Penting Bagi Kehidupan, Harusnya Mangrove Tidak Dirusak

 

 

Mangrove memberi banyak manfaat bagi kehidupan kita. Selain menyediakan kebutuhan bahan pangan, bahan bakar, dan kayu kualitas tinggi, mangrove merupakan ekosistem kaya karobon yang mampu mencegah pelepasan emisi karbon ke udara. Mangrove juga merupakan daerahnya biota laut mencari makan sekaligus tempat populasi ikan berkembang.

Penting bagi kehidupan, nyatanya kerusakan mangrove di Indonesia terus terjadi. Tak terkecuali di Provinsi Aceh. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menyebutkan, kerusakan hutan mangrove di Aceh yang banyak disorot adalah Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur. Bahkan mangrove di Aceh Tamiang, ada yang berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.

“Padahal hutan mangrove tersebut penting untuk kehidupan manusia maupun berbagai jenis satwa,” tutur Kepala Divisi Advokasi Walhi Aceh, Muhammad Nasir, akhir pekan ini.

Sementara, mangrove yang berada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, rusak bukan dikarenakan perambahan, penebangan, atau alih fungsi lahan. Melainkan karena bencana tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam.

“Setelah tsunami melanda Aceh, sejumlah lembaga bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat, menanam kembali mangrove yang rusak. Namun, karena berbagai penyebab, termasuk kurang perawatan, sebagian bibit mangrove tersebut tidak tumbuh,” ujarnya.

M. Nasir menambahkan, saat peringatan Hari Bumi pada 22 April 2017, Walhi Aceh bersama mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, kembali menanam bibit mangrove di Pantai Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Selain itu, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, pada hari yang sama juga menanam mangrove di Alue Naga, Kota Banda Aceh.

 

Nelayan tradisional di Aceh Tamiang, Aceh, menunjukkan hasil tangkapannya di kawasan mangrove. Penebangan pohon mangrove untuk dijadikan arang merupakan ancaman nyata di wilayah ini. Foto: Rahmadi Rahmad

 

Menjaga bersama

Rektor UIN Ar-Raniry, Farid Wajdi menyebutkan, semua umat manusia harus bersama menjaga kelestarian hutan. Caranya, tidak merusak atau menanam kembali hutan-hutan yang telah rusak.

“Islam mengajarkan umatnya untuk menanam pohon meskipun menjelang hari kiamat. Tidak ada alasan untuk tidak menanam pohon karena hal tersebut sangat penting untuk kehidupan,” ungkapnya.

Farid Wajdi menyebutkan, hutan mangrove sangat penting bagi kehidupan manusia, seperti mencegah abrasi pantai, mengurangi dampak bencana tsunami dan lainnya. Berbagai jenis hewan juga sangat tergantung pada banyaknya hutan mangrove. “Kita sedih melihat mangrove dan hutan keseluruhan dirambah juga digunakan tidak sesuai peruntukannya. Jika terus terjadi, bencana besar akan sering terjadi di Aceh.”

Gubernur Aceh Zaini Abdullah dalam pernyataan tertulisnya menyebutkan, kerusakan alam yang terjadi di Aceh saat ini karena ada sejumlah orang yang lebih mengejar kepentingan ekonomi, tanpa menghiraukan keseimbangan lingkungan.

“Akibatnya, keanekaragaman hayati yang menjaga keseimbangan alam terganggu dan bencana alam terjadi.”

Zaini mengatakan, menjaga hutan agar tidak rusak untuk keseimbangan alam bukan urusan mudah. Banyak kepentingan di dalamnya. Hutan mangrove di Aceh juga terus rusak akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. “Pemerintah Aceh telah berusaha menjaga hutan dengan mempertahankan kebijakan moratorium logging serta melaksanakan moratorium tambang beberapa tahun ke depan,” tuturnya.

 

Penebangan pohon mangrove untuk dijadikan arang merupakan ancaman nyata di wilayah Aceh Tamiang, Aceh. Foto: Rahmadi Rahmad

 

Dapur arang

Rudi Putra, Advisor Forum Konservasi Leuser (FKL) mengatakan, kerusakan hutan mangrove yang terjadi di Aceh Tamiang disebabkan adanya perambahan ilegal. Kayu curian tersebut dipasok untuk sejumlah dapur arang yang jumlahnya sekitar 600 buah. “Tempat pembuatan arang ini (dapur arang) tersebar di empat kecamatan Aceh Tamiang yaitu Seruwai, Banda Mulia, Bendahara, dan Manyak Payed. Selanjutnya, arang itu dijual ke Medan, Sumatera Utara.”

Rudi menuturkan, pihaknya telah melakukan survei dan pemantauan terhadap hal tersebut. Biasanya, dalam satu perahu boat kecil, terdiri tiga orang yang menebang sekaligus mengangkut kayu mangrove ilegal tersebut. Per hari, perahu ini mampu mengangkut sekitar 200 batang mangrove dengan satuan seribu rupiah. “Bila dikurangi biaya operasional Rp50 ribu, masing-masing orang akan mendapat 50 ribu rupiah per hari.”

Apabila dikonversikan dari satu batang mangrove menghasilkan tiga kilogram arang, dalam per hari hasilnya luar biasa. Di tingkat agen, 1 kg arang harganya sekitar Rp2.800, sementara  arang yang diangkut ke Medan sebanyak 10 mobil colt, dengan kapasitas 1 mobil sebanyak 5 ton. “Jumlah yang didapat sekitar Rp140 juta sehari.”

 

Penanaman mangrove yang dilakukan saat peringatan Hari Bumi, 22 April 2017, di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Rudi menuturkan, dari perhitungan tersebut, ternyata masyarakat hanya mendapat  keuntungan sedikit dari penjualan arang. Porsi terbesar berada di agen. “Sementara, nilai kerusakan mangrove yang terjadi tidak terhitung jumlahnya. Padahal, bila mangrove tetap dijaga, tumbuh subur, maka ikan, udang, dan kepiting dapat berkembang biak di akar-akar mangrove. Tentu saja, kondisi ini baik untuk penghasilan masyarakat dan lingkungan beserta ekosistemnya tertata baik.”

Mulai berlakunya moratorium logging di Aceh sejak 2007, untuk kayu maupun mangrove, membuat Aceh Tamiang belum memiliki izin pemanfaatan hasil hutan kayu (mangrove). Sehingga, asal usul kayu mangrove sebagai bahan dasar dapur arang tidak dapat dipertanggungjawabkan. “Semua pihak harus duduk bersama menyelesaikan permasalahan ini. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan juga harus ditingkatkan. Jadi, harus ada win win solution,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,