Reklamasi Lahan Tak Efektif. Bentang Alam yang Berubah Pasca Pertambangan Batubara di Sumsel (Bagian-2)

 

Dampak utama dari aktivitas pertambangan batubara terbuka yaitu perubahan penampakan bentang alam. Lahan yang dulunya hutan, perbukitan, perkebunan atau pertanian, berubah tanpa vegetasi dan dipenuhi lubang. Meski telah banya janji-janji perusahaan yang diucapkan maupun jaminan pemerintah untuk reklamasi, kenyataannya sangat sedikit bentang alam yang dikembalikan utuh seperti kondisi semula sebelum adanya aktivitas pertambangan.

Salah satu Kabupaten yang paling terpengaruh dampak pertambangan batubara di Sumatera Selatan (Sumsel) adalah Lahat. Di wilayah ini banyak dijumpai bekas-bekas galian tambang yang ditinggalkan begitu saja.

Bagian Pertama artikel ini dapat dibaca disini: Menguak Lapisan Persoalan Perizinan Batubara di Sumsel

“Terus terang kami belum melihat dan menyaksikannya di Kabupaten Lahat ini, bentang lahan [pertambangan batubara] dikembalikan seperti semula, setelah penambangan selesai dilakukan,” ungkap Mirza Kirullah, warga Desa Pehangai, Kecamatan Merapi Selatan, Kabupaten Lahat kepada Mongabay Indonesia (16/04).

Di desanya, Desa Pehangai (kadang disebut juga Perangai), terdapat dua perusahaan yang saat ini aktifitas penambangan batubaranya telah berhenti, yaitu PT. Dianrana Petrojasa, dan PT. Era Energi Mandiri. Namun, lahan yang habis mereka gali, hingga saat ini belum pernah direklamasi. Apalagi dihijaukan atau ditanami kembali.

“Jika hujan turun, dari lokasi eks penambangan ini lumpur dan air mengalir begitu deras, dan jika musim kemarau lokasi ini menghasilkan debu. Karena tidak ada lagi tanaman, udara di desa kami pun terasa panas,” kata Mirza.

Dampak perubahan lingkungan ini dikhawatirkan warga akan berdampak buruk bagi kesehatan mereka. Demikian pula untuk pertanian dan persawahan, dampak perubahan bentang alam berpengaruh terhadap volume mata air.

“Jadi kami berharap pemerintah segera mereklamasi dan menghijaukan kembali lokasi eks tambang ini,” lanjutnya.

 

Ada Persoalan dengan Dana Reklamasi Pasca Aktivitas Tambang

Persoalan pasca aktivitas pertambangan, yaitu reklamasi lahan memang menjadi masalah di bekas lokasi pertambangan batubara. Hal ini dibenarkan oleh Rabin Ibnu Zainal, Direktur Pinus (Pilar Nusantara), sebuah lembaga nonpemerintah yang fokus memantau pertambangan batubara di Sumsel.

“Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dana jaminan reklamasi dan pasca tambang sangat kecil, dan diperkirakan sangat tidak cukup untuk mengembalikan bentang alam seperti sebelum dilakukan penambangan batubara,” jelas Rabin yang juga akademisi Universitas Bina Dharma ini.

Menurutnya, total dana jaminan reklamasi yang terkumpul baru dari 125 perusahaan, yaitu sebesar Rp165.909.589.774.  Sementara luas lahan yang akan direklamasi sekitar 1.075.364 hektar yang dikelola 173 perusahaan.

Dalam perhitungan kasar, maka dari dana jaminan reklamasi yang terhimpun dibagi dengan luas yang akan direklamasi per hektar hanya menghasilkan angka Rp154,282. Nilai ini teramat minim untuk mampu mengembalikan fungsi ekosistem lahan seperti sedia kala.

 

Klik pada gambar untuk memperbesar

 

Selain persoalan besaran anggaran jaminan reklamasi dan pasca tambang yang kecil, persoalan lain adalah mekanisme pencairan dana yang tidak efektif, karena menggunakan dua pihak atau dua tanda tangan, yakni pemerintah Sumatera Selatan dan perusahaan.

“Bagaimana dana akan dicairkan jika perusahaan tersebut tutup setelah menambang atau orangnya tidak ada, seperti kasus reklamasi dan pasca tambang PT Bukit Kendi,” kata Rabin.

Dengan kondisi tersebut, Pinus bersama sejumlah lembaga nonpemerintah lainnya bersama Kepala Dinas Energi dan dan Sumber Daya Mineral Sumatera Selatan pun melakukan reviu rencana reklamasi dan pasca tambang terhadap 141 perusahaan yang dinilai Clean and Clear (CnC).

“Hasil reviu ini bukan hanya membahas besaran dana jaminan reklamasi dan pasca tambang yang kemungkinan besar bertambah, juga teknis dan target reklamasi dan pasca tambang,” ujarnya.

Menurutnya, dampak kerusakan lingkungan pasca pertambangan batubara harus diminimalisir dengan cara memasukkan biaya rehabilitasi dalam perhitungan usaha perusahaan. “Dampak perubahan bentang alam harus dihitung, juga dampak lingkungan lainnya. Selama ini kan tidak dihitung sebagai beban biaya dari perusahaan,” ujarnya.

Rabin juga mendukung kebijakan pemerintah Sumatera Selatan dalam mengontrol operasional perusahaan tambang batubara. Pada tahun 2016, Pemda Sumsel mencabut 34 IUP dan mengakhiri 43 IUP.  Penegakan hukum pun dilakukan terhadap perusahaan yang melanggar aturan.

Pada tahun 2015, mantan Dirut PT Batubara Bukit Kendi, Muztav Sjab dihukum penjara, setelah terbukti perusahaannya melakukan kegiatan aktivitas eksploitasi batubara di kawasan hutan lindung dan hutan produksi di Desa Pulau Panggung, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muaraenim.

 

Perubahan bentang sungai Sehile (Serelo) yang mengalir di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Merapi Selatan, Kabupaten Lahat. Sebelum ada aktifitas penambangan batubara, debit air sungai besar dan terkadang mampu dilalui perahu. Foto Taufik Wijaya

 

Masyarakat Jangan Jual Lahan kepada Perusahan Batubara 

Saat dijumpai, Mirza Kirullah mengaku banyak warga desanya yang tergiur tawaran harga dari perusahaan tambang. Perusahaan pun membeli tanah masyarakat dengan harga antara Rp100-150 juta per hektar. Ketika uang habis dan sudah tidak lagi memiliki tanah. Mereka lalu membuka kebun baru di wilayah hutan lindung atau suaka margasatwa. Persoalan lapar lahan pun meningkat.

“Sebaiknya jangan dijual. Sebab jika lahan dijual, itu artinya membunuh pendapatan pemiliknya hingga satu generasi,” jelas Rabin. Menurutnya, jika pun terpaksa dijual, perhitungan harga tanah harus dihitung berdasarkan pendapatan perbulan dari kebun dihitung satu generasi atau 40-50 tahun.

Namun pola jual beli ini juga harus disertakan ketegasan jaminan reklamasi dan pasca tambang. “Misalnya ada perjanjian yang menyebutkan jual beli akan batal jika perusahaan tidak melakukan reklamasi dan pasca tambang,” jelasnya.

Alih-alih menjual, Rabin menyebut lebih baik masyarakat melakukan negosiasi bagi hasil pengelolaan dengan perusahaan. Kontrol pembagiannya dari jumlah angkutan batubara yang dibawa. Untungnya, selain lahan kembali ke tangan masyarakat, juga saat dilakukan reklamasi dan pasca tambang masyarakat dapat terlibat dan punya hak mengontrolnya.

Terkait dengan negoisasi ini, masyarakat dapat meminta bantuan pendampingan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH). “Kalau masyarakat kompak dan terbuka, banyak pihak yang mau membantu,” ujarnya.

Di akhir penjelasan, Rabin menyebut pilihan terbaik adalah masyarakat tidak menjual lahan atau melakukan usaha pertambangan batubara, karena lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,