Menelusuri Asal Usul Penyu Laut

Jika lumba-lumba jalan-jalan sekitar 40 km sehari, maka penyu tak mau kalah.Lambat di daratan, tapi mereka jago keliling dunia.

Hasil penelitian terbaru oleh Maulid Dio Suhendro tentang investigasi genetika penyu hijau  (Chelonia mydas) memperlihatkan 136 sampel yang diselundupkan ke Bali pada 2015-2016 berasal dari setidaknya 30  titik sarang peneluran penyu dunia.

Apa dampak penelusuran asal usul penyu ini? Salah satunya, perdagangan illegal ke Bali akan berdampak pada populasi penyu yang bertelur di Indonesia dan negara lain seperti Australia, Malaysia, negara Pasifik Barat, dan lainnya.

Penyu dikenal sebagai satwa laut bermanfaat dan unik, misal menemukan kembali tempatnya menghirup udara pertama di alam. Nah ini terjadi ketika para penyu dewasa ini hendak bertelur. Rata-rata mendarat di pesisir tempat ia ditetaskan walau dibesarkan di lautan bebas.

 

 

Itulah sebabnya, para bayi penyu atau tukik yang baru menetas di penangkaran, harus segera dilepaskan ke laut. Memberikan haknya atas memori tentang lingkungan alaminya memulai kehidupan. Di mana ia akan kembali saat dewasa dan menelurkan generasi penyu baru.

Jadi, bagaimana mengidentifikasi asal usul penyu laut? Penyu yang diselundupkan ke Bali tak hanya mengancam populasi penyu di Bali saja.

Pemerintah lewat Polair dan BPSPL di Bali memberi izin pengambilan sampel dari 175 penyu hijau yang berhasil diselamatkan. Analisis genetik diambil dari 150 individu penyu, dan 136 fragmen mitokondial-DNA (mtDNA) berhasil diamplifikasi dari seluruh sampel. Analisis stok campuran (mixed stock analysis/MSA) dari seluruh (136) sampel menunjukan bahwa penyu-penyu yang diselundupkan ke Bali ini memiliki marka genetik yang identik dengan penyu yang bertelur di pantai Sangalaki – Berau (51.19%), Long Island – PNG (10,01%), Ulithi Atoll (8,97%), Redang Island (7,58%), Enu Island (6, 45%), Paloh (3,75%), Ashmore Reef (2,60%), Sarawak (1,32%), serta Raja Ampat (1,02%).

“Hasil ini menunjukkan bahwa perdagangan illegal penyu laut di Bali akan berdampak pada populasi penyu yang bertelur di Indonesia serta negara-negara lain,” sebut Dio, saat presentasi seminar hasil tesisnya untuk Program Magister Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Rabu (3/5).

Penelitian ini dikerjakan bersama para dosen seperti peneliti penyu senior di Bali IB Windia Adnyana dan I Nengah Wandia. Karena itu kolaborasi penegakan hukum, baik bersifat regional maupun multi-nasional perlu dilakukan untuk menghentikan eksploitasi penyu laut di wilayah ini.

 

Peta sebaran asal usul penyu di Bali. Sumber : Maulid Dio Suhendro, IB Windia Adnyana dan I Nengah Wandia

 

Enam dari tujuh jenis penyu laut ada di perairan Indonesia. Mereka adalah penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu tempayan (Caretta caretta), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), dan penyu pipih (Natator depresus).

Berdasarkan Undang – Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 7 tahun 1999, semua jenis penyu ini berstatus dilindungi karena terancam punah. Perubahan iklim, degradasi habitat, predator, kematian akibat interaksi dengan aktivitas perikanan (by-catch), serta pemanfaatan secara berlebihan telur, daging, karapas, maupun plastronnya adalah penyebab penurunan populasi satwa ini (Adnyana dan Hitipeuw, 2012).

Perburuan penyu dan telurnya terjadi hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia (Adnyana, 1998), dan Pulau Bali adalah salah satu pusat perdagangan illegal satwa ini, dengan target utama penyu hijau. Di masa lalu, sampai tahun 2000, tingkat perdagangan penyu hijau di Pulau Bali dilaporkan mencapai angka 30.000 ekor per tahun (Adnyana 2002).

Kolaborasi kampanye multi-pihak yang dilakukan berbagai institusi belum berhasil menghentikan aktivitas illegal ini, walaupun intensitasnya secara substansial bisa diturunkan. Suatu survey yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana pada akhir 2009 – awal 2010 yang lalu menunjukkan bahwa perdagangan penyu di Pulau Bali masih terjadi, dan melibatkan lebih dari 60 ton daging penyu per tahun yang setara dengan lebih dari 2000 individu penyu (Adnyana et al, 2010).

Siklus penyu diketahui secara ekologi yakni tagging dengan satelit telemetri. Pola penyebarannya lintas pulau dan negara. Dio melakukan pendekatan biologis molekuler. “Sudah ada penelitian seperti ini pada 2002, Saya hanya melengkapi.Tujuan penelitian untuk mengetahui struktur, komposisi asal usul, proporsi tiap pantai peneluran yang diperdagangkan di Bali,” jelasnya.

 

Perburuan telur penyu masih terjadi di Aceh, meski satwa ini statusnya dilindungi. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Hasilnya, lebih banyak identik dengan pusat peneluran Sangalaki. Sampel tak dibandingkan dengan genetik Bali karena dinilai jumlahnya sangat sedikit. Selama 16 tahun di Bali hanya satu ekor penyu hijau, sementara yang diperdagangkan dari pusat peneluran pulau-pulau lain.

Keberhasilan pengelolaan penyu laut dipaparkan Dio tergantung dari pemahaman terhadap aspek evolusioner serta demografinya. Struktur genetika populasi penyu di suatu area peneluran secara demografi adalah unik, dan dikenal dengan istilah “stok” atau “unit pengelolaan”.

Walaupun penanda metal atau telemetry menyediakan banyak informasi yang sangat berguna dalam konteks demografi, site fidelity dan migrasi penyu secara individual, laporan riset ini menyebut data yang tersedia cenderung bias ke penyu betina dan hanya terbatas pada lokasi tertentu saja (pantai peneluran). Sebaliknya, studi genetika menyediakan informasi dalam konteks populasi.

Saran riset ini diantaranya studi terkait komposisi genetik sebagai dasar pengelolaan konservasi khususnya penyu hijau diharapkan mencakup lebih banyak daerah peneluran dan daerah pakan utamanya di Indonesia guna kepentingan genetik lanjutan. Berikutnya, peran aktif dan proteksi pada pemanfaatan penyu hijau secara ilegal di indonesia khususnya di Bali. Selain itu dibutuhkan strategi dan manajemen konservasi secara terpadu yang dilakukan oleh multinegara yang memiliki pantai peneluran penyu yang memiliki konektivitas seperti di Australasia.

Kombes Pol. Sukandar, Direktur Polair Bali yang juga tampil dalam seminar terkait Penyu yang dirangkai dengan presentasi riset ini menyampaikan perlunya revitalisasi penegakan hukum perdagangan penyu di Bali. “Ada masalah internal, dari 10 penyidik hanya 2 yang menguasai KSDA. Juga perlu biaya besar terkait penyimpanan barang bukti dan penyidikan.Saksi ahli harus didatangkan perlu waktu misal BKSDA, BPSPL,” paparnya.

Ancaman maksimal 10 tahun bisa mendekati, sementara menurutnya saat ini baru bulanan.“Potong tahanan, selesai,” ujarnya tentang hukuman pada pelaku penyelundupan.

Pihaknya pada 2017 membuat Program Bali Bebas (LIBAS) perdagangan penyu illegal bekerja sama dengan NGO seperti WWF, CI, TCEC Serangan, dan Unud. Misalnya patroli rutin di perairan Bali dan pengembangan informasi.“Unsur materiil harus diketahui, misal asal penyu. Ini perlu data ekologi penyu. Jaksa sering minta, apa benar ini daging penyu,” jelasnya soal pembuktian aspek hukumnya di pengadilan. Masalahnya makin banyak yang memperdagangkan potongan daging saja.

DNA menurutnya penting mengisyaratkan hewan ini berasal dari mana.“Kalau pelakunya ngomong nipu, kita tahu. Ke Bali hanya untuk konsumsi. Kalau sudah menggunakan daging penyu seolah gengsinya naik,” sebutnya.

 

Sebanyak 9 boks berisi potongan daging penyu diselundupkan dari Madura ke Bali berhasil digagalkan Ditpolair Polda Bali pada 25 Februari 2017. Diyakini untuk dijual kebutuhan konsumsi. Foto arsip Polair Polda Bali

 

Dalam seminar yang didukung WWF Indonesia ini juga ada presentasi Windia Adnyana, Permana Yudiarso dari BPSPL Denpasar, dan Dwi Suprapti dari WWF.

Arnold Sitompul, Direktur WWF Indonesia pada sesi diskusi bertanya pada Dirpolair apakah kejahatan ini terorganisir, apakah ada kartel untuk mengambil penyu Indonesia? Apakah ada permintaan ekspor? “Sementara belum. Konsumsi di Bali hanya untuk kuliner, kedua keagamaan tapi sudah diatur Bhisama. Kalau ekspor tak ada indikasi,” respon Sukandar.

Bisnis perdagangan penyu menurutnya memang menguntungkan di Bali. Ia menyontohkan penyu dengan karapas 50 cm, sampai Rp3 juta. Sementara dari asalnya Madura misalnya dianggap hama karena makan rumput laut, satu penyu di sana hanya sekitar Rp250 ribu.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,