Katak Raksasa dari Enrekang Ini Mulai Langka…

 

 

Berat tubuh sampai 1,6 kg. Tengkorak dan rahang mulut saat tertutup terlihat lancip. Ketika bersuara, beberapa penduduk lokal melafalkan seperti batuk orangtua. Nama latinnya, Limnonectes grunniens, ditemukan di Kampung Banca, Kecamatan Baraka, Enrekang, Sulawesi Selatan.

Malam itu, sembilan katak ditangkap warga. Mereka memberikan kepada warga lain, untuk jadi santapan atau cemilan sambil menikmati tuak (minuman khas dari permentasi sari nira). Biasa menu goreng atau bakar.

Di Enrekang, katak ini masih dapat dijumpai di beberapa tempat tetapi menemukan ukuran lebih satu kg, mulai sulit. “Sembilan yang didapat malam itu (25 April 2017), hanya satu yang besar. Lainnya masih kecil,” kata Darussalam, warga Baraka, melalui pesan pendek pada saya.

Dalam bahasa setempat katak ini dikenal dengan nama todan. Todan hidup di pinggiran-pinggiran sungai hutan primer, atau kebun-kebun warga yang berdekatan dengan sumber air. Katak ini lebih banyak beraktivitas malam hari. Tangkap cukup pakai tangan kosong.

Hingga 2000-an awal, katak ukuran besar ini masih cukup mudah ditemukan. “Dulu biar siang, bisa ji ditangkap dan didapatkan. Sekarang harus cari malam, karena sudah kurang,” kata Salam, panggilan akrab Darussalam.

“Waktu perut katak itu dibuka ada juga kepiting,” katanya.

“Itu hal lumrah. Katak ini, biasa makan semua yang bergerak, bisa tikus, burung, serangga, laba-laba dan beberapa hewan kecil lain,” kata Amir Hamidy, Peneliti Herpetofauna dari LIPI. “Yang jelas semua katak itu carnivor (memakan daging), bukan vegetarian.”

Wilayah sebaran katak ini mencakup Sulawesi, Maluku, dan Papua. Meski habitat katak ini makin terbuka dan populasi–berkaca di Enrekang–mulai menurun jenis ini belum masuk dalam daftar yang dilindungi.

Sebaliknya, kata Amir, Indonesia satu pengekspor paha katak terbesar. Meskipun katak ekspor itu masih katak sawah atau Fejervarya cncrivora. Rata-rata setiap tahun ekspor mencapai 4.000 ton. Dengan perbandingan setiap kilogram berisi 22 katak, harga bisa Rp80 juta.

 

Katak ukuran besar mulai sulit ditemukan. Foto: Darussalam

 

Pada Mei 2016, saya pernah melakukan perjalanan bersama Amir Hamidy ke Pegunungan Gandang Dewata. Dia seperti pawang herpet. Saat hujan, dia sigap menelusuri hutan. Membawa senter, kamera dan alat rekaman. Tak hanya piawai melihat fisik katak, dia juga dapat menerka jenis melalui suaranya.

Menurut dia, keberadaan dan populasi katak sehat di suatu wilayah itu mengindikasikan lingkungan masih baik. Katak jadi salah satu fauna cukup riskan akan perubahaan lingkungan.

Ungkapan Amir bagi saya cukup beralasan. Di Kecamatan Baraka, pembukaan lahan untuk perkebunan bawang sangat massif. Pada Maret 2017, saat saya mengunjungi tempat itu, sepanjang mata memandang hanya terlihat hamparan pertanian bawang. Di pesisir sungai, hingga puncak-puncak bukit.

Meski katak ukuran besar ini cukup menyeramkan bagi sebagian orang, namun banyak yang memburu buat konsumsi, ditambah kerusakan habitat– pembukaan lahan (hutan) ke fungsi lain–hingga katak raksasa makin sulit ditemui. Akankah membiarkan mereka punah?

 

Pembukaan lahan di Baraka antara lain buat bertani bawang. Foto: Eko Rusdianto

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,