Hidup di Wilayah Rawan Longsor, Berikut Masukan Tim Mitigasi Bencana UGM

 

 

April lalu Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, alami longsor. Risiko longsor susulan, dan banjir bandang berpotensi terjadi lebih parah di wilayah-wilayah rawan longsor sekitar.

Dwikorita Karnawati,  Rektor Universitas Gadjah Mada mengatakan, biasa kalau sudah terjadi banyak longsor, selang beberapa saat disusul banjir bandang dan skala kematian bisa berlipat. Jatuh korban lebih banyak bisa dicegah.

“Longsor masih akan terjadi, bisa di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Ponorogo, Nganjuk, Jawa Barat dan Jawa Tengah, bisa di luar Jawa dan skala bisa lebih besar,” katanya, baru-baru ini.

Dari penelitian mereka, jika banyak longsor, selang beberapa saat disusul banjir bandang. “Itu bisa dicegah, salah satu upaya menggalakkan masif peringatan dini, terutama kepada warga di lokasi rawan longsor,” katanya.

Badan Geologi, katanya, sudah memetakan lokasi rawan longsor, mereka harus lebih siaga, mengedukasi masyarakat, mengenali tanda-tanda gejala awal terjadi longsor, termasuk upaya pencegahan.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD),  wajib mengecek zona merah, dan warga rawan longsor. Saat hujan,  warga jangan ada di lokasi, wajib evakuasi.

“Jangan di lokasi saat hujan, mengalah dengan alam, ketika musim hujan saatnya menata kembali tata lahan, termasuk masyarakat,” ucap Dwikorita.

Dia bilang, andai zona itu ada jalan raya, pemda harus menutup akses sementara saat hujan, agar tak terjadi kecelakaan. “Khusus di Nganjuk dan Ponorogo, daerah longsor di lereng gunung, bisa dikatakan sudah kronis , batuan rupuh dan lereng curam.”

Dari citra satelit atau foto udara terlihat lereng tebing curam dan batuan rapuh, atau tertutup tanah labil. Titik longsor, katanya, ada di zona patahan, hingga tinggal tunggu proses pemicu, salah satu air hujan. Kondisi ini lebih berbahaya jika longsor diikuti banjir bandang.

Bencana ini, katanya, sangat berbahaya karena mengandung endapan longsor berupa bebatuan dan pepohonan yang dapat menghancurkan pemukiman warga.

Melihat beberapa peristiwa banjir bandang di Indonesia, dia mengidentifikasi beberapa gejala awal banjir bandang, seperti ketinggian air sungai bertambah, perubahan kondisi air lebih keruh dengan membawa muatan pasir dan kerikil.

Menurut penuturan korban bencana sebelumnya, saat berada di mulut sungai mereka melihat tiba-tiba air keruh, tak lama muncul luapan dahsyat.  “Tanda-tanda ini harus diwaspadai bersama. Semoga peristiwa seperti ini tak terjadi lagi.”

 

Sumber: BIG

 

Dwikorita memimpin tim mitigasi bencana longsor UGM di Banaran, Pulung, Ponorogo, Jawa Timur, terjun ke lokasi bencana yang merenggut korban 28 orang. Mereka mencari fakta lapangan sekaligus mengetahui penyebab utama longsor.

Tim dari beberapa bidang ilmu ini menganalisis dan memitigasi kemungkinan longsor susulan baik di lokasi atau wilayah lain di Ponorogo. Juga membantu pemetaan relokasi bagi warga terdampak bencana pakai drone.

Berdasarkan pengamatan, kata Dwikorita, karakteristik lereng di lokasi bencana dengan bentuk lurusan memotong memang menunjukkan gejala rawan longsor. Hanya tinggal menunggu proses pemicu.

Air hujan, katanya, salah satu pemicu longsor. Dia menekankan, longsor belum tentu langsung setelah hujan turun karena perlu proses bagi air hujan meresap ke dalam tanah.

Dia mengingatkan, warga di daerah rawan dapat mengurangi risiko longsor dengan tak langsung kembali ke daerah rawan setelah hujan.

“Tak selalu begitu hujan terus langsung runtuh karena bisa saja longsor baru beberapa jam sesudahnya. Selesai hujan jangan langsung ramai-ramai kembali,” katanya.

Dari fenomena itu, katanya, penting kewaspadaan terhadap lereng-lereng rawan, termasuk di lokasi longsor lalu. Sebab, longsor yang berhenti di lahan miring masih mungkin lanjut.

“Siapa pun jangan sampai berada di lokasi habis longsor, kecuali orang ahli yang sudah dilengkapi perlengkapan menyelamatkan diri.”

Bagus Bestari Kamarullah, tim mitigasi bencana UGM mengatakan, ketidaktahuan risiko pasca longsor seringkali memicu korban jatuh lebih besar. Bencana susulan seringkali berisiko menelan korban lebih daripada bencana pertama.

“Saat bencana pertama, masyarakat ingin menolong atau mencari keluarga. Berkumpul tanpa mengetahui barangkali ada risiko cukup besar,” katanya.

Untuk itu, penting pemahaman risiko bencana dan kewaspadaan dari berbagai pihak terkait, baik masyarakat sekitar maupun relawan atau petugas yang terlibat proses evakuasi.

Berdasarkan pengamatan lapangan,  katannya, kemiringan lereng di Ponorogo lebih 40 derajat. Secara ilmiah, jika curam akan bergerak ke bawah, ada kelurusan punggung bukit dan sungai, kekuatan daya tahan mengikat akar partikel melemah.  Faktornya, batuan hasil lapukan,  kurang terkonsolidasi dan lapuk.

Keadaan ini, berisiko tinggi ketika ada aktivitas manusia (yang tak mendukung) dengan tanaman semusim, seperti jahe, singkong, dan palawija lain. Tanaman ini, katanya, ikut menyumbang ketidakseimbangan ekosistem lahan.

Yang jadi pekerjaan bersama, katanya, memperbaiki tata guna lahan, karena masih ada potensi bencana berikutnya.

Data 1980-2010, di Jawa, terjadi lebih 1.500 longsor, dengan karakter unik karena korban meninggal lebih besar dibanding luka. Bencana di Jawa, katanya, sangat spesifik, karena korban meninggal lebih besar berkaitan erat perilaku longsor.

Longsor, biasa terjadi pada durasi pendek hingga masyarakat tak cukup waktu menyelamatkan diri. Sebagain besar longsor di malam hari, dini hari, dan pagi hari.

Sutopo Purwo Nugroho, Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, ancaman longsor makin meningkat di Ponorogo. Tanah retak disertai bunyi gemuruh di Desa Dayakan, Kecamatan Badegan menyebabkan jumlah pengungsi bertambah.

Awalnya, pengungsi dari Dusun Watuagung Desa Dayakan 249 orang, jadi 341 jiwa menyusul dentuman suara  gemuruh sangat keras 21 kali pada 10 April lalu.

Lebar tanah retak mencapai 300 meter, lebar 40 centimeter dan kedalaman tiga meter di Watuagung. Sebanyak 22 rumah rusak dari total 69 unit.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,