Karut Marut Tata Ruang Kota Jayapura Picu Bencana

 

 

Sungai terapit jalan dan pemukiman padat. Warna keruh, bau menyengat dan penuh sampah. Kali Acai, begitu orang biasa menyebut. Kali ini mengalir di tengah Abepura dan bermuara di Teluk Youtefa, Papua.

Dalam data Pemerintah Kota Jayapura, kali ini sepanjng 2,245 meter, lebar 12,5 m dan kedalaman 4,5 m. Kenyataan sudah berbeda. Kedalaman makin berkurang karena endapan dan sampah. Lebar pun menyempit karena terapit jalan, dan pemukiman.

Bagian lain Kota Abepura, ada satu perumahan bernama Organda. Perumahan ini terletak di  RT 01/RW 04 Kelurahan Hedam Distrik Heram. Sudah belasan keluarga mengungsi dari perumahan ini karena langganan banjir tiap hujan.

Di sini, rumah-rumah tampak kosong penuh lumpur dan sudah ditinggalkan pemilik. Wellem, pemilik rumah kini menumpang di tempat keluarga. Anaknya menyewa dan harus membayar tiap bulan.

Rumah mereka beli pada 2005 melalui kredit BTN dan lunas pada 2016. Pengembang perumahan ini adalah CV Purbaraya.  Hingga kini,  belum ada kejelasan mengenai bantuan pemerintah untuk warga.

“Memang waktu itu sempat didata, hanya sekarang tak terdengar lagi,” ucap Wellem. Tak hanya kehilangan rumah, semua perabotan rusak karena banjir datang tanpa diduga.

Dia bingung tak punya rumah lagi. Dia berharap, pemerintah segera mencarikan solusi terbaik bagi mereka.

Ketua RT, Yan Piet Alua, mengatakan, dalu lokasi ini rawa dan hutan sagu. Developer pakai buat bangun perumahan. “Saya pikir ini kesalahan pemerintah. Biasa kalau mau membangun ada namanya Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red). Tidak tahu ini Amdal bagaimana,” katanya.

Saluran drinase kecil memperparah kondisi. Belum lagi endapan sedimen dan sampah memenuhi saluran. Selain perumahan, ada sekolah seperti PAUD dan Pendidikan Allkitab sudah ditutup.

Masalah banjir di perumahan organda dan pencemaran di Kali Acai, merupakan antara lain masalah lingkungan Kota Jayapura. Dalam peta rawan banjir Jayapura, di kawasan padat penduduk seperti Waena, Abepura, Kotaraja, Entrop, hingga Apo tersebar titik-titik rawan banjir.

Data Pemerintah Papua, menunjukkan Jayapura sebagai kota dengan pertumbuhan penduduk tertinggi di Papua. Data 2016, penduduk kota ini 415.998 orang, dengan rata-rata pertumbuhan penduduk pertahun 1,80%,  paling tinggi dari migrasi.

 

Rumah-rumah warga di Perumahan Organda yang ditinggalkan pemilik karena kerap banjir. Foto: Asrida Elisabeth

 

Selain sebagai pusat pemerintahan, Kota Jayapura juga pusat bisnis dan pendidikan, hingga menarik banyak orang datang. Kebutuhan ruang jadi tinggi baik untuk pemukiman, tempat usaha, perkantoran maupun pertanian.

Kondisi ini menyebabkan wilayah resapan air berkurng hingga muda banjir. Belum lagi banyak perusahaan bahan galian baik kelola masyarakat maupun perusahaan di banyak titik di Kota Jayapura. Luas galian, bikin rusak lingkungan, daerah tangkapan hujan kurang, sedimentasi memperparah banjir di Kota Jayapura.

Nofdi J. Rampi, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Kota Kota Jayapura menyebut banyak tantangan menata Kota Jayapura mengingat kota seluas 940 Km2 ini memiliki topografi bervariasi antara lain dataran rendah, pantai, perbukitan sampai gunung. Ada 40% luas wilayah tak layak  huni karena daerah perbukitan terjal dengan kemiringan 40 derajat, berawa dengan statistik konservasi (hutan lindung).

Namun, katanya, pemerintah telah membuat rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Jayapura 2014-2033 melalui Perda Nomor 1/2014 yang menyesuaikan kondisi wilayah. Namun, kata Nofdi, pelaksanaan tak mudah.

 

 

Pengaturan terkendala?

Dia bilang, aturan sudah ada, tetapi masyarakat tak patuh. “Perda sudah ada. Pengawasan jalan, masyarakat tak patuh dan tak taat. Ini yang sulit,” katanya.

Menurut dia, banyak wilayah di Jayapura yang tak sesuai peruntukan karena terkendala hak ulayat.

“Meski tak mendapat izin namun warga tetap membangun karena berbenturan dengan hak ulayat tanah. Pemerintah tak mengizinkan namun menggandeng pemilik tanah. Problem ini jadi benang kusut yang.”

Nofdi contohkan, kondisi Jalan Nuri menuju Kali Acai sering banjir karena ekosistem alam di atas terambah untuk pembangunan perumahan. Juga perusahaan bahan galian  di Abepura yang sudah dicabut izinnamun tetap beroperasi.

Dia khawatir, jika tak ada pengendalian hunian yang terkesan liar ini, akan memberikan dampak banjir ektrim terutama daerah hilir seperti Kali Acai. “Intinya, kalau masyarakat tak mau tahu dengan daerah tinggi yang tak boleh dipanjat, akan terjadi persoalan di hilir yaitu di bantaran kali tempat membuang air.”

 

Sampah menumpuk memenuhi kali-kali di Jayapura. Foto: Asrida Elisabeth

 

Pola pendekatan pemerintah sekarang, menyarankan pemilik ulayat, tak serta merta menjual tanah. Untuk daerah boleh dibangun, harus dilengkapi perizinan, hingga bisa dibuatkan Amdal dan ada rekomendasi. Kalau daerah ekstrim tetapi masih mungkin, katanya, ada rekayasa teknik dari developer.

Nofdi tampak membela developer dan hanya menyalahkan warga membangun rumah sendiri-sendiri.

Yehuda Hanokwarong Dosen Geografi Universitas Cenderawasih memberikan pendapat. “Saya justru terbalik pemahaman seperti itu. Yang bikin RTRW kan pemerintah. Fungsi semua ruang sudah ada di RTRW. Pertanyaannya, sejauh mana pengawasan pemerintah terhadap dokumen yang dibuat sendiri?” katanya.

Pengetahuan masyarakat, katanya, kadang terbatas soal fungsi-fungsi ruang seperti dalam tata ruang. “Disitulah peran pemerintah untuk mengawasi.”

Bicara tentang banjir di beberapa titik Kota Jayapura, katanya, akibat dari kebijakan salah pemerintah 10-15 tahun lalu. Saat itu, aturan Amdal belum terlalu ketat. “Pasar Yotefa sering banjir, Organda dan Perumnas Empat, itu sebenarnya resapan air yang dulu tak memperhatikan kajian Amdal. Sekarang seperti itu.”

Hal sama terjadi dengan Kali Acai. Tak ada instalasi pengolahan limbah membuat masyarakat bebas membuang limbah ke kali yang berdampak pada pencemaran Teluk Youtefa. Nofdi mengakui.

Dia bilang ada kekeliruan pemerintah dalam memberikan izin lingkungan untuk pembangunan Perumahan Organda. Saat ini, pemerintah masih terus berkoordinasi dengan provinsi untuk menyelesaikan.

Yehuda mengatakan, Organda harus kembali kepada fungsi semula. Wilayah itu cukup rendah dan dulu daerah resapan air.  “Yang bisa dilakukan, misalkan membuat danau buatan, embung, kolam ikan atau arena wisata air, hingga bisa menampung kelebihan air huja. Lalu perlahan masuk ke sistem air tanah yang akan bermanfaat bagi warga. Penanaman sagu juga membantu,” katanya, seraya bilang lakukan hal serupa di Pasar Youtefa.

Dia mengingatkan, kontrol pembangunan ada di tangan pemerintah. “Harus segera ada solusi terkait kendala-kendala mengatur tata ruang.”

Pemerintah, katanya, harus tertib memberikan izin-izin lingkungan. Untuk pembangunan skala besar, memperhatikan Amdal, UKL/UPL , karena ada kewajiban harus dipenuhi pemrakrsa. Amdal, katany, diharapkan terbuka kepada masyarakat hingga bisa sama-sama diawasi masyarakat.

“Saya kasi contoh pembangunan pemukiman baru di Skyland. Itu kan daerah yang tak boleh. Rawan erosi karena tak punya vegetasi hutan. Nanti limbah ataupun curah hujan turun ke mana?”

Yehuda bilang, pemerintah harus melibatkan masyarakat termasuk pemilik ulayat. Jika APBD tak cukup, bisa bersumber dari dana tanggung jawab sosial perusahaan di Kota Jayapura.

“Penting melibatkan masyarakat termasuk pemilik ulayat dalam penyusunan RTRW. Bagaimanapun RTRW sudah dibuat, dan pemerintah lakukan di tanah masyarakat adat,” katanya.

 

Dataran tinggi ditebangi buat pembangunan hingga mengancam kawasan sekitar. Foto: Asrida Elisabeth

 

Sekolah teologi sudah ditinggalkan karena jadi langganan banjir. Foto: Asrida Elisabeth

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,