itu sudah tertancap aneka sampah lain: botol plastik, bungkus makanan, gelas mie instan, dan lain-lain.

Styrofoam raksasa tersebut salah satu instalasi dalam Malu Dong Festival di Denpasar pada akhir pekan lalu. Pelaksana festival selama dua hari itu Komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan atau yang lebih sering disingkat Komunitas Malu Dong.

Styrofoam putih itu sendiri pun sebenarnya sampah yang ditemukan di pantai yang kemudian dibawa ke lapangan di nol kilometer Denpasar itu. “Kami ingin mengajak warga agar mereka membersihkan sampah-sampah yang mereka temukan sekaligus menyampaikan pesan dan harapan mereka,” kata I Putu Hendra Arimbawa, Koordinator Program Malu Dong Festival.

 

 

Ananda dan Reihan termasuk dua anak yang ikut membersihkan sampah dan menyampaikan pesan mereka. “Biar Denpasar bisa bersih dari sampah,” kata Ananda ketika ditanya alasannya ikut membersihkan sampah.

Menurut siswa kelas 5 SD itu, saat ini Denpasar masih menghadapi masalah sampah karena masih banyak warga yang tidak peduli. Selain karena kurang pengetahuan tentang bahaya sampah juga karena masih terbatasnya tempat untuk buang sampah.

“Senang kalau ada acara begini (Malu Dong Festival). Biar orang-orang sadar untuk tidak buang sampah sembarangan,” Reihan menambahkan.

 

Lautan puntung rokok

Sampah styrofoam raksasa sendiri hanya salah satu bentuk seni instalasi selama Malu Dong Festival. Di bagian selatan lapangan tempat kumpul warga Denpasar itu juga terdapat karya-karya seni lain.

Ada sembilan lampion raksasa berbentuk monyet, bola dunia, atau kura-kura. Lampion-lampion karya anggota seka teruna teruni (STT) atau karang taruna desa adat itu dilombakan untuk mengampanyekan pesan tentang sampah.

STT Yowana Dharma Banjar Buaji Anyar, Desa Kesiman, Denpasar misalnya membuat lampion berjudul Save Our Turtle. Sebagaimana keterangan di bawahnya, pembuatan lampion penyu raksasa itu terinspirasi dari temuan seekor penyu dengan sedotan plastik di hidungnya oleh ilmuwan di Kosta Rika. Saat sedotan itu ditarik, penyu tersebut mengeluarkan darah dari hidungnya. Sedotan plastik itu panjangnya sampai 20 cm.

 

Lampion berbentuk Bumi untuk mengampanyekan kepedulian pada lingkungan dalam Festival Malu Dong di Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Dalam mitologi Hindu Bali sendiri, penyu juga menjadi simbol penjelmaan Dewa Wisnu yang berubah menjadi Gunung Mandara dengan tempurung di punggungnya. Karena itu, menurut Hendra yang juga anggota STT Yowana Dharma, membuang sampah plastik sembarangan bisa berdampak pada penyu yang dihormati umat Hindu.

Seni instalasi lain untuk menunjukkan bahaya sampah dibuat oleh arsitek Anak Agung Yoka Sara bersama seniman layang-layang Wayan Duduk. Yoka Sara mengumpulkan aneka puntung dan bungkus rokok yang dia temukan selama enam bulan kegiatan rutin bersih-bersih sampah di Pantai Mertasari, Sanur.

Instalasi itu berupa sampah puntung rokok dan sebagian bungkusnya di tengah ruangan agak tertutup dengan dinding cermin. Efeknya, sampah bungkus dan puntung rokok itu menjadi seperti lautan. Aroma menyengat tembakau pun langsung tercium ketika mendekati instalasi tersebut.

Yoka Sara mengatakan tujuan instalasi itu memang sebagai shock therapy bagi warga. “Agar mereka yang merokok sadar bahwa beginilah akibatnya jika mereka membuang puntungnya sembarangan,” kata Yoka.

 

Seni instalasi lautan puntung rokok sebagai shock therapy tentang bahaya puntung rokok dalam Festival Malu Dong di Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Kaos organik

Selain pameran instalasi, Malu Dong Festival juga dipenuhi dengan kegiatan lain, seperti konser musik, lomba menggambar, hingga pameran produk-produk lingkungan. Dua di antaranya adalah Gadgad Organic yang membuat kaos dari bahan ramah lingkungan dan pewarna alami serta Art of Whatever yang membuat upcycle product dari kaos bekas.

Ada 40 komunitas dan 21 stand dari Bali yang mengikuti Malu Dong Festival. Komunitas Penahitam Bali misalnya termasuk bagian dari seniman jalanan (street artist) pun ikut serta. Mereka tidak hanya membuat mural di papan tripleks untuk mengampanyekan lingkungan tapi juga menyampaikan sikap penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa.

“Tidak cukup jika hanya memungut sampah karena industri rakus masih merajalela merusak Bumi, rumah kita,” begitu Komunitas Penahitam Bali menuliskan pesan di mural mereka.

Beberapa band indie dari Bali Indie Movement, seperti MORT, PARAU, Trojan, dan Scare of Bums tampil bergantian. Navicula, band grunge dari Bali yang dikenal karena musik dan liriknya yang sarat pesan sosial lingkungan menutup festival pada malam kedua.

“Kami ikut Malu Dong Festival karena lewat musik, kampanye lingkungan seperti peduli sampah ini akan lebih mudah dicerna,” kata Nova, penabuh drum band Scare of Bums.

I Putu Hendra Brawijaya, panitia Malu Dong Festival mengatakan, kegiatan yang pertama kali digelar itu memang mengajak beragam komunitas untuk berkolaborasi mengampanyekan isu sampah. “Agar kampanye tentang sampah bisa lebih diterima publik, kami mengemasnya lebih gaul,” ujarnya.

“Festival ini sebagai ajang peningkatan kesadaran terhadap sampah dengan inisiatif berbasis komunitas,” ujar Saylow, panggilan akrabnya.

 

Sejumlah aturan bagi pengunjung Malu Dong Festival di Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Sebagai festival untuk mengampanyekan lingkungan, Malu Dong Festival termasuk berhasil menerjemahkan kampanye itu dalam bentuk aksi. Tak hanya dalam karya-karya yang dipamerkan tapi juga sejumlah aturan yang mereka buat.

Sebagian aturan selama festival itu misalnya, larangan membuang sampah sembarangan, merokok hanya di tempat tertentu, dan tidak boleh bawa botol minuman yang tidak bisa didaur ulang. Ada relawan petugas kebersihan yang rajin membersihkan sampah sekaligus menegur pengunjung yang merokok di tempat sembarangan.

Walhasil, selama dua hari festival, lapangan lokasi festival tidak hanya bersih dari sampah tapi juga dari asap rokok, sesuatu yang langka dalam festival dengan jumlah pengunjung mencapai ribuan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,