Pemerintah Langgar Hukum Lagi dalam Proyek Reklamasi Teluk Jakarta?

Pemerintah Indonesia dinilai melakukan pelanggaran hukum kembali setelah proyek reklamasi di Teluk Jakarta dilanjutkan. Pelanggaran tersebut muncul setelah Pemerintah memaksakan proyek tersebut dengan membuat penyesuaian untuk perizinan yang diperlukan proyek tersebut.

Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) menilai, apa yang dilakukan Pemerintah tersebut sudah melewati batas. Pasalnya, proses perizinan untuk proyek tersebut dikeluarkan tanpa melalui proses pengkajian yang substansial dan benar.

“Kita keberatan dengan apa yang dilakukan Pemerintah,” ungkap Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata, Minggu (08/05/2017).

Menurut Marthin, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama Pemerintah Pusat seperti Kementerian Koordinator Kemaritiman (Kemenkomar), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah melakukan pelanggaran hukum proyek reklamasi Teluk Jakarta untuk kesekian kalinya.

 

 

Adapun, bentuk pelanggaran yang dilakukan, kata Marthin, adalah dengan melakukan pembahasan sejumlah keputusan tanpa melibatkan seluruh pemangku hak asasi yang akan terdampak oleh proyek reklamasi Jakarta.

Beberapa keputusan yang dinilai melanggar hukum itu, dipaparkan dia, seperti perpanjangan sanksi moratorium secara diam-diam, perubahan dokumen dan perizinan Lingkungan, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang sengaja tidak melibatkan publik yang kritis.

“Semuanya dilakukan tanpa transparansi dan partisipasi,” sebut dia.

Marthin kemudian menarik cerita ke belakang, pada April 2016 Menteri Koordinator Kemaritiman sudah menyatakan reklamasi Teluk Jakarta dihentikan sementara (moratorium). Sebagai tindak lanjutnya, Menteri LHK Siti Nurbaya menerbitkan tiga surat keputusan pada 10 Mei 2016.

Dalam tiga keputusan tersebut, Menteri LHK memberikan tenggat waktu selama 120 hari sejak diterbitkannya keputusan tersebut. Namun, dalam kenyataannya, tenggat waktu tersebut kemudian diperpanjang secara diam-diam oleh KLHK sebanyak dua kali.

“Perpanjangan ini dilakukan tanpa  pernah diketahui masyarakat, termasuk oleh Koalisi yang  harus  terlebih dahulu meminta informasi  publik,” ucap Marthin.

Padahal, menurut dia, jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang  Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sudah dijelaskan bahwa ada sanksi administratif yang dapat ditingkatkan menjadi pencabutan Izin Lingkungan. Sanksi tersebut diberikan, jika memang ada yang menyalahi prosedur lingkungan yang sudah ditentukan.

“Hal ini menunjukkan bahwa ada upaya mengelabui masyarakat untuk mengetahui masalah lingkungan hidup dan terus berupaya mengamankan proyek reklamasi,” tutur dia.

 

Pembangunan yang sedang dilakukan di Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Pemerintah akhirnya memutuskan menunda reklamasi Teluk Jakarta setelah ditemukan berbagai pelanggaran aturan dan hukum. Foto : Sapariah Saturi

 

Tak Pernah Terbuka

Sementara itu Rayhan Dudayev, perwakilan dari Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) mengatakan, pemenuhan kewajiban dalam sanksi penghentian sementara selama ini tidak pernah terbuka kepada publik. Termasuk, perubahan dokumen dan perizinan lingkungan  hidup.

Menurut Rayhan, masyarakat umum dan KSTJ, khususnya komunitas nelayan tradisional tidak pernah dilibatkan dalam proses penegakan hukum. Akan tetapi, justru Pemerintah melaksanakan konsultasi publik secara diam-diam pada 30 Januari 2017. Pertemuan tersebut, bahkan terlarang bagi publik sama sekali.

“Masyarakat mengetahui bocoran sosialisasi dari pihak warga yang masih berkomitmen menolak reklamasi,” papar dia.

Karena bersifat tertutup, Rayhan menyebutkan, pertemuan yang bertujuan untuk merangkum konsultasi publik itu dinilai cacat, karena tidak dilakukan secara terbuka. Tak hanya tertutup, pertemuan tersebut juga dilaksanakan pada malam hari, di mana para perempuan nelayan yang terlibat sebagian besar tidak bisa mengikutinya.

“Saluran untuk keberatan tidak dibuka dengan luas dengan informasi melalui internet baik website dan sosial media, tanpa memberikan ruang-ruang partisipasi yang lebih luas mengingat kerumitan kasus proyek reklamasi,” jelas dia.

Lebih jauh Rayhan mengungkapkan, meski sudah dibuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), namun pada kenyataannya itu dibuat dengan sengaja tidak melibatkan publik yang kritis. Fakta tersebut menguak setelah konsultasi publik KLHS dilaksanakan pada 10 Maret 2017.

Selain membahas KLHS, pertemuan yang dilaksanakan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah itu juga membahas tentang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

“Sangat jelas Pemprov Jakarta menutupi partisipasi publik dengan mengirim undangan yang tidak patut dalam waktu kurang dari satu hari, tidak memberikan kerangka acuan, dan menutupi materi KLHS yang akan dikaji secara bersama,” papar dia.

 

Sejumlah nelayan menyegel Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Mereka menyegel pulau buatan tersebut karena menolak reklamasi Teluk Jakarta yang merugikan mereka, Foto : Sapariah Saturi

 

Praktik Buruk Reklamasi Jakarta

Senada dengan Rayhan, hal yang sama juga diungkapkan Rosiful Amiruddin, perwakilan dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Menurut dia, reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta adalah praktik buruk pada perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang di Jakarta.

Dengan dikeluarkannya izin pelaksanaan reklamasi dan KLHS sesudah Pulau C dan D, serta sebagian Pulau G, Rosiful menyebut, itu sudah menunjukkan buruknya kualitas Pemprov DKI Jakarta dalam penyelenggaraan pemerintan dan pengawasan pembangunan.

“Hingga saat ini, di atas lahan Pulau D telah berdiri bangunan ruko dan rumah tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan bahkan tanpa Peraturan Daerah Zonasi Kawasan Pantura Jakarta,” ucap dia.

Atas semua ketertutupan itu, Rosiful mewakili KSTJ mengaku sudah mempertanyakan keterbukaan informasi dari Kemenkomar, khususnya setelah perubahan kepemimpinan dari Rizal Ramli kepada Luhut Pandjaitan.

Kata dia, Koalisi telah mengajukan informasi publik kepada Menko Maritim yang menjadi penanggungjawab dari Tim Komite Gabungan. Dalam pernilaian dia, Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah selesai bekerja dengan mengeluarkan bukti pernyataaan bahwa terjadi pelanggaran berat pada salah satu pulau reklamasi.

“Laporan tersebut sudah disampaikan kepada Menteri Koordinator Kemaritiman. Namun hingga detik ini, tidak ada keterbukaan dari mereka untuk membuka kajian dan data terkait hasil Komite Gabungan dan informasi dari proyek reklamasi Teluk Jakarta,” pungkas dia.

Sebelumnya, tudingan ketidakterbukaan juga sudah dialamatkan kepada Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Tudingan itu muncul, karena dia tidak mau membeberkan hasil kajian Komite Gabungan Reklamasi Teluk Jakarta yang sudah dilakukan dengan melibatkan banyak instansi.

Tudingan itu muncul, setelah persidangan lanjutan gugatan iniformasi publik yang diajukan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) digelar di Komisi Informasi Pusat RI, Jakarta, Senin (03/04/2017).

Dalam sidang tersebut, terungkap bahwa Luhut memberikan keterangan dengan memberi kuasa kepada wakilnya. Akan tetapi, KSTJ yang diwakili ICEL, mengaku kecewa dengan keterangan yang dibeberkan oleh perwakilan Luhut, karena dia menyatakan bahwa kajian yang dilakukan oleh komite itu hanya berbentuk presentasi saja.

“Menko Maritim Luhut Pandjaitan kembali mangkir tidak membuka dan menyembunyikan hasil kajian Komite Gabungan Reklamasi Teluk Jakarta,” ucap perwakilan ICEL, Rayhan Dudayev.

 

Nelayan Teluk Jakarta, salah satu yang bakal terdampak kala reklamasi terlaksana. Apakah pemerintah sudah menjamin kehidupan mereka tak akan terganggu kala reklamasi ada? Foto: Sapariah Saturi

 

Menurut Rayhan, dari keterangan yang diucapkan perwakilan Luhut, disebutkan bahwa kajian berbentuk presentasi tersebut adalah berisikan rekomendasi singkat terkait reklamasi yang dilakukan di Teluk Jakarta. Dalam presentasi tersebut, tidak dipaparkan kajian komprehensif sebagai dasar pernyataan di berbagai media.

“Kajian komite gabungan reklamasi Teluk Jakarta penting untuk diketahui supaya publik dapat membandingkan hasil kajian tersebut, apakah dibuat secara objektif dan sesuai dengan kaidah kajian yang ada,” jelas dia.

Oleh itu, Rayhan mengatakan, dia dan tim KSTJ kini mempertanyakan tentang sikap Kemenkomar yang seolah menyembunyikan fakta yang sudah ada. Hal itu, menunjukkan ada sesuatu permasalahan dalam pelaksanaan kajijan di lapangan.

“Sekali lagi, Ini menujukkan tidak ada dasar yang kuat dari Menko Luhut untuk melanjutkan proyek reklamasi dan bertindak sewenang-senang,” kata dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,